PONTYPOOL
Sutradara: Bruce McDonald
Kanada (2008)
Review oleh Tremor
Pontypool adalah sebuah film zombie / infection outbreak dengan pendekatan yang menarik dan konsep yang sama sekali berbeda dari kebanyakan film zombie / infeksi pada umumnya. Disutradarai oleh Bruce McDonald, Pontypool diadaptasi dari novel berjudul Pontypool Changes Everything (1995), karya Tony Burgess yang juga menulis naskah film ini. Selain diproduksi sebagai sebuah film, pada tahun yang sama Pontypool Changes Everything juga diadaptasi ke dalam bentuk drama radio yang disiarkan di radio BBC. Kedua versi Pontypool ini sangat terinspirasi oleh drama radio terkenal adaptasi “The War of the Worlds” karya H. G. Wells yang disiarkan tahun 1938, yang mendeskripsikan serangan alien dari planet Mars dan sempat membuat sebagian pendengarnya panik karena menyangka drama radio tersebut adalah laporan langsung soal kejadian sungguhan.
Grant Mazzy adalah seorang penyiar yang bekerja di sebuah stasiun radio lokal di kota kecil Pontypool, Ontario. Suatu malam badai salju menjebak Mazzy bersama dengan produsernya, Sydney Briar, serta operatornya, Laurel-Ann, di tempat mereka bekerja. Ketika Mazzy sedang siaran, Laurel-Ann mendengar laporan aneh dari frekuensi radio polisi. Laporan ini diperkuat dengan datangnya laporan langsung dari reporter mereka, Ken Loney, yang berada di lapangan tentang terjadinya semacam kerusuhan di luar kantor seorang dokter setempat bernama dokter Mendez. Ken terdengar sangat ketakutan karena kerusuhan yang ia lihat sangat ganjil dan penuh kekerasan. Transmisi dengan Ken sempat terputus dan semua yang berada di studio radio mulai merasakan kebingungan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Seiring berjalannya waktu, setiap laporan dan panggilan telepon yang masuk ke siaran radio Mazzy tentang meningkatnya kekerasan yang semakin mengerikan dan menyebar mulai membuat semuanya menjadi makin lebih jelas: penduduk kota berubah menjadi gila dan mulai menyerang orang lain dengan agresif, membunuh hingga memakan korbannya. Kini mereka bertiga terjebak di dalam stasiun radio sambil terus mencoba melaporkan semua informasi yang mereka dapat kepada para pendengarnya. Namun berapa lama mereka bisa bersembunyi dan apa yang sebenarnya menyebabkan kekacauan di luar sana?
Kalau seseorang ingin membuat film zombie yang berbeda, namun tidak memiliki bajet yang cukup untuk membiayai special effect prostetik para aktor figuran gerombolan zombie, film Pontypool bisa menjadi contoh yang brilian tentang bagaimana mengakali keterbatasan dana secara bijak. Usaha Bruce McDonald dkk sangat berhasil hanya lewat konsep yang sederhana namun original, unik, menyegarkan, kreatif dan dieksekusi dengan baik. Narasi dalam Pontypool memungkinkannya untuk menggambarkan bagaimana suasana pecahnya kekacauan zombie apocalypse tanpa harus benar-benar menunjukkannya secara visual. Memang ada beberapa kemunculan zombie dan adegan berdarah ketika stasiun radio tempat Mazzy bekerja mulai diserang. Namun dua pertiga aksi zombie dalam film ini justru berkembang di luar layar, dan aksi bukanlah fokus utama Pontypool. Selebihnya, suasana penuh ketegangan dan ketakutan dibangun lewat percakapan dan berbagai panggilan telepon yang masuk ke radio, diperkuat dengan kemampuan peran para aktornya yang menurut saya cukup bagus, termasuk para aktor yang hanya bisa kita dengar suaranya saja di telepon. Ada sesuatu yang menegangkan ketika mendengar seseorang berteriak ketakutan melalui panggilan telepon, dan kita hanya bisa membayangkan apa yang terjadi pada mereka. Kekuatan sugesti yang sangat kuat. Narasi film ini membuat penonton bisa membayangkan sendiri semua kekacauan dan kengerian yang terjadi setiap kali kita mendengarkan laporan yang masuk, dengan cara yang mirip seperti membaca buku atau mendengarkan drama radio. Kita para penonton diposisikan sama bingungnya dengan para kru radio yang terjebak, karena sama seperti kita, mereka pun hanya bisa membayangkan tanpa melihat secara langsung. Saya pikir ini adalah teknik bercerita yang cukup efektif kalau digunakan dengan tepat, seperti yang dilakukan dalam Pontypool. Bagian yang sangat saya suka adalah laporan-laporan “The Sunshine Chopper” yang sangat menegangkan dari reporter Ken Loney. Cara lain dalam memaksimalkan bajet dengan efektif adalah film ini berlokasi hanya di satu tempat saja, yaitu stasiun radio tempat Grant Mazzy bekerja, dengan jumlah cast yang sangat minimalis.
Apa yang sangat menarik dari Pontypool selain dari plotnya, adalah penyebab terjadinya wabah infeksi zombie di kota kecil tersebut, yang kemudian dijelaskan oleh karakter dokter Mendez pada babak ketiga. Mungkin ini adalah spoiler, atau mungkin juga bukan, tapi saya akan menuliskannya secara singkat. Dijelaskan bahwa beberapa kata tertentu dalam bahasa inggris telah terinfeksi virus misterius yang dapat memicu reaksi penuh kekerasan dari mereka yang tertular. Cara penularan virus ini sendiri adalah melalu berbicara dan mendengar kata-kata yang terinfeksi, yang bisa saja berkaitan dengan bagaimana siaran Mazzy didengar oleh banyak penduduk di kota kecil tersebut. Jadi apakah Mazzy ikut bertanggungjawab dalam penyebaran virus ini semakin masif? Perlu dicatat Ontario adalah bagian Kanada yang penduduknya masih menggunakan bahasa Perancis, dan beberapa karakter kemudian terpaksa harus berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis seadanya. Konsep ini sangat unik meskipun cukup sulit untuk dilogikakan karena bagaimana bisa virus menyebar lewat bahasa? Namun konsep penularan kegilaan lewat bahasa sebagai awal kiamat yang tidak logis bukanlah hal baru dalam dunia film horor. Meskipun Pontypool terasa menyegarkan dan original, setidaknya pernah ada film-film seperti In the Mouth of Madness (1994), The Signal (2007), dan Cell (2016) yang sama-sama memiliki dasar konsep yang serupa ganjilnya tentang penyebab kiamat lewat transmisi dan bahasa.
Meskipun saya menikmati Pontypool, namun film ini mulai terasa melemah sejak babak ketiga, dan seperti kebingungan tentang bagaimana cara menjelaskan penyebab infeksi aneh tersebut pada penonton. Rasanya terlalu dini bagi karakter dokter Mendez untuk bisa mengetahui penyebab wabah mengerikan itu sebegitu detail. Selain itu ada satu adegan yang saya rasa agak cringe, tidak penting, dan terasa rasis, yaitu ketika sekelompok anak muda mengisi sesi acara radio membawakan kisah epik “Lawrence of Arabia” lewat nyanyian, di mana mereka semua berpakaian khas stereotip bangsa arab yang berbeda-beda. Yang paling mencolok adalah salah satu dari mereka memakai pakaian ala Osama bin Laden lengkap dengan sorban, rompi, deretan peluru tajam, janggut palsu dan wajah yang diwarnai kecoklatan. Munculnya stereotip yang bisa dibilang ofensif ini sama sekali tidak penting dan seandainya sesi tersebut dihilangkan, rasanya tidak akan mengubah apapun dalam cerita Pontypool.
Pontypool memang bukanlah film yang sempurna, dan film ini juga tidak pernah benar-benar mengklarifikasikan sebagai film zombie. Namun sebagai sebuah film horor, Pontypool dibuat dengan cukup baik dengan konsep yang menarik. Saya menyukai Pontypool karena film ini berhasil membangun suasana menegangkan tanpa memperlihatkan adegan serangan zombie yang sesungguhnya. Pontypool melakukan banyak hal tanpa perlu memperlihatkan terlalu banyak, dan membungkus kisah klasik zombie menyerang kota kecil dengan cara yang kreatif dan menyegarkan. Film ini sangat saya rekomendasikan bagi para penggemar horor yang bisa mengapresiasi plot dan ketegangan yang dibangun secara lambat lewat dialog. Tapi kalau kalian mencari film zombie penuh aksi dan isi perut seperti umumnya film zombie / infeksi, tentu saja Pontypool akan terasa membosankan.