fbpx

MOVIE REVIEW: CLOWN (2016)

CLOWN
Sutradara: John Watts
Kanada / USA (2016)

Review oleh Tremor

Terinspirasi dari trailer-trailer palsu dalam double feature Grindhouse-nya Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez tahun 2007, pada Oktober 2010 sebuah trailer palsu untuk film horor berjudul Clown muncul di youtube dengan klaim yang bombastis: “An Eli Roth Production”. Bagi yang tidak familiar, Eli Roth adalah sutradara / produser yang dikenal lewat karya-karya gore-nya dari mulai debutnya Cabin Fever (2002), hingga dua film Hostel pertama. Pencipta trailer palsu Clown adalah seorang sutradara video musik bernama Jon Watts bersama rekannya penulis Christopher Ford, yang sama sekali tidak kenal dengan Eli Roth, apalagi meminta izin untuk memajang namanya. Trailer palsu Clown akhirnya menarik perhatian Eli Roth sendiri. Beruntung, Roth paham bahwa budaya horor seharusnya memang sekreatif dan semenyenangkan itu. Ia tidak merasa dirugikan, apalagi sampai menggugat keduanya atas penggunaan nama tanpa izin. Sebaliknya, Roth justru memutuskan untuk mendukung Jon Watts dan Christopher Ford mewujudkan dibuatnya film Clown sungguhan dengan cara memproduseri film fitur debut mereka ini. Roth bahkan ikut tampil sebagai kameo di dalamnya. Empat tahun sejak munculnya trailer palsu tersebut, akhirnya film Clown pun benar-benar dirilis.

Kent adalah seorang family man yang bekerja sebagai sales rumah bekas. Pada saat anaknya berulang tahun, Meg, istri Kent mendapat kabar bahwa badut yang mereka pesan berhalangan hadir dalam pesta yang sudah direncanakan. Tidak ingin membuat anaknya kecewa, Kent berinisiatif memberinya kejutan. Kent mengenakan pakaian badut antik yang ia temukan secara tidak sengaja di loteng salah satu rumah tua yang sedang ia pasarkan, karena Kent tahu bahwa hadirnya badut dalam pesta ulang tahun ini sangat berarti bagi anaknya. Setelah memberikan penampilan badut terbaiknya dalam pesta ulang tahun anaknya, Kent mencoba melepaskan kostum tersebut namun semua usahanya gagal. Bukan hanya pakaiannya saja, wig berwarna warninya juga tidak bisa dilepas seakan wig itu telah menjadi rambut asli Kent. Makeup badut pada wajahnya juga tidak bisa dihapus seakan memang warna kulit wajahnya sendiri. Ketika Meg berhasil mencabut paksa hidung bulat merah badutnya, hidung Kent mengalami pendarahan parah karena kulit hidungnya ikut tercabut. Kent mulai menyadari bahwa ini adalah masalah serius. Putus asa, Kent akhirnya melacak siapa pemilik kostum badut antik tersebut untuk meminta bantuan, yang membawanya pada Karlsson, seorang kolektor kostum antik. Karlsson pun menjelaskan bahwa kostum itu tidak boleh dikenakan oleh siapapun karena itu bukan kostum badut melainkan kulit asli dari entitas iblis purba pemangsa anak kecil yang telah lama terlupakan. Iblis yang dahulu kala tinggal di goa-goa pegunungan Nordic ini bernama The Clöyne, dan siapapun yang mengenakan kulit tersebut akan menjadi reinkarnasi dari iblis purba Clöyne. Dalam setiap kebangkitannya Clöyne butuh makan lima anak kecil. Mungkin itulah alasan mengapa Kent begitu kelaparan sejak ia mengenakan kostum tersebut dan tidak ada satu makananpun yang bisa menghilangkan laparnya. Setelah Kent mengerti apa yang terjadi padanya, Karlsson mencoba memenggal kepala Kent, karena pemenggalan adalah satu-satunya cara untuk membunuh iblis Clöyne. Namun Kent berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Dari sini, kita akan menyaksikan transformasi fisik mengerikan serta pertempuran batin Kent yang secara perlahan berubah dari seorang ayah yang mencintai anaknya menjadi monster Clöyne pemakan anak kecil. Kent yang putus asa dan kebingungan hanya memiliki dua pilihan untuk bisa terlepas dari kutukan kulit Clöyne yang kini sudah terlanjur menyatu dengan dirinya, melahap lima anak kecil atau membuat dirinya terbunuh lewat pemenggalan kepala.

Sudah menjadi rahasia umum kalau sosok badut adalah mimpi buruk bagi banyak orang. Mungkin mereka yang tumbuh di Amerika tahun 80-an takut dengan badut karena terkenalnya sosok John Wayne Gacy, seorang psikopat yang sehari-harinya bekerja sebagai badut penghibur. Psikopat yang sama jugalah yang sedikit menginspirasi Stephen King menulis It (1986) dan melahirkan karakter iblis berwujud badut bernama Pennywise. Dibuatnya adaptasi It (1990) dalam versi film turut mendorong lahirnya subgenre killer clown dalam genre horor yang semakin menambah kengerian pada citra badut. Namun saya yakin rasa takut anak kecil terhadap badut sudah ada jauh sebelum John Wayne Gacy dan Pennywise hadir di dunia ini, dan rasa takut ini jauh lebih global bukan hanya di Amerika. Saya yakin ada banyak anak kecil di negara manapun yang takut pada badut sejak mereka kecil tanpa pernah menonton film-film badut jahat sebelumnya. Film supranatural / body-horror dengan sedikit sentuhan komedi debut dari John Watts ini tentu menambah daftar film killer clown yang perlu ditonton oleh siapapun yang takut dengan badut.

Saya sangat menyukai bagaimana film ini menghadirkan mitologi original yang cukup spesifik dan berbeda tentang cikal bakal budaya badut penghibur modern (clown), yaitu mitologi iblis Clöyne. Sepintas mirip dengan ide bahwa entitas Santa Claus pada mulanya adalah monster haus darah dalam film Rare Exports: A Christmas Tale (2010) sebelum pergeseran makna menjadi Santa Claus yang kita ketahui sekarang. Dalam film Clown, Karlsson menjelaskan bahwa karakter badut penghibur yang dikenal hari ini merupakan pergeseran makna dari entitas iblis purba pemangsa anak kecil bernama Clöyne. Ia memiliki kulit putih pucat karena jarang terkena sinar matahari, hidung yang merah karena udara dingin, sepasang kaki yang besar, serta satu tanduk di dahi. Kesemua ciri fisik tersebut kemudian bergeser menjadi konyol dalam kostum badut penghibur modern: hidung merah bulat, sepatu badut yang over-size dan topi kerucut di dahi. Iblis Clöyne biasanya memancing anak-anak kecil untuk masuk ke goanya lewat trik-trik lucu dan suara tawa untuk memperdaya, karena Clöyne butuh memakan lima anak kecil pada setiap musim dingin. Tentu saja ini adalah mitologi original yang sangat menarik sekaligus mengerikan, dan membedakan Clown dengan film badut pembunuh lainnya.

Selain mitologi Clöyne, film Clown juga memiliki premis yang tak kalah menarik dan penuh potensi. Gagasan tentang seorang ayah yang penuh cinta mengenakan pakaian badut yang tidak bisa dilepas dan secara perlahan menjadi bagian dari dirinya, adalah konsep yang gelap dan mengerikan, terutama ketika pakaian badut itu mengubahnya menjadi monster pemakan anak kecil. Namun sayang sekali meskipun premisnya menjanjikan, menurut saya penulisan film ini agak berantakan. Sebenarnya bagian pertama film ini lumayan menarik, dilengkapi dengan banyak unsur komedi, mitologi Clöyne serta drama pergulatan batin Kent. Namun semakin film ini berjalan, penulisan Clown terasa semakin kacau. Banyak ketidak-konsistenan, ketidak-sinambungan, plothole, keputusan-keputusan bodoh, dan yang paling mencolok adalah seakan-akan tidak ada satupun karakter dalam film Clown yang bereaksi secara logis terhadap hal-hal yang seharusnya membuat mereka takut atau terpukul. Bahkan bagaimana Kent secara “kebetulan” menemukan kostum badut antik tepat di hari ketika badut yang ia pesan batal datang pun tampak seperti sebuah “kebetulan” yang malas dan terlalu mengandalkan keberuntungan. Beberapa saat sebelum adegan klimaksnya datang pun, muncul pertanyaan dalam benak saya bagaimana mungkin Meg bisa pergi begitu saya setelah jelas-jelas seorang polisi memintanya untuk tidak pergi, dan tentu bukan hal yang mudah bagi siapapun yang sedang diawasi polisi bisa pergi begitu saja menggunakan mobil, melewati mobil polisi. Jauh sebelum itu, saya juga mempertanyakan “kebaikan hati” seorang anak kecil yang terus menerus mendekati Kent di sebuah losmen, dan bagaimana mungkin ia tiba-tiba membuka pintu kamar Kent? Sayang sekali kelemahan terbesar film Clown adalah terlalu banyak plothole dan kekacauan penulisan, yang mungkin tidak akan saya tuliskan satu persatu karena terlalu banyak dan beberapanya jelas mengandung spoiler.

Film Clown sendiri banyak menggunakan sebagian besar durasinya untuk memperlihatkan proses transformasi mental dan fisik Kent yang putus asa sebagai bagian dari premis utamanya. Proses perubahan dari seorang ayah yang mencintai anaknya hingga menjadi iblis ini cukup tragis dan mengundang simpati penonton, memainkan kisah tragedi yang mirip dengan kisah Seth Brundle dalam film The Fly (1986). Meskipun penulisan film Clown sangat buruk, namun saya mencoba mengacuhkannya dan tetap menontonnya sampai selesai karena saya ingin terus melihat proses transformasi Kent hingga ia menjadi iblis seutuhnya. Untuk hal ini, saya sama sekali tidak kecewa. Dalam hitungan beberapa hari, kita bisa melihat perubahannya sedikit demi sedikit, dari mulai perubahan raut wajah, mata, kemunculan gigi-gigi siletnya, jari-jari yang menjadi cakar, telapak kaki yang membesar, hingga darah berwarna pelangi yang menurut saya cukup brilian. Desain dan special makeup effect dalam proses transformasi ini dikerjakan dengan sangat bagus dan mendetail, dengan desain wujud akhir Clöyne yang tak kalah fantastisnya. Meskipun dalam bagian pertama film Clown banyak mengandung komedi, tapi semua menjadi cukup serius ketika special effect penuh darah dan body-horror mulai muncul di layar. Namun jangan berharap film Clown memiliki tingkat gore yang sama seperti film-film buatan Eli Roth atau franchise badut jahat Terrifier misalnya. Karena sebagian besar korban dalam Clown adalah anak kecil, dan tentu saja secara umum telah disepakati bahwa menampilkan kekerasan terhadap anak kecil secara terang-terangan dalam sebuah film bukanlah hal yang etis, maka semua adegan anak kecil yang Kent cabik-cabik dan makan dalam film ini bersifat sugestif dan tidak pernah benar-benar ditampilkan di layar. Namun itu sama sekali tidak mengurangi efektivitas film ini.

Di luar buruknya penulisan film Clown, film dengan ide yang gelap ini tetap menghibur dan turut berkontribusi pada daftar film killer clown yang cukup berbeda dari biasanya, dengan banyak adegan-adegan menegangkan di dalamnya. Karakter iblis Clöyne juga adalah villain horor yang hebat dan perlu diperhitungkan dalam daftar villain horor berwujud badut pembunuh yang cukup efektif, mengerikan, dan berpotensi menciptakan mimpi buruk jenis baru bagi mereka yang takut pada badut. Wujud Kent saat belum sepenuhnya menjadi iblis juga tampak menyeramkan, seperti seorang psikopat yang berkeliaran dengan linglung. Untuk sebuah film yang dimulai sebagai sebuah trailer palsu iseng, Clown adalah upaya yang mengesankan. Apalagi sebagai sebuah karya debut film fitur, sutradara John Watts jelas memiliki potensi menjanjikan karena ia membuktikan dirinya sanggup menjaga keseriusan atmosfer horor hingga film selesai, tanpa mengubah film ini menjadi sebuah lelucon.