KILLING GROUND
Sutradara: Damien Power
Australia (2016)
Review oleh Tremor
Banyak film horror yang cukup berkualitas datang dari Australia, dari mulai Wolf Creek (2005), Black Water (2007), The Loved Ones (2009), The Babadook (2014), hingga Relic (2020), dan rasanya Killing Ground sangat pantas untuk dimasukkan ke dalam kategori film horror Australia yang wajib ditonton. Killing Ground yang bergenre backwoods thriller / horror ini merupakan debut dari sutradara/penulis kelahiran Tasmania, Damien Power. Salah satu karakteristik fauna benua Australia adalah banyaknya area-area luas terpencil berpopulasi kecil yang disebut sebagai Outback. Dan sama seperti yang dilakukan Wolf Creek, Damien Power menggunakan dataran khas Australia ini sebagai modal yang tepat untuk film backwoods horror, yang bisa membuat para turis berpikir ulang tentang bertamasya ke area outback di benua tersebut. Maka tak heran kalau premis sederhana film ini secara otomatis akan dibandingkan dengan Wolf Creek kalau kita belum menontonnya. Di luar dugaan, Damien justru mengeksekusi backwoods horror-nya dengan sangat berani, kreatif, dan membuatnya cukup berbeda dengan film bertema serupa. Bahkan dalam beberapa hal malah terasa jauh lebih gelap dan superior dibandingkan Wolf Creek. Enam tahun setelah sukses lewat Killing Ground, Damien Power akhirnya kembali dengan film keduanya berjudul No Exit, yang baru dirilis Februari 2022. Sebelum saya melanjutkan review ini, saya merasa perlu untuk menuliskan sedikit peringatan, bahwa Killing Ground bukanlah jenis film yang “fun” kalau penontonnya ingin mencari kesenangan. Sebaliknya, film ini bisa dibilang tragis dan mengandung unsur kekerasan seksual yang mungkin bisa menjadi trigger kalau penontonnya adalah seorang penyintas.
Pada dasarnya Killing Ground dibuka dengan tiga subplot berbeda yang di satu titik akan saling terjalin. Subplot pertama berkisah tentang pasangan Sam dan Ian yang hendak menghabiskan malam tahun baru jauh dari keramaian. Mereka memutuskan untuk berkemah di pinggir danau terpencil dalam belantara outback Australia dengan harapan tidak akan ada orang di sana, dan mereka bisa menghabiskan liburan romantis mereka tanpa gangguan. Tentu saja mereka agak kecewa saat melihat adanya tenda lain di pinggir danau. Namun masalah yang jauh lebih besar telah menanti Sam dan Ian. Tanpa disadari, mereka sebenarnya berada tak jauh dari TKP kejahatan yang sangat kejam. Tenda lain yang mereka lihat di pinggir danau adalah subplot ke-dua dari film ini, yaitu sepasang suami istri Margaret dan Rob yang juga berkemah bersama anak perempuan mereka Em, serta anak balita mereka yang bernama Ollie. Pada subplot ketiga, kita diperkenalkan dengan seorang mantan narapidana bernama Jerman bersama dengan anjingnya Banjo, serta rekannya yang impulsif dan bodoh bernama Chook. Kedua bajingan ini adalah pemburu babi yang tinggal di kota kecil dekat dengan area outback. Meskipun Killing Ground bukanlah jenis film yang menyimpan twist atau plot kejutan, dalam artian alurnya bisa ditebak sejak awal, namun cara story-telling penulis Damien Power adalah salah satu kekuatan film ini yang membedakannya dengan film backwoods horror generik lain. Saya tidak akan meneruskan menulis sinopsis film ini, karena tidak ingin merusak cara Damien Power menata ketiga subplot tersebut secara rapih hingga menjadi sebuah kisah utuh yang sangat menegangkan dan gelap.
Damien Power jelas terinspirasi dari film-film backwoods horror seperti Deliverance (1972), Wolf Creek (2005) hingga Eden Lake (2008). Plot tentang “sekelompok orang pergi berakhir pekan ke hutan, hanya untuk diteror oleh penduduk setempat yang sadis” memang bukanlah hal baru. Dengan premis sederhana yang sudah pernah kita dengar sebelumnya, berbajet cukup rendah, menggunakan satu lokasi utama, dengan jumlah cast minimalis, film ini harus memiliki sutradara serta penulis yang berbakat untuk bisa memanfaatkan sumber daya terbatasnya secara maksimal. Untungnya Damien Power bersama crew film ini berhasil membuktikan bahwa anggaran yang terbatas bisa mendorong mereka untuk mengandalkan kreativitas agar bisa menghasilkan sebuah film yang tidak generik. Di saat film-film backwoods horror dengan plot serupa memperlihatkan visual kekerasan secara terang-terangan, Killing Ground justru memilih jalan lain, yaitu menghindari penggunaan visual-visual graphic seperti itu. Killing Ground memang bukan film yang penuh adegan gore, karena mayoritas adegan kekerasannya digambarkan secara off-screen. Tapi itu justru mendorong penonton untuk mau tidak mau merekonstruksi semua adegan kekerasan dalam film ini di kepala mereka, dan tentu saja ini adalah ide yang gelap karena penonton bisa jadi baru menyadari bagaimana bisa adegan-adegan kekerasan yang brutal dan terasa terlalu realistis ini terbesit di kepala mereka. Masih soal perbedaan lain Killing Ground dengan film-film backwoods pada umumnya, film ini memberi waktu yang cukup untuk mengembangkan karakter-karakternya sebelum mereka semua menghadapi masalahnya masing-masing. Hal tersebut meninggalkan dampak yang cukup bagus, yaitu penonton menjadi sangat khawatir dan peduli dengan keselamatan karakternya. Bahkan ada beberapa adegan yang bisa membuat penonton merasa iba atas apa yang terjadi pada para korban kekerasan dalam film ini, apalagi dengan adanya balita yang dilibatkan di tengah kekacauan ini. Tak hanya itu, penulis Damien juga ikut memberi sentuhan manusiawi pada karakter bajingan Jerman dan Chook dengan cara memperlihatkan keseharian mereka. Tentu ini jarang ditemui dalam kebanyakan film-film backwoods horror, dimana biasanya antagonisnya hanya muncul sebagai ancaman misterius tanpa diperlihatkan sisi manusianya. Dengan menggambarkan antagonisnya sebagai manusia “normal” yang memiliki keseharian, tentu itu memberikan ide yang cukup menyeramkan dan realistis, bahwa para pembunuh berdarah dinginpun bisa hidup di tengah masyarakat secara normal. Jadi walaupun Killing Ground memiliki konsep dasar yang mirip dengan banyak film backwoods horror, tetapi eksekusinya sangat berbeda, cerdas, sekaligus jauh lebih suram.
Killing Ground memang bukanlah film yang sempurna. Bagian penutup film ini juga terasa tidak sekuat bagian-bagian sebelumnya. Ada momen dalam film ini yang rasanya masih menggantung dan bisa jadi meninggalkan rasa frustrasi bagi beberapa penonton. Terlebih lagi ada beberapa hal dalam film ini yang berpotensi membuat penonton murka. Tetapi sutradara Power sendiri pernah menyatakan bahwa karyanya ini juga terinspirasi dari film Funny Games (1997), yang juga pernah membuat para penonton frustrasi. Jadi mungkin sensasi tersebut memang dengan sengaja dihadirkan dalam Killing Ground. Meskipun tidak sempurna, tetapi Killing Ground tetaplah merupakan debut horror thriller yang suram, efektif dan sangat intens, dengan beberapa adegan yang bisa saja membuat beberapa penonton agak terguncang.