JIGOKU / HELL / THE SINNERS OF HELL
Sutradara: Nobuo Nakagawa
Jepang (1960)
Review oleh Tremor
Saya selalu tertarik dengan visi kehidupan setelah mati. Faktanya, ada banyak sekali kebudayaan di dunia yang memiliki visi afterlife yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Jepang, sebuah negara yang kaya dengan tradisi bercerita. Ini menjadi semakin menarik karena ada banyak sekali cerita dari Jepang yang bersifat horor. Terbukti dengan ada begitu banyak folklore seputar mahluk-mahluk gaib yang diceritakan secara turun temurun, dari mulai sosok oni hingga yurei, mahluk-mahluk yang hanya ada dalam tradisi Jepang. Konon, setiap benda di Jepang memang memiliki “penunggunya” sendiri, dari mulai pepohonan, lampion hingga angin. Tentu saja tradisi bercerita seperti ini kemudian juga tertuang ke dalam bentuk film. Walaupun sekarang genre horor sinema horor Jepang (atau yang kemudian kita kenal sebagai J-horror) identik dengan film horror hantu-hantu gentayangan ala The Ring dan Ju-On, tapi sebenarnya J-horror memiliki sejarah panjang dan menawarkan kengerian dengan bentuk yang bervariatif. Perjalanan historis J-Horror mungkin bisa dirunut dari sebuah film berjudul A Page of Madness yang dirilis pada tahun 1926. Ya, 1926! Film tersebut hanyalah satu dari banyak sekali film cult classic J-horror. Ini dibuktikan dengan film-film horror dengan tema kengerian yang berbeda-beda seperti Kwaidan (1964), Onibaba (1964), Kuroneko (1968) hingga Hausu (1977) yang semuanya kemudian berulang kali dirilis dan didistribusikan secara internasional. Sinema Jepang memang memberi pengaruh besar pada dunia perfilman global. Nah, film yang akan saya bahas dalam tulisan ini juga adalah salah satu dari sinema J-horror klasik, berjudul Jigoku yang arti harafiahnya adalah “neraka”. Jigoku adalah film fenomenal dari salah satu bapak horor Jepang bernama Nobuo Nakagawa. Ini adalah film yang jelas harus ditonton oleh siapapun yang tertarik dengan horor Jepang, karena Jigoku bisa disebut sebagai salah satu film yang menjadi landasan bagi banyak film J-horror modern.
Dari judulnya saja sudah Neraka, jadi rasanya bukan spoiler kalau saya bilang film ini akan mengantarkan kita memasuki alam neraka. Plot Jigoku pada dasarnya cukup sederhana, bercerita tentang seorang mahasiswa bernama Shiro yang mengalami nasib sial secara beruntun. Ia memiliki seorang sahabat karib misterius bernama Tamura yang sering muncul tiba-tiba pada momen-momen penting Shiro, dan kehadirannya selalu mengacaukan keadaan. Shiro sebenarnya pemuda yang berbahagia. Ia bertunangan dengan seorang gadis cantik (Yukiko) yang adalah anak dari dosennya sendiri, dan kebetulan Shiro juga adalah murid kesayangannya. Semuanya tampak sempurna hingga suatu malam saat Shiro dan Tamura pulang dari rumah Yukiko mengendarai mobil. Shiro meminta Tamura untuk melewati jalan yang tidak biasa, dimana di sana mereka menabrak seorang ketua geng yakuza hingga meninggal. Tamura langsung tancap gas, sementara Shiro memohon Tamura menghentikan mobil untuk melihat keadaan korban. Tapi permintaan tersebut tidak Tamura gubris. Tanpa mereka sadari, ibu dari korban tabrak lari tersebut melihat kejadian, dan menghafalkan plat nomer mobil. Setelah upacara kremasi, sang ibu bersama menantunya merencanakan balas dendam dan mulai melacak mobil yang dikendarai oleh Shiro. Dihantui rasa bersalah, Shiro akhirnya bercerita pada Yukiko tentang kejadian itu. Mereka berdua sepakat untuk meminta saran pada orang tua Yukiko tentang apa yang harus Shiro lakukan. Yukiko ingin berjalan kaki sambil menikmati momen bersama Shiro, tetapi Shiro ingin naik taksi. Lagi-lagi keputusan yang ia buat berakhir bencana. Setelah memaksa Yukiko untuk naik taksi bersamanya, kemudian taksi tersebut menabrak pohon dan maut menjemput Yukiko.
Masih dalam keadaan berkabung, Shiro menerima pesan dari desa yang mengabarkan kalau ibunya sedang sakit keras. Desa tersebut adalah desa khusus lansia pensiun dimana kedua orang tuanya tinggal. Ia segera pergi ke sana dan menemukan bahwa ayahnya terang-terangan lebih memilih kekasih baru dibandingkan merawat istrinya. Kita juga diperkenalkan dengan lebih banyak karakter di desa ini, para manusia yang memiliki dosanya masing-masing. Beberapa di antaranya: seorang dokter yang dengan sadar melakukan malpraktek; lalu ada ayah Shiro yang memilih untuk tidur dengan simpanannya sementara istrinya sakit keras; ada juga seorang kepala desa yang memberi makanan tak layak pada penduduk dalam sebuah pesta desa; seorang detektif yang korup; hingga seorang wartawan yang sering menulis berita bohong; dan lain-lain. Soal dosa ini perlu saya tekankan karena ini berhubungan dengan babak terakhir dalam film ini: siksa neraka. Bukan hanya penduduk desa, Shiro juga segera bertemu dengan Tamura yang lagi-lagi datang tanpa diundang hanya untuk menganggunya, dan tentu saja menyeretnya ke lebih banyak kesialan. Diam-diam keluarga Yakuza yang sudah melacak Shiro sejak lama juga mendatangi desa tersebut, hingga tibalah kita pada puncak dari part pertama film Jigoku. Pada saat semua karakter dalam film Jigoku meninggal, dari sinilah perjalanan memasuki neraka Jigoku dimulai.
Perjalanan kita dimulai di tepi sungai gaib bernama Sanzu, sebuah sungai yang menghubungkan dunia yang hidup dengan dunia neraka. Sungai Sanzu sendiri adalah limbo, dan alamnya digambarkan dengan sangat ganjil dan sureal. Keberadaan sungai ini kira-kira mirip dengan sungai Styx yang ada dalam mitologi Yunani. Di tepi sungai Sanzu inilah Shiro bertemu dengan kekasihnya, Yukiko, yang terjebak dalam limbo karena ia meninggal lebih dulu dari orang tuanya. Shiro juga mendengar banyak tangisan bayi di sana, yang salah satunya adalah rahasia gelap yang selama ini disembunyikan dari dirinya. Sesosok setan pun mulai bernarasi seakan mengantar Shiro dan kita semua dalam tour neraka-nya, melihat-lihat isi neraka yang memiliki level berbeda-beda: delapan lingkar neraka. Setan ini adalah Lord Enma, penguasa neraka. Sambil menuntun kita lebih jauh memasuki alam neraka, kita bisa melihat para setan neraka melakukan segala jenis penyiksaan pada para pendosa hingga film ini berakhir. Kalau awalnya film Jigoku terasa seperti film drama kriminal, dalam babak terakhir film ini berubah menjadi sebuah katalog yang sangat jelas tentang siksa neraka yang penuh kesadisan versi Jepang. Rasanya seperti melihat komik “Siksa Neraka” yang dijadikan film dengan balutan budaya Jepang. Dan babak neraka ini memiliki durasi yang lumayan lama, mungkin sekitar 40 menit yang penuh darah, api, penyiksaan, dan teriakan kesakitan. Dalam perjalanan nerakanya, Shiro kemudian dihadapi dengan banyak rasa penyesalan. Lalu mulai terungkaplah banyak rahasia gelap yang disembunyikan oleh orang-orang yang ia cintai.
Pembunuhan, penghianatan, pencurian, kematian, bunuh diri, kelalaian dan ketidakjujuran, semua itu adalah dosa yang terikat dengan Shiro dan semua karakter-karakter kita temui di sepanjang film. Dalam alam neraka, Shiro bertemu kembali dengan para karakter lain satu persatu. Mereka semua disiksa dengan cara berbeda-beda, dari mulai sungai darah dan nanah, kepala putus, jiwa-jiwa (dalam bentuk tubuh) yang diiris dan dipotong menggunakan gergaji, dikuliti hidup-hidup sampai ke tulang, direbus hidup-hidup, dan tentu saja semua anggota tubuh yang dipotong dan dikuliti kemudian tumbuh kembali, sehingga siapapun yang disiksa dalam neraka bisa mengalami penyiksaan berulang kali.
Menurut saya adegan-adegan sadis dalam film Jigoku ini cukup luar biasa, mengingat film ini dirilis pada tahun yang sama dengan Psycho, Black Sunday, dan Peeping Tom. Kesemua film tersebut adalah film-film yang dianggap sebagai pionir kekerasan dalam film, tapi sejujurnya tidak ada yang sesadis film Jigoku. Ironisnya, walaupun banyak adegan berdarah dan sadis, secara visual neraka dalam Jigoku digambarkan dengan sangat indah, dihiasi pencahayaan warna-warni terang menawan yang mengingatkan saya pada pilihan-pilihan pencahayaan film-film Dario Argento. Merah, biru, hijau, kuning. Karena Jigoku dirilis pada tahun 1960, maka wajar saja kalau saya dan banyak orang lain akan menduga bahwa Dario Argento juga sangat terinspirasi oleh film Jigoku secara visual. Suasana dalam neraka Jigoku juga digambarkan seperti antara keadaan membeku dan mendidih. Neraka ini kadang juga dihiasi dengan kabut seperti saat gerbang neraka terbuka dalam film The Beyond-nya Fulci, ditambah sedikit kobaran api dan kegelapan masif tak berujung. Neraka terasa seperti sebuah tempat yang dipenuhi kehampaan berat. Ditambah dengan lusinan pemain figuran yang berperan sebagai para pendosa yang dihukum dalam neraka berjalan tanpa arah dan berputar-putar, membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman.
Sebenarnya, neraka versi film Jigoku bersumber dari kepercayaan buddhis, yang meskipun dalam versi ini siksaan neraka tidaklah abadi, tapi semua hukumannya tetap sama kejamnya. Saya sudah pernah melihat gambaran-gambaran penyiksaan pada deretan relief neraka di sebuah vihara di Bandung. Tapi saya tidak pernah membayangkan kalau buddhis Jepang memiliki visi neraka yang sama. Jujur saja, karena Jepang biasanya selalu “beda sendiri” dalam banyak hal, sebelum menonton Jigoku saya agak berharap akan ada sesuatu yang berbeda dalam visi neraka versi Jepang. Tetapi rupanya neraka film Jigoku ini adalah bentuk neraka yang paling konvesional, apalagi kalau dibandingkan dengan film-film bertema neraka lainnya. Apa yang kita temui di sana kurang lebih sama dengan neraka yang kita semua bayangkan sejak kecil: penyiksaan demi penyiksaan untuk dosa yang berbeda-beda, dilakukan oleh para iblis, di tengah kobaran api. Kalian yang pernah membaca komik “Siksa Neraka” tentu tahu apa yang saya maksud. Tapi film ini tetap sangat menarik untuk ditonton. Dan bagi mereka yang ingin mengetahui neraka versi buddhis Jepang, film ini bisa jadi pengantar yang bagus.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com