fbpx

MOVIE REVIEW: EDEN LAKE (2008)

EDEN LAKE
Sutradara: James Watkins

UK (2008)

Review oleh Tremor

Lahir dalam dekade di mana industri horror sedang marak-maraknya memproduksi film-film bergenre torture porn di Amerika, ditambah dengan trend new french extremity dari daratan Eropa, membuat sebagian penggemar horror merasa film Eden Lake kurang ekstrim. Tentu saja, karena Eden Lake bukanlah film torture seperti harapan mereka, melainkan sebuah film survival + backwoods horror. Film ini merupakan debut dari sutradara James Watkins yang di kemudian hari membuat film The Woman in Black (2012) dan salah satu episode Black Mirror yang paling membuat tidak nyaman penonton: Shut Up And Dance (2016). Pada dasarnya Eden Lake adalah rural / backwoods horror versi Inggris (silakan baca lebih jauh penjabaran soal backwoods horror dalam review saya untuk film Tucker And Dale vs Evil.)

Plot film ini dibuka dengan tipikal film slasher dan rural / backwoods horror pada umumnya, tapi jangan berharap akan ada seorang maniak bertopeng di sini. Seorang guru taman kanak-kanak bernama Jenny pergi untuk menghabiskan akhir pekan dengan pacarnya, Steve. Rencananya mereka akan berkemah di pinggir sebuah danau terpencil di tengah hutan yang sepertinya Steve pernah ketahui dari masa mudanya. Namun dalam waktu dekat danau tersebut akan dibangun menjadi sebuah kawasan pariwisata. Itulah mengapa Steve mengajak Jenny ke sana, agar bisa menikmati alam liar sepenuhnya sebelum tempat itu dijadikan tempat komersil. Lagi pula ada yang Jenny tidak ketahui dari rencana Steve, bahwa ia akan melamar Jenny dalam liburan ini. Seperti umumnya plot dalam film semacam ini, sejak mereka berhenti di perjalanan untuk menginap di sebuah dusun kecil dekat danau, mereka menyaksikan betapa kasar dan tidak sopannya penduduk di sana. Awalnya mobil yang mereka kendarai harus mengerem mendadak karena berpapasan dengan segerombol remaja nakal yang dengan santainya melanggar lampu merah. Saat sedang menikmati bir dingin di tempat mereka menginap, Jenny terkejut melihat seorang perempuan yang menampar anaknya sendiri karena hal sepele, sesuatu yang tidak pernah Jenny lihat di kota besar. Para penduduk juga mabuk-mabukan dan berpesta hingga malam hari, mengganggu tidur Jenny dan Steve. Namun Steve sejak awal enggan melakukan apapun soal hal ini.

Keesokan harinya Jenny dan Steve pergi meninggalkan dusun kecil yang tidak ramah tersebut menuju tujuan mereka, yang kini sudah dipasangi plang dengan nama komersil Danau Eden. Kawasan itu sudah mulai dipagari, namun pembangunan belum benar-benar dimulai. Setelah menerobos salah satu pagar yang belum terpasang, mereka akhirnya tiba di pinggir danau. Di sana Jenny dan Steve mulai berenang, berjemur dan menikmati kedamaian danau ini. Tapi momen mereka mulai terganggu dengan kedatangan segerombol remaja bully yang juga sedang menikmati sore hari di danau. Para remaja ini adalah remaja yang mereka temui pada malam sebelumnya di lampu merah. Sebenarnya mereka berkumpul agak jauh dari Jenny dan Steve, tapi mereka memasang musik dengan volume yang keras. Belum lagi seekor anjing yang mereka bawa terus menerus mengganggu Jenny. Karena merasa terganggu dengan kehadiran mereka, Jenny meminta Steve untuk pindah tempat, namun Steve malah menenangkan Jenny dan berkata “boys will be boys”. Setelah melihat anjing tersebut buang air besar di pinggir mereka, Steve yang selama ini diam, akhirnya mendekati gerombolan remaja ini.

Steve meminta mereka untuk mengecilkan suara musik dan mengendalikan anjing yang mereka bawa. Namun mereka meremehkan Steve dan berkata-kata kasar padanya. Geng ini dipimpin oleh seorang anak yang tampak paling dominan bernama Brett. Remaja lain dalam geng ini tampaknya tidak begitu nakal, namun semua ada di bawah kendali Brett. Dengan muka masam, Steve kembali ke samping Jenny dan egonya menolak untuk pindah tempat. Ia tidak terima karena baru saja di-bully oleh segerombol remaja ingusan. Tak lama kemudian geng tersebut pergi meninggalkan lokasi, melewati Jenny dan Steve sambil masih mengganggu dengan kata-kata tidak sopan. Jenny dan Steve akhirnya bisa menikmati camping mereka berdua saja malam itu. Keesokan harinya Jenny kelaparan dan stok persediaan makan mereka telah dipenuhi semut. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke dusun untuk sarapan. Namun betapa murkanya Steve saat menyadari bahwa seseorang telah menggembosi ban mobilnya. Steve dan kita tahu bahwa ini adalah ulah para remaja tersebut. Setelah berhasil mengganti ban mobil, mereka pun pergi sarapan di dusun. Steve sempat bertanya soal gerombolan ini pada pemilik rumah makan, dan dari respon yang ia dapat, sepertinya kenakalan para remaja ini sudah cukup dikenal dan dimaklumi oleh para penduduk desa.

Hari itu juga Jenny dan Steve kembali ke danau Eden untuk melanjutkan akhir pekan mereka. Betapa leganya mereka karena kali ini tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua. Merekapun berenang dan bersenang-senang hingga Steve tersadar salah satu tas mereka hilang, tas yang berisi kunci mobil dan telepon genggam. Steve mengamuk saat mengetahui bahwa mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana pun ikut hilang. Kita tentu tahu ulah siapa ini. Steve yang murka dan Jenny yang kebingungan akhirnya berjalan kaki untuk mencari para pembuat onar tersebut. Sejauh ini kenakalan Brett dkk masih bisa dianggap wajar. Mereka mencuri mobil hanya untuk bersenang-senang dan membully Steve, bukan untuk menjualnya seperti umumnya pencuri mobil dewasa. Saat Steve dan Jenny tengah berjalan kaki dengan hati dongkol, geng remaja ini melewati mereka sambil tertawa-tawa menggunakan mobil Steve. Wajar saja kalau Steve semakin murka karena direndahkan oleh anak-anak kecil. Malam itu akhirnya Steve dan Jenny berhasil menemukan para remaja ini sedang berkumpul di sekitar api unggun sambil minum-minum dalam hutan. Steve berusaha menahan emosinya dan meminta kunci mobil dan teleponnya baik-baik pada Brett. Namun para remaja ini mulai mengeluarkan pisau untuk mengancam. Saat mereka hendak mengeroyok, Steve berhasil merebut pisau dan secara tidak sengaja membunuh anjing milik Brett. Ini membuat Brett sangat murka, dan amarah ini membuka pintu pada sisi psikopatik Brett. Mulai dari momen inilah semua peristiwa yang terjadi di sepanjang film berubah mengerikan. Apa yang mulanya adalah kenakalan geng remaja biasa menjadi sebuah perburuan berdarah.

Meskipun bukan sebagai pelopor, namun film Eden Lake seakan memunculkan sebuah “kelas” baru dalam klasifikasi genre horror, yaitu Chav horror. Sayangnya ini tidak menjadi trend setelah Eden Lake dirilis. “Chav” sendiri merupakan sebuah istilah slang british yang kira-kira artinya adalah: kelompok / geng remaja nakal yang suka sekali mencari masalah, kekerasan serta perkelahian. Kelompok remaja dalam film A Clockwork Orange (1971), This Is England (2006), dan Attack the Block (2011) jelas adalah penggambaran Chav paling sempurna dalam sinema Inggris. Usia mereka mungkin masih sangat muda, tetapi kekerasan dan senjata adalah keseharian, dan mereka menyukai hal tersebut. Identitas terpenting dari Chav adalah, mereka identik dengan kelompok kelas bawah berpendidikan rendah. Di sinilah kita mulai menemukan di mana letak kemiripan karakter antagonis film-film backwoods Amerika (yang biasanya adalah para redneck pedesaan selatan dan tidak berpendidikan), dengan film Eden lake. Keduanya berangkat dari prasangka buruk yang sama: bahwa mereka yang miskin dan tinggal di desa bisa jadi adalah orang-orang bodoh berdarah dingin dan kejam. Jadi, dengan sempurna Eden Lake menggabungkan konsep backwood horror dengan sesuatu yang secara kultural sangat british: chav, gang culture, dan kekerasan. Konsep ini jelas tidak akan bisa ditiru oleh film manapun yang bukan berasal dari Inggris. Contohnya, banyak orang membandingkan Eden Lake dengan film Ils/Them (2006) asal Prancis karena plotnya yang sama-sama mengenai sepasang orang dewasa diteror oleh gerombolan anak kecil. Namun saya rasa perbedaan mencolok antara Eden Lake dengan Ils sudah jelas di sini, yaitu soal relevansinya dengan budaya di negara asal film. Gang culture dan kekerasan remaja adalah sesuatu yang memang benar-benar ada dalam masyarakat Inggris, bahkan sejak sebelum The Clockwork Orange ditulis. Bukan tidak mungkin apa yang terjadi dalam Eden Lake bisa juga terjadi dalam kehidupan nyata. Sementara itu sangat kecil kemungkinannya apa yang terjadi dalam film Ils akan benar-benar terjadi di Prancis dengan budayanya yang berbeda. Di sinilah keberhasilan sebuah horror, dalam hal ini keberhasilan Eden Lake bagi para penonton asal Inggris. Kadang rasa takut tidak datang dari sosok-sosok supranatural, tetapi dari sesuatu yang nyata ada di sekitar mereka.

Saya suka bagaimana film ini menyusun tahapan eskalasi konfliknya dari mulai Jenny dan Steve yang diganggu oleh geng remaja nakal dan reckless namun masih dalam tingkat wajar, membuat pemimpin mereka Brett murka, hingga Brett yang psikopatik siap melakukan apapun untuk menyalurkan amarahnya. Para anggota geng Brett sebenarnya tidak nakal-nakal amat. Namun Brett jelas adalah seorang bully yang ditakuti oleh para anggotanya. Aktor muda yang memerankan Brett bekerja dengan sangat baik dalam film ini. Sangat jelas bagaimana ia bisa menggambarkan Brett sebagai karakter yang penuh kebencian, memiliki sisi gelap sadistik, seorang psikopat yang tersembunyi dalam fisik remaja, dan sangat dominan di antara teman-temannya. Karakter ini bagaikan sebuah variasi dari karakter Alex dalam film A Clockwork Orange: seorang bully, penindas, memiliki pengaruh besar dan sangat manipulatif hingga teman-temannya yang awalnya kurang berani itu mulai memberanikan diri untuk menjadi menjadi sekejam Brett. Ini adalah contoh dari peer preasure dan kenakalan remaja yang sangat ekstrim.

Terlepas dari semua keputusan-keputusan bodoh yang dilakukan oleh hampir semua pihak dalam film ini, ditambah dengan sedikit kecacatan logika pada beberapa bagian, saya pribadi cukup menyukai film Eden Lake. Ya, beberapa karakter memang membuat keputusan-keputusan bodoh, tapi itu tidak membuat film ini berubah menjadi konyol seperti yang bisa kita temui pada kebanyakan sekuel franchise film-film slasher Amerika. Eden Lake memiliki adegan brutal di beberapa titik, dan kesadisan ini digambarkan dengan sangat realistis lewat special effect tradisionalnya, cukup untuk membuat para penonton yang tidak tahan dengan adegan kekerasan menutup mata mereka. Walaupun kesadisan dalam film ini tertutup bayang-bayang kepopuleran film Martyr yang dirilis pada tahun yang sama (di tengah dunia horor yang haus akan torture porn pada saat itu), namun Eden Lake memiliki kekuatannya sendiri. Sebagai film survival horror, film ini berhasil menggambarkan rasa keputusasaan dan ketegangan yang terus meningkat di sepanjang film. Eden Lake adalah film yang gelap, menegangkan, penuh darah, agak realistis dan oh, ending-nya… saya tidak ingin mengingat ending film ini lagi. Ending yang sangat suram dari Eden Lake adalah salah satu faktor mengapa film ini cukup dikenang (dan bahkan kadang dibenci) oleh para penontonnya.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com