fbpx

MOVIE REVIEW: VIDEODROME (1983)


VIDEODROME
Sutradara: David Cronenberg
Kanada (1983)

Review oleh Tremor

Videodrome adalah sebuah film horror / science fiction yang ditulis dan disutradarai oleh salah satu master film horor, David Cronenberg. Para penggemar film horor tentu sudah tidak asing dengan nama ini, dan pastinya sudah sangat familiar dengan ciri khas Cronenberg dalam menggarap film horor: body horror, psikologikal, teknologi, infeksi, kekerasan, dan seksualitas. Film horor lain karya Cronenberg yang juga sangat patut untuk ditonton tentu saja diantaranya adalah The Brood (1979), Scanners (1981), remake dari The Fly (1986), serta Dead Ringers (1988). Namun Cronenberg adalah sineas sejati. Walaupun namanya dibesarkan oleh kultur horor, ia juga tidak ragu untuk melakukan eksplorasi dalam penyutradaraan, keluar dari zona nyamannya (sci-fi body horor) dan membuat film-film non-horror seperti A History of Violence (2005), Eastern Promises (2007), hingga film drama satir berjudul Maps of the Stars (2014).

Max Renn (diperankan oleh James Woods), adalah seorang presiden dari sebuah stasiun TV khusus dewasa yang bernama Civic TV, dimana ia berusaha untuk memiliki program-program sensasional dan provokatif, seperti tayangan-tayangan softcore porn misalnya. Max berpendapat bahwa Civic TV harus sanggup menyediakan apa yang masyarakat diam-diam inginkan, tapi tidak bisa didapat di stasiun TV lain. Akhirnya ia dan para petinggi Civic TV bersepakat bahwa mereka sudah jenuh dengan semua tawaran softcore-porn murahan yang datang ke kantor mereka. Civic TV memerlukan sesuatu yang jauh lebih provokatif untuk disiarkan. Suatu hari, dibantu oleh salah seorang teknisinya, Max mendapatkan sebuah siaran bocor yang diambil lewat frekuensi yang dengan sengaja mereka bajak. Isi siaran tersebut adalah sebuah seri film snuff yang didramatisir, yang dalam film ini berjudul Videodrome. Bagi mereka yang tidak tahu istilah ini, snuff adalah sebuah genre/istilah yang kira-kira artinya adalah rekaman asli dari sebuah kejadian pembunuhan / penyiksaan asli (bukan diperankan oleh aktor dan tidak ada seni peran sama sekali). Contoh rekaman snuff misalnya video rekaman pemenggalan kepala tawanan perang, video proses seseorang melakukan pembunuhan, atau bunuh diri. Biasanya keberadaan film snuff itu dilarang, dan bisa saja beredar secara rahasia di bawah tanah, menyebar di kalangan tertentu saja: orang-orang gila yang menikmati imaji-imaji kekerasan asli. Oke, kembali ke Videodrome, Max percaya bahwa rekaman-rekaman video yang mereka dapat lewat frekuensi yang dibajak tersebut sama sekali bukan snuff, melainkan sebuah bentuk hiburan jenis baru bagi mereka yang haus akan adegan kekerasan. Ia sangat terkesima dengan isinya: penyiksaan yang diambil dalam sebuah ruangan kecil berdinding merah. Max pun mulai terobsesi untuk melacak siapa pembuat seri videodrome ini.

Karena stasiun TV-nya cukup kontroversial lewat tayangan-tayangan penuh kekerasan dan pornografi, suatu hari Max diundang sebagai narasumber untuk bertukar pendapat dalam sebuah program talkshow di TV. Dalam talk show tersebutlah ia pertama kali berkenalan (dan langsung menggoda) seorang penyiar radio bernama Nicki Brand (diperankan oleh vokalis band Blondie: Debbie Harry). Selain Nicki, narasumber lain dalam acara tersebut adalah seorang profesor misterius bernama Brian O’Blivion yang tidak hadir secara fisik, namun hadir dalam layar televisi. Tema utama dalam talkshow tersebut adalah, dampak kekerasan dalam TV pada kehidupan nyata. Dan tentu saja Max adalah orang yang paling disudutkan dan dikritik dalam topik ini. Namun Max berpendapat, “lebih baik kekerasan di tv daripada di jalanan”. Ia hanya menayangkan apa yang penonton inginkan.

Dibantu oleh salah satu koleganya yang memiliki jaringan luas di industri hiburan televisi, sedikit demi sedikit Max pun mulai menemukan beberapa titik terang dan petunjuk dalam pencariannya atas sumber dan pembuat Videodrome yang ternyata terkait juga dengan nama O’blivion, sang profesor misterius yang selalu berkomunikasi hanya lewat layar televisi. Dikuasai oleh rsa penasaran yang berubah menjadi obsesi terhadap videodrome, Max pun terus mencari tahu mengenai esensi, proses, filosofi dan cara kerja videodrome, hingga ia menyadari bahwa apa yang semua orang peringatkan padanya mengenai videodrome benar adanya: videodrome adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Semakin dalam ia terjerumus ke dalam jerat videodrome, semakin tidak masuk akal semuanya. Namun sudah terlambat bagi Max untuk menyesal.

Max mulai menyadari bahwa ternyata siaran videodrome bukanlah sekedar hiburan belaka. Ada plot dan rencana jahat di baliknya. Dalam sebuah rekaman videonya, Prof O’Blivion memaparkan bahwa sebuah siaran televisi memancarkan sinyal elektronik yang ketika tertransmisi akan mendorong tumbuhnya tumor otak di balik tempurung tengkorak para penontonnya. Sinyal ini akan lebih efektif kalau dipancarkan lewat siaran penuh kekerasan yang ditonton secara pasif: videodrome. Dan ketika tumor ini mulai tumbuh, ia mulai menyebabkan halusinasi pada penderitanya. Sebagai seorang spesialis body-horror, rupanya Cronenberg tidak puas sampai di aspek psikologi saja. Pada titik terekstrim dari terpaparnya seseorang dengan videodrome, halusinasi mulai bertransformasi menjadi hal nyata yang berdaging dan berdarah layaknya tumor itu sendiri, dan penderitanya kemudian bisa didikte, diprogram dan dijadikan alat untuk menyebarkan lebih banyak lagi kekerasan. Videodrome adalah program TV yang mampu memprogram penontonnya, seperti apa yang terjadi pada Max kemudian dimana bukan hanya psikologi, nalar dan persepsi Max saja yang terinfeksi, tetapi juga tubuh biologisnya.

Namun Videodrome karya Cronenberg ini bukanlah murni film horror / science fiction belaka. Ia juga adalah sebuah karya satir yang penuh kritik dan simbol untuk menggambarkan kebangkitan komersial hiburan pertelevisian sebagai media yang sanggup mencuci otak para penontonnya, media yang mampu membentuk dan mempengaruhi perilaku manusia, hingga terbangun hubungan khusus yang intim antara manusia dengan layar televisinya. Dilihat dari konteks waktu, film ini dibuat pada awal 80-an, dimana media televisi dan home-video memulai masa keemasannya, dimana semua orang memilih untuk tinggal di rumah menonton televisi dengan pasif daripada melakukan aktivitas nyata di luar rumah. Kenyataan tergantikan oleh tontonan. Realita ada di layar televisi. Awal 80-an juga menandakan lahirnya fenomena “video nasty” di Inggris, yaitu film-film eksploitasi yang penuh kekerasan dalam bentuk kaset video dan dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja di toko-toko dan rental video. Mungkin pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh Cronenberg adalah, matikan televisimu sebelum ia menjadi realita bagimu.

Kalau dipikir lebih jauh, sebenarnya tema dalam film ini masih relevan hingga sekarang, dimana pengaruh media (yang bukan hanya televisi saja, melainkan internet juga) terhadap perilaku dan budaya manusia bisa dikatakan semakin kuat. Apalagi dalam hal tontonan seputar seks dan kekerasan. Menurut saya film Videodrome ini cukup brilian dan masih menggambarkan kenyataan di dunia modern, mengingat masyarakat sekarang diam-diam melihat kekerasan sebagai sesuatu yang normal, bahkan melihatnya sebagai hiburan, seperti yang pernah disindir oleh serial Black Mirror dalam episode perdananya. Karya Cronenberg ini juga dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Marshall McLuhan, seorang intelektual, filsuf, sekaligus dosen komunikasi yang juga berasal dari Kanada. Pada pertengahan 1960an McLuhan banyak memberikan kuliah dan menulis buku-buku mengenai bagaimana media komunikasi (surat kabar, foto, iklan, film, broadcasting tv dan radio, dll) membentuk dan mengendalikan masyarakat. Saya bukan ahli dalam bidang ini, jadi kalau kalian tertarik, silakan cari tau lebih banyak soal McLuhan, atau silakan tanya pada dosen komunikasimu.

 

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com