MOVIE REVIEW: THE WIND (2018)

THE WIND
Sutradara: Emma Tammi

USA (2018)

Review oleh Tremor

The Wind adalah sebuah debut yang mengesankan dari sutradara muda bernama Emma Tammi. Karya slowburn bergenre horor psikologis yang dikombinasikan dengan elemen supranatural ini ditulis dan dikemas dengan sangat baik. Berlatarkan daratan barat Amerika di tahun 1800-an, banyak orang mengkategorikan The Wind juga sebagai film bergenre horror western. Perlu diluruskan bahwa genre western bukan hanya mengenai film-film petualangan koboy semata, melainkan juga film-film yang mengangkat tema kehidupan di masa-masa awal kolonisasi tanah Amerika. The Wind sendiri menggambarkan sudut pandang yang menyegarkan soal kehidupan berat di tanah baru dan asing, tema yang sering diabaikan oleh film-film western pada umumnya. Dalam the Wind, penonton tidak akan mendapati karakter-karakter koboy ala John Wayne yang menyusuri pelosok-pelosok belukar bersama kudanya sambil menghindari konflik dengan penduduk native. Sebaliknya, film The Wind justru menggambarkan sisi kehidupan wild west di mana seorang perempuan imigran harus tinggal seorang diri di dalam kabin terpencil saat suaminya bepergian melakukan semua aktivitas ke-koboy-an nya.

Lizzy dan Isaac adalah pasangan muda yang telah lama menetap berdua saja di sebuah daerah tandus dan terisolasi di perbatasan barat Amerika. Rumah sederhana mereka berlokasi sangat jauh dari peradaban terdekat. Ini adalah masa di mana kolonialisasi Amerika baru saja dimulai dan tanah Amerika masih sangat luas untuk semua orang. Satu-satunya rumah lain yang bisa ditemui hanya berjarak sekitar 1,5 mil dari kediaman mereka berdua, dan rumah itu sudah lama dalam keadaan kosong. Dalam beberapa flashback, kita bisa melihat bagaimana Lizzy banyak menghabiskan waktu sendirian karena Isaac sering bepergian untuk waktu yang tidak bisa ditebak. Melakukan perjalanan di masa ini adalah hal yang tidak bisa terprediksi. Semua aspek kehidupan di masa ini memang terasa sangat sulit, terutama saat tempat tinggal mereka begitu terpencil di tengah alam liar yang masih belum terpetakan. Setelah sekian lama tinggal di sana, segalanya masih terasa asing dan tidak bersahabat bagi Lizzy. Tanahnya keras dan tandus, ditambah dengan kehadiran angin yang secara konstan berhembus di padang rumput luas ini, membuat rasa keterpencilan ini menjadi semakin buruk. Lizzy memang sudah terbiasa mengatasi segala kesulitan hidup yang terisolasi ini seorang diri. Namun sebenarnya ia merasakan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Suatu kehadiran supranatural yang ia anggap sebagai bagian dari alam padang rumput yang asing ini. Isaac yang tidak pernah bisa memahami ketakutan Lizzie, memberi tahu istrinya bahwa ia hanya membayangkan sesuatu yang hanya ada di kepalanya. Isaac terus meyakinkan Lizzie bahwa tidak ada apa-apa di luar sana selain angin.

Pamflet relijius berjudul “Demons of the Prairie” yang pernah Lizzy dapat dari seorang pendeta musafir adalah salah satu aspek yang membuat perasaan ini semakin buruk. Di dalam pamflet tersebut, terdapat informasi lengkap tentang jenis-jenis roh jahat yang dipercaya bergentayangan di padang rumput. Walaupun ditemani terror gangguan dari alam sekitarnya, Lizzy tetap berusaha melakukan rutinitas hariannya sambil terus mencoba mengabaikan rasa takutnya setiap kali ia sendirian. Tapi hembusan angin tetap lebih unggul karena ia tidak pernah membiarkan Lizzy (dan penonton) merasa aman, bahkan di siang hari saat Lizzy dikelilingi hewan-hewan ternak sekalipun. Suatu hari, Lizzy dan Isaac akhirnya memiliki tetangga. Emma dan Gideon, pasangan muda lainnya yang baru saja pindah dari kota menempati satu-satunya rumah dekat kediaman Lizzy. Sebagai satu-satunya tetangga, mereka segera berteman. Emma dan Gideon belum terbiasa dengan cara hidup di tengah padang rumput sama sekali dan Lizzy dengan senang hati mau membantu mereka karena ia senang dengan kehadiran orang lain di sekitarnya. Namun beberapa lama kemudian Emma juga mulai merasakan elemen supernatural di padang rumput yang sudah lama dirasakan oleh Lizzy. Jadi apakah memang ada sesuatu di padang rumput tersebut? Sesuatu yang bisa saja membuat para penduduknya gila, sesuatu yang membantu perasaan terisolasi bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih jahat?

Sebenarnya cerita dan gaya narasi film The Wind tidak sesederhana plot yang baru saja saya tulis, karena film ber-pace lambat ini dituturkan dengan cara yang non-kronologis / non-linear. Tapi dengan berkonsentrasi dan memperhatikan beberapa detail, kita tetap akan bisa membedakan mana yang merupakan flashback dan mana yang bukan. Setiap flashback yang kita lihat adalah potongan puzzle di mana kita akan terus lebih mengenal karakter Lizzy. Apa yang sulit adalah membedakan apakah semua momen menyeramkan yang Lizzy alami merupakan hal yang nyata terjadi, atau hanya ada di kepalanya saja. The Wind adalah jenis film horor psikologis di mana elemen supernatural-nya mungkin saja nyata dan mungkin juga tidak. Kisah ini diambil dari sudut pandang Lizzy, jadi kita hanya akan melihat apa yang Lizzy alami dan rasakan, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Interpretasi setiap penonton tentang The Wind bisa saja berbeda-beda karena elemen horor dalam film ini begitu ambigu. Apalagi unsur psikologis maupun unsur supernatural-nya disampaikan dengan sangat halus.

Meskipun film ini bagaikan sebuah studi atas karakter Lizzie, tapi pada dasarnya The Wind adalah kisah yang berpusat pada isolasi, paranoia, perasaan kesepian, terror, serta kegilaan. Perasaan terisolasi dalam film ini diperkuat dengan pace lambat, dialog yang minim, serta atmosfer yang sangat mendominasi. Belum lagi sinematografinya yang sangat cantik sekaligus terasa hampa, ditambah dengan backsound yang sangat efektif. Film semacam ini mungkin tidak akan cocok bagi mereka yang selalu membutuhkan jawaban dan pengungkapan memuaskan di ending film. Sama seperti Lizzy, para penonton tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti dan kebenaran yang sebenarnya. Tapi kalau kalian menikmati film-film semacam It Comes at Night (2017) dan The Lighthouse (2019), mungkin kalian perlu mencoba untuk menonton The Wind. Walaupun tidak masuk ke dalam daftar film favorit saya, tapi saya pribadi cukup menikmati The Wind dan menyukai ketegangan serta rasa teror mencekam yang dibangun di dalamnya.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com