THE PEOPLE UNDER THE STAIRS
Sutradara: Wes Craven
USA (1991)
Review oleh Tremor
Ketika nama sutradara mendiang Wes Craven disebut, banyak orang akan secara otomatis teringat dengan mahakarya yang membesarkan namanya sebagai salah satu master of horror, yaitu franchise A Nightmare on Elm Street, atau mungkin juga franchise Scream bagi generasi 90-an. Mereka yang menonton lebih banyak film horor pasti mengenal juga karya-karya Craven lainnya seperti debutnya yang kontroversial The Last House on the Left (1972), The Hills Have Eyes (1977), The Serpent and the Rainbow (1988) hingga Shocker (1989). Namun filmografi Wes Craven tidak selalu konsisten dan mulus. Dalam beberapa kesempatan ia mencoba bereksperimen dan bahkan sempat gagal seperti dalam film Swamp Thing (1982). Di antara periode A Nightmare on Elm Street dan Scream, Craven membuat salah satu eksperimen lainnya, sebuah film thriller horror komedi yang terasa berbeda dari film-film buatannya namun cukup memorable bagi banyak penggemar horor. The People Under the Stairs adalah eksperimen Craven yang cukup menghibur dan menyenangkan namun paling sering diremehkan. Dalam eksperimennya ini ia menggabungkan thriller, horor, komedi komikal slapstik yang konyol, gore, petualangan anak, hingga sindiran satir dan komentar sosial yang cukup serius.
Meskipun ada banyak komedi di dalamnya, premis The People Under the Stairs yang ditulis oleh Wes Craven sendiri sebenarnya cukup serius. Seorang remaja kulit hitam bernama PointDexter Williams yang biasa dipanggil dengan nama “Fool” memiliki kehidupan yang sama sekali tidak mudah meskipun ia baru berumur 13 tahun. Fool tinggal di rumah susun kumuh bersama kakak perempuannya, serta ibunya yang tidak bisa bekerja karena didiagnosa kanker. Keluarga Fool adalah satu-satunya keluarga miskin yang tersisa dalam bangunan yang akan digusur itu, dan mereka akan segera diusir karena telah terlalu lama menunggak biaya sewa. Melihat kesulitan ini, pacar kakak Fool yang bernama Leroy dan kawannya Spencer mengajak Fool untuk ikut membantu sebuah aksi perampokan agar Fool bisa membiayai pengobatan ibunya sekaligus menyewa tempat tinggal baru. Tidak main-main, target perampokan mereka adalah tuan tanah pemilik rusun-rusun kumuh di area ghetto, termasuk tempat keluarga Fool tinggal. Mereka adalah pasangan suami istri Robesons yang terkenal licik dan serakah. Keluarga dengan Robesons sengaja memberatkan keluarga-keluarga miskin agar bisa diusir dari rusun-rusun ghetto yang akan mereka hancurkan untuk dibangun kondominium mewah bagi orang kaya. Merasa perlu melakukan sesuatu agar ibunya tidak harus tinggal di jalanan, Fool pun sepakat membantu Leroy untuk mengintai rumah besar milik Robesons yang kabarnya menyimpan banyak koin emas. Ketika pasangan Robesons terlihat pergi meninggalkan rumah, Spencer segera masuk ke dalam rumah. Namun ia tidak pernah keluar. Leroy dan Fool pun nekat menyusul masuk ke dalam rumah untuk mencari Spencer. Tapi yang mereka temukan di dalam rumah bukanlah brankas berisi emas, melainkan sekelompok pemuda berkulit pucat seperti zombie dan berperilaku sangat agresif yang disekap di ruangan bawah tanah. Rencana perampokan Leroy dan Fool berubah menjadi semakin menegangkan ketika pasangan Robesons, yang ternyata merupakan kakak beradik psikopat maniak, kembali ke rumah.
The People Under the Stairs mungkin memiliki plot yang terasa berantakan dan aneh, namun saya suka dengan film ini karena kalau dipikir-pikir, tema dasarnya cukup gelap dan mengerikan. Dalam eksperimennya ini, Wes Craven berhasil membungkus tema gelap tersebut dengan cara membuatnya terasa ringan dan menghibur lewat banyak momen komedi konyol. Selain itu, karena pada dasarnya Fool sedang berburu harta karun, maka film ini juga memiliki sedikit nuansa film petualangan anak kecil. Terlebih lagi pada akhirnya para pahlawan dalam film ini adalah anak-anak yang masih sangat muda. Genre petualangan anak memang cukup populer di tahun 80/90-an, menjadikan The People Under the Stairs bagaikan film The Goonies (1985) atau Home Alone (1990) yang digabungkan dengan The Hills Have Eyes (1977) dan Don’t Breathe (2016). Walaupun pahlawan dalam film ini adalah anak kecil, dan beberapa bagian film ini terasa seperti tontonan keluarga yang menyenangkan, bukan berarti The People Under the Stairs pantas untuk ditonton oleh anak kecil, karena bagaimanapun juga film ini adalah buatan Wes Craven yang tidak bisa melepaskan hasrat horornya. Dalam film ini kita bisa melihat genangan darah, mayat manusia yang perutnya sudah tercabik-cabik, tangan putus, hingga tulang benulang manusia, yang saya pikir akan menimbulkan mimpi buruk bagi para penonton anak kecil. Namun sebagai sebuah film dengan banyak manusia kanibal dan psikopat di dalamnya, The People Under the Stairs bisa dibilang cukup lunak karena tidak memiliki adegan gore yang terang-terangan. Semua adegan kekerasannya tidak diperlihatkan di layar. Sebaliknya, film ini lebih banyak menonjolkan aksi-aksi kejar-kejaran dan slapstik komikal, termasuk beberapa ekspresi wajah yang seringkali tampak terlampau konyol.
Namun di balik adegan-adegan komikalnya, The People Under the Stairs pada dasarnya membahas permasalahan sosial ekonomi yang sangat serius di Amerika dan masih relevan sampai hari ini, yaitu seputar kesenjangan kelas dan rasialisme. The People Under The Stairs merupakan sebuah alegori tentang orang-orang kulit putih kaya yang memangsa komunitas perkotaan yang lebih miskin. Kalau diselami lebih dalam, Craven juga membahas tentang distribusi kekayaan yang tidak merata, ketimpangan antar kelas sosial, teror gentrifikasi yang mengancam komunitas kulit berwarna, rasialisme yang sistematis, hingga ketidaksetaraan kesempatan dalam konteks medis dan hukum bagi orang miskin. Semua yang digambarkan Wes Craven adalah realita menyedihkan di Amerika pada tahun 80-90an yang masih terjadi hingga hari ini, di mana komunitas kulit berwarna yang miskin terpaksa mengambil jalan kriminal demi bertahan hidup. Dalam film ini, sangat jelas juga bagaimana pasangan psikopat incest Robesons berhasil menyembunyikan semua kejahatan mereka selama ini karena mereka adalah kulit putih yang kaya raya. Tidak seorangpun menaruh curiga pada mereka karena stereotip “orang jahat” hampir selalu disematkan pada kelompok kulit berwarna miskin yang tinggal di pinggiran kota. Bahkan ketika ada laporan dugaan terjadinya penyiksaan dalam rumah keluarga Robesons, polisi datang menyelidiki rumah mereka dengan penuh sopan santun, memeriksa beberapa bagian rumah dan pergi begitu saja tanpa kecurigaan lebih dalam. Timpangnya perlakuan polisi terhadap tersangka kulit putih dan kulit berwarna juga masih menjadi topik yang selalu dibicarakan hingga hari ini. Dalam salah satu wawancaranya, Wes Craven menyatakan bahwa ia menulis The People Under The Stairs berdasarkan sebuah kisah nyata tentang sekelompok pencuri yang secara tidak sengaja mengungkap kasus penyekapan dua anak kecil dalam sebuah rumah keluarga kulit putih yang kaya. Craven tertarik untuk mengembangkan ironi tentang bagaimana komunitas kulit putih kelas atas bisa dengan mudah menyembunyikan rahasia gelap mereka.
Pada tahun 1990an, sangat jarang ada film horror yang mengangkat persoalan rasialisme serta kesenjangan sosial antara komunitas kulit hitam miskin yang dimarjinalkan dan kelompok kulit putih kelas menengah ke atas. Mungkin yang sedikit menyinggung tema ini adalah Candyman (1992), meskipun villain dan para korbannya adalah kulit hitam, dengan protagonis seorang perempuan berkulit putih. Sangat jarang juga ada film horor yang menggunakan karakter kulit hitam sebagai pahlawannya selain dalam film-film bergenre blaxploitation. Bahkan hingga beberapa tahun ke belakang, genre horor barat masih didominasi karakter protagonis kulit putih, sebelum akhirnya sutradara Jordan Peele membuat gebrakan yang sangat berani dan inspiratif lewat Get Out (2017) yang kemudian melahirkan gerakan Black Horror. Dengan alasan ini saja, Wes Craven sudah sangat layak untuk diberi apresiasi karena berhasil mengkritik diskriminasi rasial di Amerika lewat sebuah film dengan cukup serius tanpa perlu terasa seperti ceramah atau kampanye.
Saya juga suka dengan bagaimana Craven memperlakukan rumah milik Robesons bagaikan karakter tersendiri. Dari luar, rumah ini memang tampak tidak terlalu besar. Namun di dalamnya dipenuhi dengan labirin lorong sistem pemanas rumah di balik dinding yang hanya bisa diakses oleh mereka yang bertubuh kecil, serta banyak pintu rahasia dan jebakan yang dengan sengaja dirancang oleh keluarga Robesons. Yang saya sayangkan dari film ini adalah desain para kanibal yang disekap di ruang bawah tanah. Wes Craven menggambarkan penampilan mereka bagaikan sekelompok rocker hair metal tahun 80-an, menjadikan orang-orang yang dijadikan judul film ini tidak meninggalkan kesan sama sekali. Dan mengapa mereka memiliki senter? Kalau ada sekelompok manusia disekap di ruang bawah tanah sejak kecil, hanya diberi makan sampah dan sengaja dibuat selalu kelaparan hingga insting mereka mencapai titik kanibalistik, saya membayangkan bukankah akan lebih cocok kalau mereka tampak begitu kotor, tidak terurus dan jauh lebih agresif? Namun saya memahami bahwa mungkin Craven tidak ingin menggambarkan mereka sebagai karakter-karakter villain menyeramkan karena sebenarnya mereka adalah korban dari monster yang sesungguhnya dalam film ini: pasangan Robesons yang tampak normal.
The People Under the Stairs mungkin bukanlah film terbaik buatan Wes Craven, apalagi yang paling menakutkan. Pada dasarnya memang tidak ada satupun hal yang menakutkan dari film ini selain premis yang gelap. Namun The People Under the Stairs tetaplah sebuah film dengan pesan serius namun tetap menghibur dan layak mendapat sorotan tersendiri sebagai karya penulisan eksperimental Craven yang underrated, peka, dan akan selalu mengingatkan para penggemarnya bahwa ia pernah berani keluar dari zona nyamannya sebagai sutradara horor untuk menyampaikan kegelisahannya tentang kebobrokan masyarakat Amerika.