THE LAST MATINEE / RED SCREENING / AL MORIR LA MATINÉE
Sutradara: Maximiliano Contenti
Uruguay (2020)
Review oleh Tremor
The Last Matinee / Red Screening adalah film horor slasher retro asal Uruguay yang disutradarai oleh Maximiliano Contenti. Dalam bahasa aslinya, film ini dirilis dengan judul Al Morir la Matinée yang kalau diterjemahkan artinya adalah “When the Matinee Died”. The Last Matinee adalah film yang saya yakin akan membuat para penggemar giallo Italia dan slasher Amerika bersenang-senang. Bagaimana tidak, sang sutradara tampaknya tahu betul bagaimana membuat film slasher bergaya giallo secara efektif walaupun bermodalkan bajet dan lokasi yang terbatas. Dalam The Last Matinee kita juga akan melihat banyak adegan dari film horror lain yang diputar di layar bioskop tempat semua kejadian dalam The Last Matinee berlangsung. Konsep film horror di dalam film horror ini sedikit mengingatkan saya pada konsep film-film horror ikonik seperti Demons (1985) dan Anguish (1987). Sebagai sebuah karya homage bagi genre giallo dan slasher, warna dan gaya dalam The Last Matinee jauh lebih menonjol dibandingkan plotnya. Jadi pada dasarnya film ini tidak memiliki plot yang rumit sama sekali.
Film ini berlatarkan tahun 1993 di sebuah bioskop bernama Montevideo. Seorang perempuan muda bernama Ana khawatir dengan kesehatan ayahnya yang bekerja terlalu keras sebagai projectionist di Montevideo. Ana yang sedari kecil sering diajarkan cara mengoperasikan mesin proyektor oleh ayahnya, datang untuk memintanya pulang dan beristirahat. Ana meyakinkan ayahnya bahwa malam ini ia akan menggantikan pekerjaan lemburnya di ruang proyektor. Ayah Ana yang percaya pada kemampuan putrinya pun akhirnya menyetujuinya. Tugas Ana tidak terlalu sulit karena ia hanya perlu mengganti gulungan film dan berjaga-jaga kalau pita film terputus di tengah penayangan. Di sela-sela pekerjaan mudah ini, Ana berencana menghabiskan waktu untuk belajar menjelang ujian di kampusnya. Lagipula ini adalah penayangan terakhir malam itu, dan hanya ada satu film yang akan tayang. Film tersebut adalah sebuah film horror yang kurang diminati, berjudul Frankenstein: Day of the Beast.
Kebetulan hujan lebat turun tak berhenti pada malam itu. Beberapa orang masuk ke dalam bioskop untuk berteduh dan mereka terpaksa menghabiskan waktu dengan cara menonton satu-satunya film yang tayang. Seharusnya ini adalah malam yang tenang. Ruangan teater yang luas tersebut tampak nyaris kosong karena hanya diisi oleh beberapa orang yang duduk saling berjauhan dan masing-masing sibuk dengan urusannya. Salah satu orang yang masuk ke Montevideo adalah sesosok misterius yang mengenakan jas hujan dan sarung tangan kulit: seorang pembunuh psikopat. Kemudian kita mulai diperkenalkan dengan beberapa karakter yang tentu saja merupakan para calon korban sang psikopat. Mereka adalah seorang kakek tua, beberapa remaja mabuk, pasangan yang sedang berkencan, dan seorang anak kecil yang secara diam-diam menyelinap untuk menonton film horror secara gratis. Film Frankenstein pun dimulai. Sang psikopat pun membunuh satu-satunya penjaga bioskop dan mengunci gerbang utama gedung. Tak butuh waktu lama hingga satu persatu penonton dalam ruang teater mulai menjadi korban pembunuhan psikopat sadis yang beraksi dengan hening dalam gelap. Malam yang Ana pikir sebagai malam yang tenang untuk belajar pun berubah menjadi pertarungan antara hidup dan mati dengan si pembunuh saat ia menemukan para penonton telah menjadi mayat.
Lokasi film ini hanya berada di satu tempat saja, yaitu sebuah bioskop tua yang memiliki banyak sudut-sudut gelap, lokasi yang menurut saya sangat tepat untuk film ini. Saya menyukai bagaimana ruang teater yang sepi menjadi lokasi yang sangat mendukung bagi seorang pembunuh psikopat untuk bisa bergerak bebas dalam gelap di balik deretan kursi-kursi kosong dan mencabut nyawa penonton satu persatu. Semua ini tampak masuk akal, karena tidak ada yang memperhatikan kegelapan dalam ruang teater yang begitu luas dan kosong. Semua orang menaruh perhatiannya pada layar bioskop. Tak seorangpun akan mendengar teriakan, karena suara audio dari film yang diputarpun memiliki banyak teriakan dengan volume yang jauh lebih keras. Karakter pembunuh dalam The Last Matinee diberi nama “Come Ojos”, yang artinya kurang lebih adalah “makan bola mata”. Menariknya, karakter Come Ojos ini diperankan oleh salah satu pionir film horor Uruguay yang bernama Ricardo Islas, dan ia adalah sutradara dari film independen Frankenstein: Day of the Beast (2011) yang diputar di layar bioskop dalam The Last Matinee.
Layaknya film slasher, cerita dan karakter dalam film ini tidak terlalu memiliki kedalaman. Penonton tidak tahu apa-apa tentang semua karakter dalam film ini, termasuk karakter Come Ojos. Itu membuat kita menjadi tidak akan terlalu peduli dengan nasib para korban pembantaian Come Ojos. Justru sebaliknya, kita menunggu-nunggu mereka semua terbunuh, karena itulah daya tarik film slasher. Pembunuhan dalam The Last Matinee juga menggunakan banyak formula klasik slasher. Come Ojos mengeksekusi para korbannya dengan dingin, sadis sekaligus kreatif, menggunakan senjata apapun selain senjata api, dengan para korban yang umumnya masih muda. Formula “wajib” dalam film slasher lainnya adalah hadirnya sosok final girl, yaitu satu karakter perempuan yang berhasil bertahan dari ancaman sang pembantai dan akan menjadi pahlawan. Tentu saja sejak film ini dimulai, kita tahu kalau Ana adalah satu-satunya kandidat final girl terkuat dari keseluruhan cast.
Tak cukup dengan menonjolkan karakteristik umum film slasher, sutradara Contenti juga menambahkan banyak ramuan gaya film-film giallo Italia, yang merupakan “leluhur” dari genre slasher Amerika. Gaya Giallo yang paling menonjol dalam film ini tentu saja bisa dilihat pada penampilan sang pembunuhnya sendiri: mengenakan jas hujan serta sarung tangan hitam, dan lebih sering tampak sebagai bayangan atau siluet. Pembunuhan sadis dengan metode yang tak biasa, ditambah dengan close-up pada mata korban juga adalah beberapa ciri film giallo lain yang hadir dalam The Last Matinee. Belum lagi dengan digunakannya filter-filter cahaya berwarna merah, biru dan kuning ala giallo menerangi setiap sudut film ini. Para penggemar horror giallo klasik juga akan kegirangan saat mereka melihat easter egg sang maestro Giallo, Dario Argento, dalam film ini, yang saya yakin merupakan bentuk penghormatan dari sutradara / penulis Maximiliano Contenti bagi Argento dan genre giallo secara keseluruhan. Satu-satunya unsur giallo yang sayangnya tidak hadir dalam film ini adalah soundtrack progressive rock absurd ala Goblin yang mengiringi adegan-adegan pembunuhan.
Secara keseluruhan, The Last Matinee adalah film yang menyenangkan. Sutradara Maximiliano Contenti jelas memiliki kemampuan menjanjikan dalam menghasilkan visual yang cukup memukau, lewat penggunaan pencahayaan kontras dan estetika walaupun dalam ruang teater yang gelap sekalipun. Special effect gore tradisional karya Christian Gruaz pada setiap korban pembunuhan juga menjadi salah satu daya tarik tersendiri film ini. The Last Matinee jelas adalah film yang ditujukan bagi para penggemar horor yang sudah menonton terlalu banyak film giallo dan slasher dalam hidupnya. Memang tidak ada yang baru dari The Last Matinee. Tapi karena film ini memang dengan sengaja dibuat sebagai penghormatan atas genre klasik giallo dan slasher, saya pikir “tidak ada yang baru” adalah keputusan yang sangat tepat.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com