THE FLY
Sutradara: David Cronenberg
Canada (1986)
Review oleh Tremor
The Fly adalah sebuah kisah cinta yang tragis sekaligus karya sci-fi horror yang luar biasa dari salah satu master of horror, David Cronenberg. Tak banyak yang menyadari bahwa The Fly buatan Cronenberg sebenarnya adalah film remake. Setara dengan remake film The Thing buatan John Carpenter pada tahun 1982, The Fly buatan Cronenberg adalah contoh sempurna dari film remake yang lebih bagus daripada film aslinya. Tidak hanya lebih bagus, penulisan ulang yang brilian serta penggunaan special effect yang realistis membuat film ini (seperti The Thing, tentu saja) menjadi jauh lebih mengerikan dari pada film aslinya. Tapi walaupun The Fly adalah film remake, tetapi elemen-elemen horror khas Cronenberg seperti body-horror, psikologi, teknologi, infeksi, kekerasan, dan seksualitas terasa sangat kuat dalam versi remake ini, menjadikan film ini sangat pantas disejajarkan dengan karya Cronenberg lainnya. The Fly adalah salah satu masterpiece David Cronenberg yang wajib untuk ditonton oleh penggemar horror manapun, terutama mereka yang menyukai kisah klasik cinta / tragedi yang dibalut dengan horror.
Veronica “Ronnie” Quaife adalah seorang jurnalis yang menghadiri sebuah acara jumpa pers untuk mencari berita. Di sana ia bertemu dengan Seth Brundle, seorang ilmuwan jenius yang canggung. Brundle membangkitkan rasa penasaran Ronnie setelah ia mengklaim bahwa ia tengah mengerjakan sebuah proyek yang akan mengubah dunia. Setelah acara selesai, Ronnie pun ikut ke tempat tinggal Brundle yang juga berfungsi sebagai laboratorium pribadinya. Di sana Brundle memperlihatkan tiga buah “pod” besar yang bekerja sebagai alat teleportasi, atau yang Brundle sebut sebagai Telepod. Ronnie tentu saja tidak langsung mempercayainya, sampai akhirnya Brundle membuktikannya langsung: ia berhasil memindahkan satu stocking Ronnie dari satu pod ke pod lainnya. Mengetahui bahwa Ronnie ingin menulis penemuannya sebagai berita, Brundle memohon agar tetap merahasiakan cerita ini karena pekerjaannya belum tuntas. Mesin-mesin Brundle memang bisa memindahkan benda mati, tetapi belum bisa memindahkan organisme hidup. Upaya terakhirnya memindahkan seekor babon percobaan hanya membuat babon malang tersebut berpindah pod dalam keadaan mati dengan sangat mengerikan. Cara kerja telepod buatan Brundle adalah dengan mengurai atom-atom suatu benda di pod yang satu, memindahkan dan menyusun ulang setiap atom tersebut ke pod yang lain. Komputer yang diprogram oleh Bundle masih belum berhasil menyusun ulang atom-atom mahluk hidup, dan itulah mengapa hasilnya selalu berantakan setiap kali Bundle mencoba mesinnya pada mahluk hidup. Brundle berjanji Ronnie akan memiliki akses ekslusif untuk menulis berita ini, asalkan Ronnie bersedia membantu mendokumentasikan proses penyempurnaan telepod, dan tetap merahasiakannya hingga mesin-mesinnya sempurna. Brundle bahkan ingin kisah ini dijadikan buku kalau suatu hari saat penemuannya siap untuk dipublikasikan pada dunia. Ronnie pun setuju.
Banyak menghabiskan waktu berdua membuat Brundle dan Ronnie saling jatuh cinta. Mereka pun memulai hubungan romantis. Hubungan seks pertama mereka kemudian memberi inspirasi pada Brundle untuk memprogram ulang mesinnya. Dengan program komputer yang baru, Brundle kemudian mencoba memindahkan babon lagi, dan akhirnya kali ini ia berhasil. Babon percobaannya berhasil pindah dari satu pod ke pod lainnya tanpa kekurangan apapun. Gembira dengan hasil tersebut, Brundle ingin merayakannya dengan malam romantis bersama Ronnie, tetapi Ronnie harus pergi menemui editornya, Stathis, yang juga merupakan mantan kekasihnya.
Dalam keadaan mabuk dan cemburu, Brundle akhirnya memutuskan untuk menguji lagi telepodnya, tapi kali ini dengan dirinya sendiri sebagai objek untuk teleportasi. Saat ia memasuki telepod satu, ia tidak menyadari bahwa ada seekor lalat dalam pod yang sama terkurung bersama Brundle. Teleportasi berhasil, namun lalat tersebut hilang. Di luar pengetahuannya, atom dan DNA Brundle ternyata telah bermutasi dengan seekor lalat. Setelah proses teleportasi tersebut, Brundle merasa dirinya menjadi jauh lebih kuat secara fisik dari sebelumnya. Ia pun berasumsi bahwa proses teleportasi telah memurnikan dirinya dan berhasil memaksimalkan potensi diri. Tapi apa yang Ronnie (dan penonton) lihat sedikit berbeda. Bagi Ronnie, perilaku Brundle memang banyak berubah. Ia menjadi sosok megalomaniak yang egois dan kasar. Hal tersebut membawa banyak pertengkaran di antara Brundle dan Ronnis. Di satu sisi Ronnie yakin ada yang salah dari proses teleportasi tersebut, di sisi lain Brundle merasa pacarnya sangat tidak suportif dan terus mencari-cari kesalahan pada dirinya. Mental Brundle memang sudah lebih dulu mulai terkikis, namun kemudian secara sangat perlahan fisiknya pun mulai ikut mengalami perubahan. Akhirnya Brundle mulai menyadari bahwa memang ada perubahan besar dalam dirinya, dan bukan perubahan yang bagus. Tubuhnya mulai membusuk dan berubah sedikit demi sedikit, bertransformasi menjadi semacam hibrida manusia dan lalat, penggabungan antara seorang Brundle dan seekor lalat: Brundle-fly.
Awalnya, perubahan fisiknya hanya berupa rambut-rambut kasar yang tumbuh di punggung Brundle. Seiring berjalannya waktu, kulitnya mulai rusak. Struktur tubuhnya mulai ikut berubah. Kuku jari Brundle terlepas, dan giginya pun mulai tanggal satu persatu. Ia sudah tidak bisa makan seperti manusia biasa lagi, tetapi seperti lalat, Brundle harus memuntahkan enzim tertentu pada makanannya agar bisa mencernanya. Kesemua proses tersebut memang cukup mengerikan untuk ditonton. Menariknya, semua kengerian ini bisa dirasakan secara bersamaan dengan rasa simpati, terutama setiap kali melihat Brundle (dengan putus asa) berusaha untuk tetap mempertahankan sisi manusianya yang semakin hilang. Yang lebih mirisnya lagi adalah Ronnie harus menyaksikan pria yang dicintainya berubah, membusuk dan menjadi sesuatu yang lain. Bayangkan kalau kalian berada dalam situasi seperti itu. Bayangkan juga kalau tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk menyelamatkan mereka, dan kalian harus terus menyaksikan, hari demi hari, mereka membusuk dan bermutasi dengan cara yang menyakitkan secara perlahan, menjadi monster.
Kalau dipikir-pikir, dalam beberapa momen pasca Brundle melakukan teleportasi awalnya sedikit terasa seperti cerita superhero. Brundle serasa memiliki kekuatan super kuat, mampu menempel pada dinding, dan seakan mengembangkan sense superhuman setelah melakukan teleportasi. Tapi kalau memang Brundle-Fly adalah kisah superhero, sudah tentu ini adalah kisah superhero tergelap dan tersedih yang pernah ada, dengan karakter superhero yang tidak waras. Untunglah the Fly bukan kisah superhero, melainkan kisah mengenai bagaimana fisik dan mental seseorang terkikis dengan cara yang menyedihkan dan mengerikan. Ini juga adalah kisah klasik “ilmuwan gila” yang lengkap dengan kisah cinta tragis ala film-film monster yang juga klasik, dimana sang putri dan monster sebenarnya saling jatuh cinta, tetapi logika dan akal sehat dengan pahitnya menghalangi mereka berdua.
Saya sangat menyukai bagaimana David Cronenberg tidak terburu-buru dalam memperlihatkan proses transformasi Brundle menjadi Brundle-fly dalam film ini. Ia memberikan waktu yang cukup bagi kita para penonton untuk menyukai pasangan Brundle dan Ronnie terlebih dahulu sebelum kemudian kita diperlihatkan proses transformasi fisik mengerikan dan menyakitkan yang menghancurkan semua harapan, selangkah demi selangkah. Hingga pada akhirnya film ini meremukan hati para penonton pada ending-nya, sebuah ending ala tragedi romantis yang (lagi-lagi) klasik. Tentu saja akting para pemerannya juga memegang poin penting disini, membuat kita bisa menjadi cukup peduli tentang apa yang terjadi pada pasangan Brundle dan Ronnie sejak film ini dimulai.
David Cronenberg membuat proses transformasi Brundle-fly menjadi sebuah pengalaman menonton yang penuh pilu rasa sakit, sekaligus rasa iba. Sebenarnya, seseram apapun bentuk akhir dari monster Brundle-fly, sisi manusia (Brundle) masih sedikit tersisa disana. Kita masih tetap bisa melihatnya, bahkan pada bagian akhir saat fisik Brundle sudah tidak tampak seperti manusia sama sekali. Bukannya merasa takut, mungkin penonton justru akan merasa iba pada Brundle yang malang, apalagi saat menyadari kalau ia tidak bisa melakukan apapun lagi selain menerima nasib buruknya. Ini adalah sebuah sensasi yang aneh, karena kadang rasa iba tersebut juga bercampur dengan rasa jijik saat melihat sosok Brundle-Fly. Ekspresi wajah Ronnie dalam salah satu adegan dimana ia melihat Brundle sudah semakin menyeramkan, adalah ekspresi yang sangat tepat sekali. Ekspresinya merupakan percampuran dari rasa iba, takut, sedih dan jijik. Semua ini bisa terjadi berkat kekuatan penulisan karakter, didukung dengan special effect yang luar biasa, diolah oleh orang yang tepat. Cronenberg memperlihatkan setiap proses kecil transformasi Brundle-fly secara bertahap, selapis demi selapis, dan penuh detail dengan special effect yang luar biasa. Film ini bahkan memenangkan Oscar pada tahun 1987 dalam kategori MakeUp terbaik. Sebuah remake film horor sanggup memenangkan Oscar adalah sesuatu yang jarang terjadi.
Dalam The Fly versi aslinya (1958), hibrida manusia lalat Brundle-fly digambarkan hanya dengan seorang pria dengan kepala dan lengan lalat. Sesederhana itu dan setidak menarik itu. Tapi dalam versi Cronenberg sang raja body-horror, hasil akhir fisik Brundle-fly tidak tampak seperti manusia, tidak juga seperti lalat. Ini sangat masuk akal bagi saya, karena kekacauan penggabungan pada tingkat molekular dan mutasi DNA secara acak yang terjadi karena kesalahan fatal teknologi tidak seharusnya serta merta menghasilkan mahluk berkonsep sesederhana bertubuh manusia dan berkepala lalat. Mahluk seperti itu hanya untuk anak kecil. Justru hasil dari kesalahan seperti ini memang seharusnya ganjil, seganjil Brundle-fly versi Cronenberg.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com