MOVIE REVIEW: THE CLOVERFIELD PARADOX (2018)

THE CLOVERFIELD PARADOX
Sutradara: Julius Onah
USA (2018)

Review oleh Tremor

Film Cloverfield (2008) tidak pernah dirancang untuk menjadi awal dari sebuah franchise. Iya hanyalah sebuah film popcorn ringan yang menghibur dengan gimmick menarik. Delapan tahun kemudian, produser J.J. Abrams memutuskan untuk mengembangkan Cloverfield menjadi sebuah franchise antologi, sering disebut sebagai Cloververse, lewat film thriller apokaliptik psikologis yang awalnya berjudul The Cellar. Dengan sedikit modifikasi dalam naskahnya, The Cellar pun resmi menjadi film kedua dalam Cloververse dengan judul baru 10 Cloverfield Lane (2016). Dua tahun kemudian, J.J. Abrams merilis film ketiga Cloververse, sebuah film thriller / sci-fi / horror luar angkasa berjudul God Particle yang, seperti The Cellar, naskah awalnya tidak memiliki kaitan apapun dengan Cloverfield. Setelah naskahnya dimodifikasi, God Particle secara resmi menjadi film ketiga Cloververse dengan judul baru The Cloverfield Paradox, disutradarai oleh Julius Onah yang ia tulis bersama Doug Jung. Sama seperti 10 Cloverfield Lane, film The Cloverfield Paradox juga bisa ditonton oleh mereka yang belum pernah menonton dua film Cloverfield sebelumnya, karena setiap film dalam Cloververse memang sangat berbeda satu sama lain dan mampu berdiri sendiri meskipun memiliki benang merah yang sama: serangan monster di bumi.

Di masa depan yang tidak terlalu jauh, planet bumi mengalami krisis energi. Semua cadangan energi yang kita miliki akan segera habis dalam hitungan tahun. Satu-satunya harapan bagi umat manusia ada pada sebuah perangkat raksasa akselerator partikel bernama The Sheperd. Namun uji coba perangkat ini dianggap terlalu beresiko tinggi kalau dilakukan di bumi, hingga para ilmuwan memutuskan untuk membangun stasiun luar angkasa yang mengorbit bumi bernama Cloverfield untuk melakukan eksperimen berbahaya ini. Kalau berhasil, The Sheperd akan menghasilkan energi tak terbatas untuk kebutuhan seluruh umat manusia. Kalau tidak berhasil, maka perang besar perebutan sisa cadangan energi akan terjadi di bumi, dan seiring semakin menipisnya sumber energi, manusia akan segera menuju kepunahan. Tujuh ilmuwan dari berbagai negara pun dipercaya untuk melakukan uji coba tersebut. Namun ketika eksperimen ini akhirnya berhasil, tanpa disadari The Sheperd membuka tabir antar dimensi yang mengacaukan ruang dan waktu, membuat alam semesta multiverse menjadi saling tumpang tindih dan alternative universe pun saling beririsan.

Meskipun film sci-fi horror thriller luar angkasa ini banyak menggunakan elemen-elemen klise dan generik dari genrenya, namun The Cloverfield Paradox memiliki ide dasar yang sebenarnya cukup menarik. Bahkan film ini bisa jadi lebih menarik kalau seandainya diproduksi sebagai film yang berdiri sendiri tanpa perlu dipaksakan kaitannya dengan Cloververse. Ada banyak potensi elemen sci-fi dan horror dalam film ini yang saya pikir tidak dieksplorasi cukup dalam. Tak hanya itu, beberapa konsep terasa terbuang sia-sia. Seandainya The Cloverfield Paradox menggunakan ide kekacauan multiverse-nya dengan lebih mendalam dan lebih gelap pada elemen horrornya, tentu ini akan menjadi film yang sangat mengerikan. Saya akui itu hanyalah ekspektasi pribadi saya, namun saya membayangkan ide kekacauan multiverse sangat mungkin untuk dikembangkan ke arah body horror dengan sentuhan Lovecraftian horror, dengan The Thing (1982) dan From Beyond (1986) sebagai acuannya. Sebaliknya, The Cloverfield Paradox malah mengisi sebagian kecil durasinya dengan hal-hal tidak penting, termasuk sub-plot yang berkaitan seorang gadis kecil dan bunker, yang saya duga ditulis secara mendadak hanya karena kebutuhan menghubungkan kisah ini dengan Cloverfield. Kelemahan terbesar dari The Cloverfield Paradox jelas ada pada penulisannya yang berantakan, termasuk juga pada penulisan karakternya. Sangat disayangkan karena kebanyakan para aktornya sudah cukup berpengalaman dan mereka berperan dengan cukup bagus. Hal terburuk bagi saya adalah ketika banyak dari karakternya yang tidak bereaksi dengan realistis, setidaknya terkejut atau ketakutan, pada beberapa kejadian ganjil yang terjadi di stasiun luar angkasa Cloverfield. Saya pikir manusia yang paling tenang sekalipun akan ketakutan atau setidaknya shock kalau harus mengalami apa yang kelompok ilmuwan ini alami.

Di luar kelemahannya, The Cloverfield Paradox adalah film yang diproduksi dengan cukup serius, terutama untuk ukuran film yang langsung dirilis secara streaming. Desain stasiun ruang angkasa yang bagus dan klaustrofobik, serta semua special effect CGI nya sama sekali tidak mengecewakan. Layaknya hampir semua film horror luar angkasa, tentu saja ada banyak pengaruh dan inspirasi dari Alien (1979) di dalamnya, dan itu adalah hal yang sangat wajar. Saya juga suka dengan beberapa momen horor dalam film ini, dengan yang paling menonjol dan menjadi satu-satunya momen horor favorit saya dalam film ini adalah apa yang terjadi pada ilmuwan asal Russia yang bernama Volkov. Menariknya, meskipun The Cloverfield Paradox berbajet paling besar dibandingkan kedua film sebelumnya, dengan penggunaan special effect yang paling canggih, dan diisi dengan beberapa aktor yang sudah cukup dikenal di Hollywood, The Cloverfield Paradox dirilis langsung dalam streaming service Netflix tanpa pernah ditayangkan di layar lebar. Mungkin produser J.J. Abrams sudah memperhitungkan bahwa The Cloverfield Paradox adalah film Cloververse yang lemah dan akan menjadi film Cloverfield yang paling dibenci oleh penggemarnya seandainya mereka memaksakannya untuk tayang di bioskop. Saya bisa membayangkan bagaimana para penggemar Cloverfield akan berekspektasi terlalu tinggi pada film ini, pergi mengantri ke bioskop dan pulang dengan kekecewaan. Merilisnya langsung secara streaming di Netflix adalah keputusan yang sangat bijak. Setidaknya para penggemarnya tidak akan merasa terlalu rugi karena tidak perlu membayar ekstra untuk menonton film dengan visual yang cukup spektakuler ini.

Mengikuti tradisi 10 Cloverfield Lane, film The Cloverfield Paradox juga tidak terlalu menampilkan monsternya, karena bukan itu fokus utamanya. Tapi seperti nya apa yang diharapkan para penggemar Cloverfield cukup terpenuhi karena The Cloverfield Paradox bisa sedikit memberi petunjuk tentang bagaimana para monster Cloverfield bisa hadir di bumi, yaitu lewat terbukanya tabir antar dimensi, mirip dengan ide film The Mist (2007). Namun ide multiverse ini sedikit kontradiktif dengan 10 Cloverfield Lane yang kehadiran monsternya dikesankan sebagai serangan bangsa alien. Bagi saya, kontradiksi ini menegaskan bahwa Cloververse adalah sebuah antologi yang berisikan film-film lepas yang belum tentu memiliki kaitan satu sama lain. Namun, para nerd penggemar berat franchise ini tentu saja tetap mengharapkan The Cloverfield Paradox akan menjadi petunjuk dan sumber potongan-potongan baru dari keseluruhan puzzle untuk melengkapi keseluruhan universe Cloverfield. Sepertinya, apa yang lebih menarik dari The Cloverfield Paradox adalah beberapa teori dari para nerd penggemar Cloverfield yang lupa kalau Cloververse merupakan sebuah antologi film-film lepas. Mereka tetap berusaha mengaitkan setiap film Cloverfield lewat berbagai diskusi di forum-forum para nerd, menjadikan antologi ini sebagai puzzle yang perlu disusun. Salah satu spekulasi para fans Cloverfield yang paling menarik yang pernah saya baca adalah, film The Cloverfield Paradox menegaskan bahwa ketiga film Cloververse terjadi dalam planet bumi di dimensi yang berbeda-beda. Itu cukup bisa menjelaskan mengapa kejadian terbukanya tabir dimensi dalam The Cloverfield Paradox terjadi sangat jauh di masa depan dan bukan pada lini waktu yang sama dengan film Cloverfield pertama dan kedua. Saya pikir, menggunakan ide terbukanya tabir antar multiverse, meskipun klise, akhirnya menjadi keputusan yang sangat baik untuk kelanjutan Cloververse ke depannya, karena kini para penggemar Cloverfield bisa lebih menerima setiap film dalam Cloververse berikutnya tanpa perlu memusingkan saling keterkaitan antar satu film dengan lainnya. Sejauh ini, The Cloverfield Paradox adalah film Cloverfield terburuk bagi saya, dan yang terbaik tetaplah 10 Cloverfield Lane. Namun meskipun penulisannya terasa sangat berantakan, tapi secara keseluruhan The Cloverfield Paradox tetaplah film yang ringan dan cukup menghibur. The Cloverfield Paradox memang bukan Interstellar (2014) yang dikawinkan dengan Alien (1979), tapi saya tetap bersemangat untuk melihat lebih banyak film yang ditawarkan oleh antologi Cloververse selanjutnya.