fbpx

MOVIE REVIEW: RINGU / RING (1998)

RINGU / RING
Sutradara:
Hideo Nakata
Jepang (1998)

Review oleh Tremor

Pada tahun 1998, seorang pembuat film Jepang bernama Hideo Nakata merilis sebuah film horor beranggaran sederhana yang ia adaptasi dari novel karya Koji Suzuki. Judulnya adalah Ringu, yang mencoba membungkus kisah khas folklore tradisional Jepang tentang hantu pendendam seperti yang pernah dieksplorasi dalam film-film Ugetsu (1953), The Ghost of Yotsuya (1959), Kwaidan (1964) dan Kuroneko (1968), ke dalam konteks yang jauh lebih modern. Tanpa diduga, film ini meledak di pasaran internasional, dan horor Asia tidak pernah sama lagi. Ringu kemudian dianggap sebagai sebuah film yang berhasil mendefinisikan ulang genre horor Asia dan memicu trend J-Horror di sepanjang akhir 90-an hingga awal 2000-an. Ringu memang bukan film horor Jepang yang pertama. Ia bahkan bukan film pertama yang mengadaptasi novel Koji Suzuki dengan judul yang sama. Sebelum Ringu, sutradara Jepang lain sudah pernah mengadaptasi novel tersebut menjadi film TV dengan judul Ring (1995). Tetapi Ringu buatan Nakata-lah yang untuk pertama kalinya membawa dampak begitu besar secara internasional. Sejak Ringu dirilis, banyak film J-Horror mulai bermunculan dan menguasai pasar dunia, dari mulai Kairo (2001), Dark Water (2002) yang dibuat oleh Hideo Nakata juga, Ju-On (2002), One Missed Call (2003) hingga Premonition (2004). Bukan hanya di Jepang saja, Ringu juga ikut memicu gelombang besar kebangkitan horor Asia. The Pang Brothers dari Hong Kong membuat The Eye (2002), Kim Jee-woon dari Korea Selatan membuat A Tale of Two Sisters (2003), serta Banjong Pisanthanakun dari Thailand membuat Shutter (2004). Masifnya kebangkitan horor Asia yang dipantik oleh Ringu juga cukup terasa di Indonesia dengan dirilisnya film Jelangkung (2001) yang sayangnya tidak terlalu populer di luar Indonesia. Sebegitu besarnya dampak kebangkitan horor Asia bagi dunia internasional pada masa itu, para sineas Hollywood pun berlomba-lomba membuat remake dari semua film Asia yang saya tulis barusan, kecuali Jelangkung.

Keberhasilan Ringu kemudian melahirkan beberapa sekuel dan prekuel, dari mulai sekuel yang gagal berjudul Rasen / Spiral (1998), sekuel “resmi” Ring 2 (1999), prekuel Ring 0: Birthday (2000), dan daftar film dalam franchise Ringu terus berlanjut hingga yang terbaru adalah Sadako DX (2022). Industri TV pun tak mau ketinggalan lewat mini-seri Ring: The Final Chapter (1999) dan Rasen (1999). Sebuah film yang berhasil seperti Ringu tentu akan memicu lahirnya remake dan reimajinasi juga, dari mulai The Ring Virus (1999) buatan Korea Selatan, hingga The Ring (2002) serta The Ring Two (2005) buatan Hollywood. Bagaimanapun, dari begitu banyak sekuel, prekuel, remake, reimajinasi dan peniru, tidak ada yang berhasil menandingi kekuatan Ringu yang original. Tak bisa dipungkiri Ringu merupakan film fenomenal yang sangat penting dalam sinema horor. Sebegitu tenarnya Ringu, saya pikir mereka yang bukan penonton horor pun pasti pernah mendengar nama Sadako, sosok hantu ikonik yang diperkenalkan dalam film ini yang ketenarannya mungkin sudah setara dengan Freddy Krueger. Karenanya, saya rasa saya tidak perlu lagi menuliskan plotnya terlalu panjang: setelah sekelompok remaja ditemukan tewas dengan kondisi yang tidak wajar, seorang jurnalis bernama Reiko Asakawa mencoba menyelidiki kebenaran dari sebuah urban legend tentang kaset video VHS yang terkutuk. Menurut legenda yang beredar, siapapun yang menonton video tersebut akan mati dalam tujuh hari.

Meskipun bajet pembuatan Ringu tidak terlalu fantastis, tetapi sutradara Hideo Nakata cukup pintar menciptakan suasana. Berbeda dengan kebanyakan film horor supranatural, Ringu bukanlah film horor yang sepenuhnya bergantung pada jump scare untuk menakut-nakuti penonton. Kalau diperhatikan, Ringu hanya memiliki sedikit elemen horor saja: beberapa orang mati di awal film, kemudian hampir seluruh durasinya diisi dengan investigasi hingga akhirnya penonton baru berjumpa dengan Sadako di penghujung film. Meskipun elemen horornya cukup minimalis, Nakata Hideo tetap bisa menciptakan perasaan menyeramkan yang berasal dari suasana suram di sepanjang film. Ringu adalah mahakarya horor minimalis yang halus dengan plot lambat, namun secara perlahan membangun suasana mencekam yang sepenuhnya lebih bergantung pada sinematografi dan soundtrack. Setelah menonton ulang Ringu saya baru merasa terkesan dengan sound effect dalam Ringu. Saya rasa suara yang paling efektif adalah bebunyian ganjil yang muncul dalam video terkutuk Sadako. Semua sound effect di dalamnya terasa sangat cocok untuk mengiringi isi video yang tak kalah ganjilnya. Rasanya terdengar sangat asing, seakan tidak berasal dari dunia yang kita kenal, dan tentu saja terasa mengancam. Hadirnya suara-suara ini memberi kesan bahwa video yang sedang diputar berasal dari suatu tempat di luar realitas yang kita pahami.

Sekarang mari kita bahas Sadako, sosok hantu dalam Ringu yang kemudian menjadi sangat populer. Saya sangat suka dengan bagaimana Hideo Nakata tidak terburu-buru memperlihatkan wujud Sadako. Bahkan Sadako tidak diperlihatkan dalam posternya. Ini merupakan pendekatan yang menarik kalau dibandingkan dengan banyak sekali film horor spuranatural yang belum apa-apa sudah memperlihatkan sosok hantunya pada poster, seakan para pembuat filmnya merasa tidak percaya diri dengan kengerian filmnya sendiri. Saat penonton akhirnya bisa melihat wujud Sadako dalam babak terakhir Ringu, mungkin desainnya terasa tidak asing bagi kita di Indonesia: hantu perempuan pucat berbaju putih, dengan rambut sangat panjang yang menyembunyikan wajahnya. Namun berbeda para penonton barat yang mungkin menganggapnya sebagai hal baru pada saat film ini dirilis. Mungkin itu merupakan satu dari banyak sekali alasan mengapa Ringu bisa begitu meledak secara internasional pada saat itu. Sebenarnya penggambaran Sadako sendiri sangat erat hubungannya dengan kepercayaan cerita hantu tradisional Jepang. Dalam folklore Jepang, entitas seperti Sadako disebut Onryō, yaitu jenis hantu Jepang yang menyimpan dendam karena pernah diperlakukan secara tidak manusiawi semasa hidupnya. Onryō memang seringkali digambarkan sebagai sosok perempuan bergaun putih dan berambut panjang, dan Sadako adalah hantu yang jelas-jelas perwujudan Onryō dengan semua karakteristiknya. Ia menyimpan dendam dan amarah pada dunia karena pernah dibunuh dan terlupakan, dan ia berniat membalaskan dendam dengan cara meneror manusia. Apa yang membuat Sadako lebih unik dari penggambaran Onryō pada umumnya adalah bahwa ia mampu memanipulasi gelombang analog untuk mengirimkan kutukannya, lewat layar televisi dan telepon. Saya bisa bayangkan kalau Ringu adalah film yang sangat menyeramkan bagi penonton Jepang di masanya, karena adanya pemahaman kolektif atas sosok Onryō. Mungkin mirip dengan mengapa film pocong bisa menyeramkan bagi orang Indonesia, tetapi umumnya menggelikan bagi penonton barat yang tidak akan pernah bisa memahami konteks kulturalnya. Namun sayang sekali kini image sosok hantu perempuan berambut panjang telah digunakan terlalu berlebihan dalam dunia film horor dari negara manapun, menjadikan imaji hantu dengan perwujudan seperti ini terasa sangat generik dan tidak semenyeramkan itu lagi.

Meskipun Ringu adalah sebuah mahakarya, tetapi film ini tetap memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah plot seputar Ryuji, mantan suami Reiko Asakawa yang diam-diam memiliki indera ke-enam. Bakat supranatural terpendam ini memungkinkan Ryuji bisa mengetahui hal-hal yang seharusnya mustahil untuk ia ketahui, dan semua ini ada dalam Ringu hanya agar penonton bisa memahami mengapa dan bagaimana video terkutuk Sadako bisa ada. Saya pikir pengungkapkan dalam Ringu agak terasa dipaksakan dengan cara yang terkesan malas, karena setelah penonton harus menyaksikan segala upaya penelitian dan pencarian fakta yang dilakukan oleh Reiko dan Ryuji di hampir seluruh durasi, tiba-tiba semua fakta terungkap begitu saja lewat pengelihatan supranatural berupa flashback hitam putih. Saya paham menulis kisah seperti ini memang tidak mudah, tetapi dengan adanya pengungkapan dengan cara seperti itu seakan memperlihatkan bahwa penulis Ringu tak berhasil menemukan cara lain yang lebih rewarding bagi penonton. Ini adalah kasus yang mirip dengan pengungkapan lewat bisikan hantu yang diiringi flashback komplit dalam film Perempuan Tanah Jahanam (2019). Namun, ini hanya kelemahan kecil yang sama sekali tidak merusak keseluruhan film Ringu. Bagaimanapun Ringu tetaplah merupakan film klasik sub-genre J-horror modern dan sangat layak untuk mendapat kesuksesannya.