MOVIE REVIEW: PHENOMENA / CREEPERS (1985)

PHENOMENA / CREEPERS
Sutradara: Dario Argento
Italia (1985)

Review oleh Tremor

Setelah berturut-turut membuat film-film horor ikonik Deep Red (1975), Suspiria (1977), Inferno (1980) dan Tenebrae (1982), penulis / sutradara horror Italia Dario Argento kembali merilis film yang lebih ambisius dan eksentrik dibanding karya-karya sebelumnya pada tahun 1985, berjudul Phenomena. Tak lama setelah dirilis di Italia, Phenomena segera didistribusikan di Amerika oleh New Line Cinema, rumah produksi yang setahun sebelumnya sukses merilis A Nightmare on Elm Street (1984), dengan judul baru: Creepers. Seperti yang ia lakukan dalam Deep Red (1975) dan Suspiria (1977), Argento kembali memadukan horor supranatural dengan sedikit bumbu unsur giallo Italia. Bagi yang tidak familiar dengan genre giallo, kalian bisa baca penjelasan singkatnya dalam beberapa review yang pernah saya tulis sebelumnya, salah satunya dalam review film Deep Red (1975) dan film giallo favorit saya Blood And Black Lace (1964) karya Mario Bava.

Jennifer Corvino adalah anak dari seorang bintang film Amerika yang dikirim ke daerah pinggiran Swiss untuk bersekolah di asrama Richard Wagner School for Girls. Sialnya, Jennifer tiba saat daerah tersebut sedang diteror oleh beberapa pembunuhan misterius terhadap siswi-siswi sekolah. Melihat dari pola pembunuhannya, polisi setempat menduga pelakunya adalah satu orang yang sama. Tak lama kemudian, Jennifer sempat menyaksikan sendiri sebuah pembunuhan. Jenazah korbannya tidak pernah ditemukan, dan Jennifer mulai ketakutan sang pembunuh akan memburunya karena Jennifer adalah saksi mata. Lewat serangkaian kebetulan, Jennifer berkenalan dan mulai berteman dengan seorang professor biologi spesialis serangga bernama John McGregor, yang kemudian menemukan fakta bahwa Jennifer rupanya memiliki kemampuan psikis bisa berkomunikasi secara telepatik dengan serangga. Setelah Jennifer menemukan sarung tangan sang pembunuh yang dipenuhi belatung lewat arahan seekor kunang-kunang, McGregor mengidentifikasi belatung-belatung dalam sarung tangan tersebut adalah larva yang hanya menyukai daging manusia yang sudah membusuk. Profesor McGregor mendapat ide brilian: Jennifer dan lalat dari larva tersebut bisa menjadi sepasang detektif yang efektif untuk melacak lokasi jenazah-jenazah para korban pembunuhan disembunyikan, sekaligus melacak identitas sang pembunuh.

Para penonton setia horor Italia tentu tahu bahwa tidak ada ada film horor Italia yang memiliki logika “normal” dalam plotnya, termasuk juga film-film buatan Argento yang plotnya banyak menggunakan rasionalitas sendiri yang sama sekali tidak konvensional. Namun Phenomena berada di tingkatan yang jauh lebih aneh bahkan dalam standar film Argento dan horor Italia pada umumnya. Phenomena adalah sebuah contoh paling mencolok tentang anehnya dunia ciptaan Argento, dunia di mana seorang profesor biologi yang lumpuh tinggal seorang diri di lokasi terpencil dan hanya dirawat oleh seekor simpanse. Saya tidak tahu bagaimana Argento mendapatkan ide sejanggal itu, namun penonton tetap bisa menerimanya dengan mudah karena kita paham bahwa ini adalah karya Dario Argento. Sebagai film yang mengandung unsur investigasi, Phenomena juga penuh ketidaklogisan. Namun itu adalah salah satu ciri khas film giallo. Jadi jangan harap akan mendapat teka-teki dan pengungkapan ala film-film detektif tradisional di sini. Seakan tidak cukup aneh, soundtrack Phenomena juga menjadi salah satu poin keputusan aneh Argento. Pengisi soundtracknya cukup beragam dari mulai band progressive rock langganan Argento, yaitu Goblin, musisi goth Andi Sex Gang, hingga Motorhead dan Iron Maiden. Apa yang aneh bukanlah komposisi yang bervariatif ini, melainkan pemilihan penempatan lagu yang dalam beberapa titik terasa seperti tidak pada konteksnya. Contoh paling absurd adalah sebuah adegan yang menggambarkan polisi dan tim medis sedang mengevakuasi jenazah salah satu korban pembunuhan yang juga merupakan karakter kunci, sambil diiringi musik latar lagu “Locomotive” dari Motorhead. Menyaksikan adegan ini diiringi musik yang mood-nya bertolak belakang jelas menambah keabsurdan Phenomena dan memang sedikit merusak atmosfer adegannya. Menariknya, setelah saya pikir-pikir, apa yang terasa lebih kuat dari keputusan tidak biasa Argento ini adalah rasa fun dan bertambahnya atmosfer sureal film ini.

Sama seperti film-film Argento (dan horror Italia) lainnya, akting dalam Phenomena juga tidak terlalu bagus. Namun faktor ini tetap mudah untuk diabaikan. Bicara soal akting, protagonis dalam Phenomena yaitu Jennifer Corvino diperankan oleh aktris Amerika Jennifer Connelly. Mungkin hari ini namanya begitu familiar karena Jennifer Connelly adalah seorang aktris Hollywood yang cukup sukses. Namun pada tahun 1985, nama Connelly belum dikenal bahkan di pasar Amerika karena ia baru saja memulai karirnya sebagai aktris remaja dan Phenomena adalah film keduanya. Phenomena juga diperankan oleh aktor veteran berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1985 sudah cukup dikenal para penggemar horror. Ia adalah Donald Pleasence, yang pernah memerankan karakter Dr. Samuel Loomis dalam Halloween (1978) dan Halloween II (1981). Tak ketinggalan seorang aktris ikon ratu horror Italia langganan Argento yang pernah menjadi istri Dario Argento, yaitu Daria Nicolodi.

Apa yang paling saya suka dari Phenomena adalah babak ketiganya ketika Jennifer akhirnya bertemu dengan sang pembunuh dan ketegangan semakin memuncak. Dalam babak ini banyak adegan yang mempelihatkan liarnya imajinasi Argento untuk masanya, dari mulai lubang kubangan menjijikkan yang dipenuhi mayat dan belatung, hingga serangan koloni lalat. Saya juga perlu mengapresiasi para “aktor” lalat dalam Phenomena, dari mulai seekor lalat yang berjalan-jalan di lengan Jeniffer seakan tahu tugasnya sebagai aktor, hingga ratusan lalat dalam adegan klimaksnya yang adalah lalat asli. Untuk produksi adegan ini, Argento mengumpulkan lebih dari 2 juta telur lalat yang diinkubasi hingga menetas.

Meskipun plot memang tidak pernah menjadi kekuatan utama, film-film Argento di era 70/80-an tetap berhasil menjadi karya seni sinema dengan visualnya yang menawan serta atmosfer yang kuat. Dalam Phenomena, Argento tidak menggunakan cahaya warna-warni cerah yang beragam seperti dalam Suspiria maupun Inferno, tetapi lebih banyak menggunakan cahaya kebiru-biruan yang membuat suasana di banyak bagian semakin terasa seperti dalam dunia mimpi. Keputusan visual yang bagaikan dunia mimpi ini menjadi sangat selaras dengan keanehan jalan cerita serta penempatan soundtracknya. Saya pikir Phenomena memang merupakan media Argento untuk bereksperimen dan bereksplorasi sesuka hatinya, dan ia cukup berhasil. Banyak penggemar Argento yang mencoba mengabaikan Phenomena karena film ini memang merupakan kejutan yang cukup eksentrik setelah Argento berturut-turut membuat orang gebrakan lewat Deep Red (1975), Suspiria (1977), Inferno (1980) dan Tenebrae (1982). Namun inilah Dario Argento yang memang memiliki dunia sinematiknya sendiri. Phenomena jelas bukan karya terbaik Argento, namun tetap lebih baik dibandingkan karya-karyanya setelah Opera (1987). Keanehan Phenomena menjadikan film ini salah satu karya Argento yang tak kalah ikonik dan mungkin yang paling unik, sambil tetap memiliki banyak sekali ciri khas Dario Argento di dalamnya, dari mulai adegan pembunuhan yang cukup sadis untuk jamannya, atmosfer sureal menggunakan permainan cahaya, Goblin, hingga klimaks yang memuaskan.