LOVELY MOLLY
Sutradara: Eduardo Sánchez
USA (2011)
Review oleh Tremor
Lovely Molly adalah sebuah film slowburn psychological / supranatural karya sutradara Eduardo Sánchez, yang sebelumnya pernah membuat gebrakan dalam industri sinema horror lewat debutnya, yaitu The Blair Witch Project (1999) yang ia buat bersama sutradara Daniel Myrick. Tak bisa disangkal, The Blair Witch Project kemudian memberi pengaruh sangat besar pada keseluruhan genre horror lewat pendekatan found-footage-nya. Setelah keberhasilan The Blair Witch Project, rupanya sutradara Sánchez masih terus mengeksplorasi potensi gaya visual found-footage sebagai sarana untuk menciptakan suasana mencekam yang nyaris terasa otentik, dan Lovely Molly adalah bentuk eksplorasi yang bagus dari Sánchez. Berbeda dengan The Blair Witch Project yang sepenuhnya film found-footage, dalam Lovely Molly Sánchez menggunakan trik found-footage secara minimalis sebagai “bumbu” tambahan. Hasilnya, sangat efektif.
Film ini dibuka dengan seorang gadis bernama Molly yang merekam dirinya sendiri dengan kamera genggam. Sambil terisak, Molly tampak sangat berantakan dan menyedihkan baik secara fisik maupun emosional. Ia pun mulai menuturkan pengakuan sekaligus pesan bunuh diri yang mungkin akan menjadi rekaman terakhirnya. Molly menyatakan, apapun yang baru saja terjadi, semua itu bukanlah perbuatannya, dan dirinya kini sudah di luar kendali. Kemudian ia mencoba menggorok lehernya sendiri dengan sebilah pisau. Namun sekeras apapun mencoba, Molly tidak berhasil melakukannya. “It won’t let me do it,” tutupnya sambil menangis. Meskipun terdengar standar, adegan seperti ini tetap merupakan prolog yang efektif untuk membangkitkan rasa penasaran penonton.
Lewat tanggal yang tertera pada frame rekaman kamera genggam, kita bisa melihat bahwa film ini kemudian membawa kita mundur ke belakang. Molly dan kekasihnya Tim baru saja menikah. Karena keadaan ekonomi mereka yang tidak begitu bagus, Molly dan Tim terpaksa menetap dalam rumah milik orang tua Molly. Sudah lama Molly meninggalkan rumah tersebut, meskipun rumah itu telah kosong sejak kedua orangtuanya meninggal. Kebetulan Tim berprofesi sebagai supir truk. Hal tersebut membuatnya harus pergi bekerja selama beberapa hari setiap minggunya dan meninggalkan Molly lebih banyak sendirian di rumah. Seiring berjalannya film, secara samar kita mulai memahami backstory Molly yang rupanya memiliki banyak trauma masa kecil dan memori menyakitkan di rumah masa kecilnya. Kembali ke rumah itu saat sudah dewasa jelas bukanlah keputusan yang tepat. Tak lama sejak mereka pindah ke sana, kejadian-kejadian menyeramkan pun mulai terjadi, terutama setiap kali Molly ditinggal sendirian di dalam rumah. Semuanya semakin rumit setelah kita mengetahui bahwa Molly adalah mantan pecandu narkoba, dimana orang-orang terdekatnya cenderung tidak percaya dengan kejadian-kejadian aneh yang Molly pikir ia lihat dan rasakan, apalagi saat ia menyatakan bahwa ayahnya masih hidup di dalam rumah itu. Karena itulah Molly sering merekam kesehariannya menggunakan kamera genggam termasuk kejadian-kejadian supranatural yang menerornya, agar ia bisa membuktikan bahwa ia tidak gila. Dalam masa-masa sulit ini, Molly kembali menggunakan narkoba lagi, dan ini sama sekali tidak membantunya merasa lebih baik. Sebaliknya, adiksinya kini justru membuat segalanya semakin buruk. Kita akan melihat bagaimana proses kewarasan Molly mulai semakin terkikis hingga ke titik yang paling fatalnya. Lalu apakah Molly benar-benar diganggu oleh iblis yang kemudian menguasainya? Atau semua ini adalah manifestasi post-traumatic stress disorder (PTSD) Molly setelah ia kembali ke dalam rumah yang penuh dengan trauma gelap di masa kecil? Atau mungkin juga keduanya?
Lovely Molly adalah jenis film ambigu yang bisa ditafsir secara berbeda, dan itu yang membuat film ini cukup menarik. Setelah film ini selesai, penonton dibuat untuk tetap berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi, Lovely Molly jelas mengeksplorasi soal kesehatan mental, depresi, trauma, pelecehan fisik dan mental, paranoia, hingga adiksi narkoba. Tapi di sisi lain, ada banyak kejadian supranatural yang mungkin benar-benar meneror Molly, dari mulai gedoran pada pintu, alarm rumah yang menyala, dan semua suasana menyeramkan yang penonton inginkan dari film semacam ini. Situasi yang Molly hadapi jelas diperburuk dengan tidak adanya seorangpun di sekitar Molly yang percaya padanya soal gangguan supranatural yang ia alami, karena Molly adalah seorang pencandu dan delusional. Batas antara penyakit mental dan horor supranatural dalam film ini memang benar-benar sangat tipis. Bahkan kalau ternyata tidak ada unsur supranatural dalam film ini, Lovely Molly tetaplah merupakan cerita hantu, dimana hantunya adalah masa lalu Molly yang meninggalkan luka batin yang tak akan pernah bisa disembuhkan.
Selain penyutradaraan Sánchez, keberhasilan film ini juga tak lepas dari kinerja luar biasa aktris pendatang baru Gretchen Lodge yang berperan sebagai Molly. Lodge dengan sangat meyakinkan dan berani memerankan karakter Molly yang mentalnya semakin terkikis sejak film dimulai. Dari mulai Molly yang bahagia, tertekan, ketakutan, hingga Molly yang lepas kendali dan brutal, ia perankan dengan fantastis. Molly adalah karakter yang sangat kompleks, dan Gretchen berhasil mengundang simpati para penonton. Luar biasanya lagi, Lovely Molly adalah film debut Gretchen. Aktor lain yang menjadi highlight dalam film ini adalah Johnny Lewis yang berperan sebagai Tim. Wajahnya mungkin sudah tidak asing lagi bagi para penonton serial Sons of Anarchy dimana ia berperan sebagai Half Sack. Apa yang menggemparkan dari Lewis adalah fakta tragis yang terjadi dalam kehidupan nyatanya. Setahun setelah film Lovely Molly dirilis, Johnny Lewis ditemukan tewas bunuh diri setelah ia dengan brutal memukuli seorang perempuan tua hingga meninggal. Tidak ada seorangpun yang tahu mengapa Jhonny melakukan hal tersebut. Fakta tentang apa yang dilakukan Johnny Lewis di kehidupan nyatanya benar-benar mengerikan sekaligus gila, yang membuat semua orang sadar bahwa kesehatan mental adalah hal yang sangat serius. Menyedihkannya lagi, kejadian tragis tersebut juga sangat mirip dengan yang Molly lakukan di dalam Lovely Molly, sebuah kisah fiksi yang rupanya sangat mungkin terjadi di dunia nyata.
Satu-satunya komplain saya pada film ini ada pada ending-nya yang saya rasa agak merusak ambiguitas yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Walaupun tidak masuk ke dalam daftar film favorit saya pribadi, tapi saya mengakui kalau sutradara Eduardo Sanchez tahu betul bagaimana membuat film horor yang efektif, dan Lovely Molly jelas merupakan karya terbaik dari Sanchez sejak The Blair Witch Project.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com