LORD OF ILLUSIONS
Sutradara: Clive Barker
USA (1995)
Review oleh Tremor
Nama penulis novel horror dan fantasi asal Inggris, Clive Barker, sangat dikenal penonton horror karena ia adalah kreator, penulis sekaligus sutradara dari Hellraiser (1987), debut penyutradaraannya yang paling fenomenal dan populer. Sebagai penulis novel, banyak karya Barker yang pernah difilmkan oleh sutradara lain dari mulai Rawhead Rex (1986), Candyman (1992), hingga The Midnight Meat Train (2008). Tetapi sebagai seorang sutradara, total film fitur buatannya hanya ada tiga saja: Hellraiser (1987), Nightbreed (1990), dan Lord of Illusions (1995), di mana ketiganya merupakan adaptasi dari novel buatan Barker sendiri yang ia tulis ulang secara khusus menjadi naskah film. Karena sebelumnya saya sudah menulis review untuk Hellraiser dan Nightbreed, jadi mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menulis tentang film terakhir buatan Barker yang rasanya memang kurang mendapat cukup perhatian. Lord of Illusions adalah sebuah film noir-horror dark fantasy, diadaptasi dari cerpen buatan Barker berjudul “The Last Illusion” yang pertama kali diterbitkan tahun 1985 dalam antologi cerpen horror Barker: “Books of Blood”. Lewat Lord of Illusions, Barker membawa kita ke dalam dunia sihir, ilusi, dan fantasi gelap, dengan sentuhan realisme.
Pada tahun 1982, seorang pria bernama Swann dan beberapa kawannya menyerang markas kelompok sekte yang terletak di tengah gurun pasir untuk menyelamatkan seorang gadis remaja yang telah diculik oleh pemimpin kelompok sekte, Nix the Puritan. Nix adalah seorang pemimpin yang karismatik, jahat, dan sangat menguasai magic. Dalam film ini, magic memiliki arti sebenarnya, yaitu sihir magis supranatural, dan bukan sulap seperti yang biasa tukang sulap hiburan lakukan. Sejak film dimulai, kita diperlihatkan bahwa Nix memang seorang ahli sihir hebat yang memiliki banyak pengikut fanatik. Swann sendiri sebenarnya merupakan salah satu bekas murid Nix yang memberontak. Nix akhirnya berhasil dibunuh dalam penyerangan ini, dan jasadnya dikuburkan di lokasi rahasia. Tiga belas tahun kemudian, seorang detektif swasta bernama Harry D’Amour sedang bekerja menyelidiki kasus penipuan asuransi. Namun nasib membawanya ke dalam kasus yang lebih ganjil dan gelap. Di tengah penyelidikannya, secara tidak sengaja ia menjadi saksi pembunuhan sadis terhadap seorang paranormal bernama Quaid. Sebelum meninggal, Quaid memperingati D’Amour tentang kekuatan gelap yang sedang mendekat. D’Amour akhirnya meninggalkan pekerjaan utamanya untuk beralih menyelidiki mengapa Quaid dibunuh, dan penelusurannya ini membawa D’Amour pada sosok Swann. Berbekal ilmu sihir magis yang pernah diajarkan Nix, kini Swann berprofesi sebagai seorang selebritis pesulap panggung yang sangat sukses ala David Copperfield. Para penonton dan pesulap lain tentu menganggap semua atraksi Swann adalah ilusi dan trik hebat, yang sebenarnya bukan. Namun dalam pertunjukan terakhirnya, Swann terbunuh secara tragis di tengah atraksi berbahaya yang melibatkan banyak sekali pedang. Istri Swann, Dorothea, kemudian mempekerjakan D’Amour untuk menggali misteri ini lebih dalam. Namun semakin jauh D’Amour menggali rahasia dunia para ilusionis, semakin ia terseret ke dalam dunia sihir yang sebenarnya.
Clive Barker pertama kali memperkenalkan karakter fiktif Harry D’Amour kepada para pembacanya lewat cerpen “The Last Illusion”. Ia adalah seorang detektif swasta yang memang sering berurusan dengan kasus-kasus supernatural. D’Amour juga lumayan sering muncul dalam karya-karya Barker lainnya dari mulai cerpen “Lost Souls” (1985), kemunculan singkat dalam novel “The Great and Secret Show” (1990), hingga berhadapan dengan Pinhead dalam novel “The Scarlet Gospels” pada tahun 2015 yang merupakan sekuel dari novella The Hellbound Heart (diadaptasi sebagai film Hellraiser). Jadi, sosok D’Amour adalah karakter investigator yang sesekali hadir dalam universe Barker, mirip seperti karakter John Constantine dari universe DC Vertigo. Jadi penggambaran karakter D’Amour dalam versi live-action tentu cukup ditunggu-tunggu oleh para pembaca karya-karya Barker pada masa itu. Harry D’Amour dalam film Lord of Illusions diperankan oleh aktor Scott Bakula yang sebelumnya cukup tenar berkat perannya sebagai protagonis dalam serial TV Quantum Leap (1989-1993). Di mata penonton modern, Scott Bakula mungkin bisa dibilang tidak begitu meyakinkan dalam film ini. Apalagi ia sering tampak tak beremosi dalam beberapa adegan. Untungnya hal itu tidak menjadi distraksi besar bagi saya pribadi, karena kisah yang ditulis oleh Clive Barker jauh lebih mendominasi dibandingkan Scott Bakula. Salah satu elemen terkuat dari Lord of Illusions memang ada pada kisahnya, karena Clive Barker pada dasarnya merupakan penulis fiksi sekaligus master dalam menulis fantasi gelap. Mungkin karena diangkat dari cerpen, maka cerita dalam Lord of Illusions tidak terlalu kompleks, tetapi sanggup membuat penonton tertarik untuk terus menonton hingga misterinya terkuak. Saya pribadi belum pernah membaca versi cerpennya, jadi tidak bisa membuat perbandingan.
Meskipun Harry D’Amour adalah karakter penting dalam universe Barker, tetapi karakter paling menarik dalam Lord of Illusions bagi saya pribadi justru adalah Nix the Puritan. Ia digambarkan sebagai seorang villain dengan motif yang sangat jelas: pencarian pengetahuan dan penguasaan atas sihir supranatural tertinggi, dan akan melakukan apa saja demi mendapatkannya. Karakter ini bagaikan personafikasi evil yang memiliki kendali atas api, gravitasi, hingga jiwa dan akal manusia, dan yang terpenting adalah: ia terasa sangat mengancam. Sama seperti villain Pinhead dari Hellraiser, Nix juga memiliki beberapa dialog yang memorable. Bakat menulis Clive Barker jelas sangat terasa hanya lewat karakter ini saja. Seandainya Barker mau menulis satu novel khusus yang berfokus pada perjalanan hidup Nix the Puritan sejak ia pertama kali mengenal dunia magis, saya pikir karakter ini akan menjadi salah satu villain ikonik dalam dunia fiksi horror.
Satu-satunya keluhan terbesar saya dari film ini hanya ada pada sebagian special effect yang menggunakan CGI. Saya memang penggemar special effect tradisional prostetik, namun biasanya saya juga tidak terlalu terganggu dengan penggunaan CGI yang wajar. Masalahnya, kualitas CGI dalam Lord of Illusions sangat buruk. Saya tahu, sama seperti film-film sejamannya, Lord of Illusions dirilis saat CGI masih di awal perkembangan dan baru mulai digunakan dalam industri film. Tapi kalau dibandingkan dengan film-film pertengahan 90-an lain yang menggunakan CGI, rasanya CGI dalam Lord of Illusions adalah yang terburuk, dengan grafis kasar ala video game 90-an. Untung saja penggunaan CGI dalam film ini porsinya sangat sedikit kalau kita bandingkan dengan penggunaan special effect tradisionalnya yang justru lumayan keren dan solid, terutama pada makeup Nix the Puritan serta beberapa efek luar biasa lainnya dalam adegan klimaks film ini.
Lord of Illusions memang bukan film horror murni, tetapi lebih ke dark fantasy / misteri. Momen horror fantasi dalam film ini baru benar-benar muncul sekitar 30 menit terakhir. Jadi penonton yang mengharapkan full horor ala Hellraiser bisa saja kecewa. Mengingat bahwa profesi asli Clive Barker adalah penulis novel, bukan sutradara, saya bisa bilang kalau Lord of Illusions adalah karya sinema yang cukup efektif dan solid, meskipun tetap tidak bisa disetarakan dengan mahakarya Hellraiser. Film adaptasi ketiga buatan Barker ini tetap membuktikan bahwa ia sama berbakatnya baik di depan meja komputer ataupun di kursi sutradara, meskipun tetap ada beberapa kekurangan dalam film ini. Sayang sekali Clive Barker tidak pernah membuat film fitur lagi, karena saya rasa hanya Clive Barkerlah yang mampu mengadaptasi karya-karya novel gelap-nya dengan baik.