KRAMPUS
Sutradara: Michael Dougherty
USA (2015)
Review oleh Tremor
Setelah sukses besar lewat debutnya Trick ‘r Treat (2007) yang bertemakan perayaan Halloween, penulis / sutradara Michael Dougherty baru membuat film lagi delapan tahun kemudian. Dalam karya penyutradaraan keduanya ini ia kembali dengan tema holiday lewat film komedi horor / fantasi yang berfokus pada perayaan natal, berjudul Krampus. Sepertinya Michael Dougherty tumbuh dengan menonton film Gremlins (1984) di setiap perayaan natal masa kecilnya karena film Krampus jelas memiliki vibe yang sama dengan film semacam Gremlins, sesuatu yang sudah jarang kita temui dalam film-film horor modern: dongeng gelap berbalut komedi yang masih bisa ditonton oleh anak kecil, tetapi juga tetap menghibur para pecinta horor dewasa. Dalam hal ini Dougherty sangat berhasil. Gremlins sendiri memang secara resmi bukanlah film natal, tetapi karena main event di dalamnya terjadi pada malam natal, banyak penggemar horor menganggap menonton Gremlins di malam natal sebagai tradisi. Film Krampus terasa cukup menyegarkan dan menghibur saat pertama kali dirilis pada tahun 2015, karena trend film horor pada masa itu lebih banyak berfokus pada horor realis dan serius, dari mulai film-film seperti The Visit, The Witch, hingga It Follows. Padahal para penggemar horor juga ingin sesekali terhibur lewat fantasi gelap yang ringan dan lucu. Krampus sendiri merupakan karakter dari cerita rakyat pegunungan Alpen yang berkembang menjadi legenda populer di Eropa, terutama di Austria dan Jerman. Ia adalah iblis mengerikan bertubuh setengah kambing yang datang menghukum anak-anak nakal di hari natal. Singkatnya, Krampus adalah versi jahat dari Santa Klaus dalam cerita rakyat ini. Kalau Santa Claus datang untuk memberi hadiah, Krampus datang untuk mengambil anak-anak nakal. Dibantu oleh Todd Casey dan Zach Shields, Michael Dougherty mengadaptasi legenda Krampus ke dalam film natal keluarga yang gelap namun sangat menghibur.
Krampus dibuka dengan vibe layaknya film natal keluarga seperti Home Alone, sebelum kemudian berubah menjadi film horor fantasi gelap. Lewat sequence pembuka film ini yang memperlihatkan bagaimana orang-orang saling berebut di pusat perbelanjaan menjelang perayaan natal, Michael Dougherty dengan sinis menegaskan sindirannya bahwa natal bagi kebanyakan orang hari ini hanyalah soal konsumerisme dan keserakahan. Kemudian kita diperkenalkan dengan seorang anak bernama Max yang sudah tidak menikmati natal. Max bahkan bertengkar dengan anak-anak lain dalam drama natal di sekolahnya karena ia masih percaya pada Santa Klaus. Sebenarnya ia tahu kalau Santa Klaus adalah sosok fiktif, namun ia ingin tetap percaya karena itu memberi harapan baik baginya, dan bagi anak-anak kecil lainnya. Ibu Max depresi, ayahnya selalu sibuk bekerja, sementara kakak perempuan Max sudah terlalu dewasa untuk menemani Max bermain. Max hanya ingin suasana natal yang normal dan menyenangkan di mana semua anggota keluarganya saling mencintai dan memiliki. Ia tidak peduli dengan hadiah dan jamuan makan malam. Suasana Natal Max juga diperburuk dengan kedatangan keluarga ibunya yang ikut merayakan natal bersama keluarga Max. Keluarga ibunya benar-benar keluarga yang menyebalkan, dengan paman Max seorang redneck macho ditambah lagi para sepupu yang sering mem-bully Max. Satu-satunya anggota keluarga yang dekat dengan Max hanyalah neneknya yang ia panggil Omi, yang masih mendesak Max untuk tetap mengirimkan surat pada Santa Klaus meskipun Max sudah tidak percaya. Max pun akhirnya menulis surat untuk Santa Klaus. Namun ketika Max kembali dibully oleh sepupu-sepupunya saat jamuan makan malam karena surat yang Max tulis itu, akhirnya Max merobek-robek surat tersebut dan membuangnya keluar jendela. Pagi berikutnya datang badai salju yang mengisolasi keluarga ini dalam rumah mereka. Listrik padam, semua jaringan komunikasi tidak bekerja, dan jalanan menuju kota terdekatpun terputus oleh tumpukan salju tebal. Sepertinya hanya Omi yang tahu apa yang terjadi, karena ia tampak cemas dan memberi peringatan bahwa mereka perlu menjaga perapian tetap menyala. Tak butuh waktu lama hingga mereka mulai menyadari bahwa sesuatu yang gelap dan menyeramkan sedang terjadi. Versi jahat dari santa klaus yang menyeramkan bersama pasukan mainan jahatnya datang untuk menjemput mereka yang sudah tidak percaya pada semangat Natal, satu persatu.
Kalau dalam Trick ‘r Treat penulis / sutradara Michael Dougherty membawa pesan tentang semangat perayaan Halloween, demikian juga halnya dengan Krampus lewat semangat Natal-nya. Dan karena saya yakin tidak satu pun penggemar horor yang menonton Krampus untuk mencari pesan dan semangat natal di balik film ini, jadi mari kita skip bagian tersebut dan saya akan lebih membahas soal apa yang paling saya suka dari film ini, yaitu desain monster-nya. Saya cukup menikmati film ini sejak awal, terutama karena komedi-komedi gelapnya seputar hubungan keluarga disfungsional. Namun ketika sosok Krampus yang misterius beserta pasukan mainan jahatnya mulai bermunculan menebar teror, Krampus menjadi film yang semakin menghibur dan seru. Desain monster dalam film ini meliputi sosok Krampus itu sendiri hingga sepasukan mainan jahat: badut dalam kotak (Jack-in-the-Box), boneka beruang, boneka malaikat, hingga kue gingerbread man. Selain mainan-mainan kesetanan, Krampus juga memiliki sepasukan elf hutan yang tampak barbar dan primitif. Siapapun yang merancang semua monster dalam film ini telah melakukan pekerjaan yang fantastis, dan setiap kemunculan mereka di layar adalah apa yang menyelamatkan film Krampus. Semua monster dikerjakan dengan special FX tradisional yang baik, yang dibumbui CGI sewajarnya. Bicara soal desain monster Krampus sendiri, ia digambarkan sangat mengancam lewat perawakannya yang sangat besar, dengan tanduk iblis yang tak kalah besar, bercakar panjang, berkaki kambing, dan tentu saja mengenakan jubah ala santa klaus dalam versi yang sudah dekil karena ia adalah santa klaus dari neraka. Apa yang saya suka dari desain Krampus adalah karena kita tidak pernah benar-benar bisa melihat seperti apa wajahnya, karena wajah asli Krampus tersembunyi di balik topeng Santa Klaus yang ia kenakan. Namun kita tetap bisa melihat mata iblis dan mulut di balik topeng tersebut. Menurut saya desain ini cukup bagus dan merupakan kreasi adaptasi yang pintar, karena kalau kita sering melihat ilustrasi-ilustrasi lama Krampus yang ada di internet, hampir semuanya menampilkan wajah iblis menyeramkan berwarna gelap. Dan rasanya akan cukup membosankan kalau film ini menampilkan wajah yang seperti itu juga. Untuk desain para pasukan Krampus, saya agak kesulitan untuk menentukan mana yang menjadi favorit saya karena hampir semuanya didesain dengan bagus. Saya menyukai monster Jack-in-the-Box, terutama setelah ia menelan seorang anak menyebalkan dengan perlahan. Demikian juga dengan boneka malaikat yang tampak seperti setan yang kerasukan arwah seorang maniak. Sementara itu kehadiran para kue gingerbread man dalam film ini turut melengkapi unsur komedi sekaligus membawa teror dengan cara yang menyenangkan.
Secara keseluruhan film Krampus mengambil jalan yang sangat mirip dengan film Gremlins: menghibur, lucu, komikal, sangat menyenangkan untuk ditonton anak kecil hingga dewasa, dan memiliki adegan-adegan teror menegangkan di beberapa bagian. Saya rasa Krampus bisa saja menjadi Gremlins-nya generasi modern, meskipun jelas Krampus tidak sebagus Gremlins. Di sisi horornya, berbeda dengan Trick ‘r Treat yang lumayan sadis, film Krampus mungkin akan mengecewakan para penggemar horor yang mencari adegan gore. Ini adalah karena Krampus memang dibuat sebagai film natal dengan rate PG-13, jadi film ini harus aman untuk ditonton oleh mereka yang berumur 13 tahun ke atas. Rate PG-13 memungkinkan pemasaran film Krampus bisa menjangkau audience yang lebih luas, dan saya pikir Mike Dougherty memang layak untuk mendapatkan kesuksesan komersial pada tingkat yang lebih besar setelah ia membuat Trick R’ Treat yang brilian. Jadi, ini adalah film yang sering saya sebut sebagai “film horor aman”, yang bagus untuk filmography Dougherty. Masalahnya dengan film “aman” seperti ini, mungkin tidak semua orang akan semudah itu menyukai Krampus. Film ini bisa jadi terlalu mengerikan bagi anak-anak berumur 13 tahun. Mereka yang sudah remaja mungkin akan merasa bosan, para pecinta horor akan kecewa karena tidak adanya adegan gore, sementara para pecinta film komedi juga mungkin tidak akan merasa Krampus adalah film yang selucu itu karena ada terlalu banyak adegan horor untuk ukuran film komedi. Tak bisa disangkal, dalam hati saya yang terdalam, saya pribadi sedikit berharap seandainya saja Krampus menjadi film yang agak lebih brutal dan bukan film PG-13, tentu film ini akan sedikit lebih sempurna. Tapi saya bisa saja salah, karena Gremlins pun pada dasarnya adalah film dengan rate PG-15 dan Gremlins tetap dicintai oleh penggemar horor manapun hingga hari ini. Apapun keputusan Michael Dougherty soal rate filmnya, menurut saya Krampus tetaplah film natal yang gelap sekaligus ringan dan sangat menghibur sejak awal hingga akhir.