fbpx

MOVIE REVIEW: I SELL THE DEAD (2008)

I SELL THE DEAD
Sutradara: Glenn McQuaid
USA (2008)

Review oleh Tremor

I Sell the Dead adalah sebuah film komedi horor, debut film fitur dari penulis / sutradara Irlandia Glenn McQuaid. Meskipun sebelumnya McQuaid hanya pernah membuat dua film pendek saja, namun I Sell The Dead sudah menunjukkan kalau ia cukup berbakat dan melampaui ekspektasi yang diharapkan dari seorang pemula. I Sell The Dead sendiri merupakan pengembangan dari film pendek yang pernah ia buat tiga tahun sebelumnya, berjudul The Resurrection Apprentice (2005) yang memiliki tone jauh lebih serius dan dramatis dibandingkan I Sell The Dead yang sangat komikal dan penuh dengan komedi situasi. Sepertinya Glenn McQuaid adalah seseorang yang dibesarkan oleh kultur horor di masa kecilnya, atau mungkin juga ia adalah seorang penggemar horror vintage, terlihat dari kuatnya unsur penghormatan dalam I Sell The Dead terhadap komik-komik horor tahun 40/50an terbitan E.C. Comics serta film-film horor gothic 50/60/70-an rilisan Hammer Film Productions. Film ini juga sangat kental dengan unsur dan narasi bergaya komik, hingga pada tahun 2009 I Sell The Dead benar-benar dibuat versi komiknya yang dirilis oleh Image Comics dan dijadikan sebagai bonus DVD film ini.

Sebagian plot utama dalam I Sell The Dead terinspirasi dari kisah nyata sepasang kriminal perampok kuburan terkenal asal Skotlandia pada awal 1800-an yang bernama William Burke dan William Hare. Apa yang mereka curi dari kuburan bukanlah perhiasan atau pakaian jenazah, melainkan mayat-mayat yang baru saja dikuburkan untuk dijual dengan harga tinggi. Aksi perampok kuburan spesialis pencuri mayat ini disebut “body snatching”, dan para pelakunya disebut sebagai “resurrectionists”. Tentu ini adalah profesi teraneh yang pernah kita dengar. Pada awal 1800-an permintaan terhadap mayat segar cukup tinggi di Inggris, karena perkembangan edukasi medis kampus-kampus kedokteran di sana sedang sangat pesat dan mereka selalu membutuhkan persediaan mayat manusia (biasa disebut cadaver) untuk digunakan dalam pelajaran anatomi, kelas-kelas praktek pembedahan, hingga penelitian. Pengadilan tinggi Inggris telah menetapkan mayat-mayat yang boleh digunakan sebagai cadaver bahan edukasi hanyalah mayat para pelaku kriminal yang dijatuhi hukuman mati, ataupun berdasarkan donasi dari pihak keluarga jenazah. Dengan keterbatasan persediaan cadaver legal serta tingginya permintaan, maka banyak kampus dan dokter mulai “memesan” mayat-mayat secara ilegal. Mereka diam-diam mempekerjakan para resurrectionists dan membuat praktek body snatching semakin merajarela. Kisah dari Burke dan Hare sendiri kemudian difilmkan oleh John Landis pada tahun 2010 lewat sebuah film komedi horor berjudul Burke & Hare. Namun I Sell The Dead jauh lebih lucu dan menghibur daripada Burke & Hare, karena film ini menggabungkan profesi resurrectionists dengan unsur-unsur monster klasik supranatural yang dibalut komedi situasi.

I Sell the Dead memperkenalkan kita pada karakter sepasang pencuri mayat di Inggris tahun 1800-an, Willy Grimes dan Arthur Blake. Atas tuduhan pembunuhan, Willy baru saja dikenakan hukuman mati, sementara Arthur sedang menunggu gilirannya. Beberapa jam sebelum eksekusinya, seorang pendeta katolik bernama Father Duffy mendatangi Arthur untuk mendengar pengakuan terakhirnya. Plot film ini dinarasikan oleh Arthur pada sang pendeta di mana ia menceritakan kehidupannya sejak pertama kali “magang” pada Willy sebagai pencuri mayat, sampai akhirnya menjadi partner kerja yang tak terpisahkan hingga pada kejadian yang membuat mereka berdua dituduh membunuh. Dalam kilas balik inilah penonton bisa mengikuti perjalanan Willy dan Arthur di mana mereka awalnya hanya mencuri mayat-mayat biasa untuk seorang klien khusus yang mencurigakan bernama Dr. Quint. Suatu hari, mereka mendapat satu pesanan yang sangat tidak biasa, yaitu mencuri mayat yang bukan dikubur di pemakaman umum melainkan di sebuah persimpangan jalan tanpa penanda apapun. Mereka cukup bingung ketika mendapati bahwa mayat perempuan ini masih segar, dengan kalung bawang putih di lehernya, dan pasak kayu tertancap di dadanya. Penonton tentu tahu makhluk apa yang mereka temukan ini. Namun Willy dan Arthur sama sekali tidak memahaminya. Dengan lugu mereka mencabut pasak kayu tersebut, dan sang mayat dengan gigi-gigi tajam ini pun bangkit menyerang mereka. Setelah berhasil menancapkan kembali pasak kayu pada dada mayat, mereka mengantarnya ke kediaman Dr. Quint dengan tujuan memberi pelajaran pada sang dokter gila yang tak pernah membayar mereka. Setelah kejadian tersebut, duo pencuri mayat ini akhirnya mulai memahami kalau perdagangan mayat-mayat yang tak bisa mati (undead) jauh lebih menguntungkan dibandingkan mayat reguler. Mereka pun mulai mencari lebih banyak pesanan-pesanan tak biasa seperti ini. Namun ada satu masalah besar: satu-satunya pesaing mereka dalam bisnis pencurian “undead”, yaitu sebuah geng pencuri mayat bernama House of Murphy yang terkenal kejam, tidak menyukai persaingan bisnis.

Karena keseluruhan film ini merupakan kumpulan beberapa kisah pencurian mayat yang dituturkan oleh Arthur, menjadikan I Sell The Dead memiliki sedikit nuansa antologi. Setiap kisahnya terputus-putus namun tetap kronologis dan terkoneksi oleh karakter yang sama serta tema serupa, dengan percakapan Arthur dan Father Duffy di sel penjara sebagai cerita bingkainya. Meskipun I Sell The Dead tidak dirancang sebagai antologi horor, namun plot dan struktur film yang terasa seperti antologi ini cukup efektif untuk menjadikan film berdurasi kurang dari 90 menit ini sama sekali tidak terasa membosankan. I Sell The Dead kemudian ditutup dengan twist yang bisa saja ditebak dengan mudah, namun tetap sangat menghibur dan menyudahi keseluruhan film dengan perasaan yang menyenangkan.

Saya menyukai karakter-karakter yang ditulis Glenn McQuaid dalam I Sell The Dead, terutama karakter duo Willy Grimes dan Arthur Blake yang sangat menyenangkan untuk ditonton di sepanjang film karena interaksi keduanya terasa begitu mengalir. Kedua aktornya bekerja dengan baik dan menampilkan chemistry yang kuat, seakan-akan mereka benar-benar berkawan dalam kehidupan nyata. Selain itu, saya juga suka dengan karakter para anggota geng House of Murphy yang masing-masing digambarkan memiliki ciri khas serta backstory unik, dan kesemuanya terasa begitu berlebihan layaknya karakter villain dalam buku komik. Sayang sekali kemunculan geng House of Murphy dalam film ini berdurasi terlalu singkat. Masih soal karakter, ada bonus bagi para penggemar horor, yaitu kemunculan kameo aktor horor legendaris mendiang Angus Scrimm (1926-2016) yang sangat terkenal berkat perannya sebagai The Tall Man dalam film klasik Phantasm (1979) dan semua sekuelnya. Dalam I Sell The Dead, Scrimm memerankan karakter yang sangat cocok dengan personanya, yaitu sebagai Dr. Quint yang saya duga adalah seorang ilmuwan gila. Selain Scrimm, kita juga bisa melihat kemunculan kameo aktor ikonik lainnya, yaitu Ron Perlman yang wajahnya sering muncul dalam film-film 90-an. Namun adalah perannya sebagai Hellboy dalam film Hellboy (2004) buatan Guillermo del Toro yang membuat wajah Perlman menjadi semakin dikenal. Dalam I Sell The Dead, Perlman berperan sebagai Father Duffy.

Sebagai sebuah film independen berbajet rendah, film ini diproduksi dengan cukup baik. Bagian paling menonjol ada pada desain kostum dan set yang benar-benar menggambarkan apa yang saya bayangkan tentang Inggris 1800-an. Beberapa adegan jelas diambil menggunakan greenscreen, namun mungkin itu memang disengaja untuk menambah nuansa ala buku komiknya. Sayangnya sebagai film horor, I Sell The Dead tidaklah menyeramkan dan sama sekali tidak berdarah-darah. Pada dasarnya I Sell The Dead memiliki elemen komedi yang lebih berat ketimbang sisi horornya. Banyak suasana digambarkan sangat komikal meskipun dalam beberapa bagian juga berhasil terlihat mencekam. Padahal kalau kita lihat adegan-adegan horor di film ini, terutama ketika Willy dan Arthur menggali kuburan vampir dan alien, sutradara McQuaid tampak cukup kompeten dalam mengarahkan suasana horor, dengan inspirasi atmosfer ala film-film klasik Hammer Film. Seandainya I Sell The Dead memiliki elemen komedi yang sama namun disuntikkan lebih banyak adegan gore over-the-top ala Re-Animator (1985) atau BrainDead / Dead Alive (1992), saya yakin film ini berpotensi menjadi cult-classic di masa depan. Bagaimanapun juga I Sell The Dead tetaplah sebuah tontonan yang menghibur dan menyenangkan. Beberapa bagian dalam film ini berhasil membuat saya terkekeh dan tersenyum karena humornya bekerja dengan cukup baik. I Sell The Dead adalah film yang menyenangkan dan jelas bukan sebuah film yang perlu ditanggapi terlalu serius. Saya pikir para aktor dan crew film ini juga bersenang-senang di sepanjang proses produksinya. Film-film horor yang sederhana dan ringan seperti ini akan selalu menjadi hawa segar alternatif dari horor Hollywood yang seringkali terasa membosankan.