MOVIE REVIEW: HONEYMOON (2014)

HONEYMOON
Sutradara:
Leigh Janiak
USA (2014)

Review oleh Tremor

Honeymoon adalah sebuah film slow burn psychological thriller / horror, debut dari penulis / sutradara Leigh Janiak yang tujuh tahun kemudian dipercaya untuk membuat The Fear Street Trilogy (2021). Konon, proses penulisan Honeymoon sendiri dimulai sejak tahun 2011 setelah Leigh Janiak dan penulis Phil Graziadei mendapat inspirasi dari film Monsters (2010). Hal tersebut agak membingungkan, karena Honeymoon sama sekali tidak mengingatkan saya pada film Monsters. Selain film Monsters, Janiak juga sempat bercerita dalam sebuah wawancara tentang dari mana datangnya ide dasar untuk film Honeymoon, yaitu kisah dalam novel serta film-film Invasion of the Body Snatchers. Ini lebih masuk akal. Dalam Honeymoon, konsep body-snatchers memang jauh lebih terasa dibandingkan konsep invasi masif ala film Monsters. Namun berbeda dengan kisah Invasion of the Body Snatchers yang melibatkan populasi manusia, Janiak mungkin ingin menceritakan kembali konsep kisah tersebut dalam tingkatan yang lebih intim dan personal. Hasilnya, Honeymoon memiliki plot sederhana yang secara lambat beralih ke kisah yang lebih gelap.

Film ini berfokus pada sepasang kekasih bernama Paul dan Bea yang baru saja menikah. Mereka pergi berbulan madu dalam kabin sederhana milik keluarga Bea di pinggir danau terpencil. Ide ini mungkin sangat romantis bagi Paul dan Bea, di mana mereka bisa menghabiskan waktu berdua saja tanpa ada gangguan. Apalagi tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar sana, karena ini adalah pemukiman kabin yang memang hanya digunakan saat liburan saja. Dalam bagian awal film ini, penonton dipaksa untuk menonton Paul dan Bea dimabuk cinta, saling mengekspresikan cinta mereka satu sama lain, yang menurut saya durasinya agak terlalu panjang. Tetapi saya paham, sutradara Janiak ingin penontonnya benar-benar memahami kalau Paul dan Bea sedang dalam fase terindah dalam hubungan, di mana keduanya sangat mencintai satu sama lain. Tanpa Paul dan Bea sadari, hal-hal aneh sebenarnya mulai terjadi sejak mereka tiba. Salah satunya adalah cahaya terang yang menyorot dari luar jendela kamar saat mereka tidur, dan lampu rumah yang sering berkedip-kedip. Suatu malam saat keduanya sedang tidur pulas, Paul terbangun dan tidak menemukan Bea di sampingnya. Ia segera mencarinya di seluruh bagian rumah, tapi Bea tidak ada. Dengan panik Paul pergi mencarinya ke luar rumah. Akhirnya ia menemukan Bea di tengah hutan gelap dalam kondisi telanjang dan berdiri kaku seperti sedang dalam keadaan trance. Saat Paul menyentuhnya, Bea segera “terbangun” dan kebingungan. Setelah tersadar, Bae sama sekali tidak ingat bagaimana ia bisa berada di tengah hutan, dan ia pikir mungkin ia tidur berjalan. Paul merasa aneh karena ia tahu betul bahwa tidur berjalan bukanlah kebiasaan Bae. Keesokan harinya, perilaku Bea mulai sedikit janggal. Awalnya ia lupa dengan hal-hal sederhana seperti cara membuat kopi dan memanggang roti. Perilaku anehnya mulai semakin meningkat setiap harinya, hingga ke tahap seakan Bea adalah orang asing yang sedang berusaha menjadi Bea. Paul pun mulai merasa khawatir dengan kesehatan mental istrinya. Akhirnya Paul mencoba mencari kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Bea dalam hutan saat pertama kali Bea tidur berjalan. Mulai dari sini, kisah romantis Paul dan Bea berangsur menjadi semakin gelap.

Sebagai penggemar Game of Thrones, hal pertama yang menarik perhatian saya dan memutuskan menonton Honeymoon adalah terlibatnya aktris Rose Leslie yang berperan sebagai Ygritte “you-know-nothing-jon-snow” dalam Game of Thrones. Selain itu, aktor Harry Treadaway juga pernah berperan sebagai Dr. Frankenstein dalam serial Penny Dreadful. Keduanya berperan cukup bagus dalam serial-serial mereka masing-masing. Jadi rasanya wajar kalau saya berharap bahwa mereka berdua akan berperan dengan bagus sebagai pasangan dalam Honeymoon. Untungnya, harapan saya terpenuhi. Leslie berperan cukup fantastis sebagai Bea yang memiliki perubahan-perubahan perilaku serta emosi di sepanjang film, tanpa terasa dipaksakan. Emosinya bisa beralih dari mulai penuh perasaan cinta, bahagia, sedih, marah, hingga beberapa kejanggalan-kejanggalan perilaku. Sementara itu Treadaway juga bisa berperan dengan natural saat menggambarkan karakter suami yang kebingungan menghadapi situasi yang tidak masuk ke dalam logikanya. Chemistry antar keduanya juga terasa cukup kuat, meskipun elemen romance dalam Honeymoon agak too-much. Walaupun plotnya sederhana dan tidak ada yang benar-benar baru dalam konsep Honeymoon, tetapi mungkin akting Leslie dan Treadaway adalah hal yang menyelamatkan film ini. Apalagi Honeymoon bisa dibilang sebagai sebuah film yang bergantung hanya pada dua karakter sentral saja, membuat Leslie dan Treadaway bekerja lebih keras memikul beban kekuatan karakter dan cerita.

Saya akui kalau saya bukanlah orang yang terlalu minat dengan film-film horror psikologis slow-burner seperti ini, karena saya akan dengan mudah merasa bosan menunggu-nunggu sesuatu yang mengerikan terjadi. Dan ternyata penantian saya akan sesuatu yang mengerikan memang tidak pernah benar-benar terpenuhi dalam Honeymoon. Meskipun ada pengaruh elemen-elemen supranatural terhadap perilaku Bea, tapi film ini tetap berfokus pada bagaimana hubungan Paul-Bea berjalan. Jadi mungkin sisi “horror” dalam film ini justru ada pada kengerian psikologis soal kehidupan pernikahan, tentang bagaimana kalau pasangan kita tiba-tiba menjadi seseorang yang sama sekali berbeda beberapa hari setelah menikah. Kecemasan soal ini cukup masuk akal dan universal bagi manusia modern yang percaya bahwa institusi pernikahan sebagai bentuk pencapaian, karena toh ada banyak sekali kasus pernikahan di mana sang pasangan bukan lagi seperti yang mereka kenal di masa pacaran. Menyadari bahwa Honeymoon menggunakan elemen horor sebagai metafora kehidupan pernikahan tentu mengingatkan saya pada karya luar biasa dari sutradara Polandia Andrzej Żuławski, berjudul Possession (1981), yang menggunakan elemen horror untuk menggambarkan rasa frustrasi pernikahan dan perceraian. Tapi jangan salah memahami, Honeymoon jelas tidak akan pernah bisa mencapai level dan kelas yang sama dengan Possession. Honeymoon memang bukan jenis film horror yang menakutkan, dan bukan juga film yang suatu hari akan saya tonton ulang. Tapi sebagai debut sinema indie berbajet rendah, Honeymoon jelas merupakan karya yang sangat layak untuk diapresiasi. Apalagi karena Honeymoon tidak pernah menggunakan metode-metode horor generik yang mengandalkan jumpscare serta tipuan-tipuan murahan untuk menakut-nakuti penontonnya. Kalau kalian adalah penggemar film-film psychological horror / thriller beralur lambat, mungkin Honeymoon pantas untuk ditonton.