HELLBENDER
Sutradara: John Adams, Zelda Adams, Toby Poser
USA (2021)
Review oleh Tremor
Hellbender adalah sebuah film drama horror yang membungkus tema coming of age, witchcraft, dan relasi ibu-anak dalam satu kisah yang gelap. Film ini mendapat banyak respon positif saat pertama kali ditayangkan dalam Fantasia International Film Festival di Kanada pada tahun 2021. Setelah pemutarannya dilanjutkan dari satu festival ke festival film lainnya, akhirnya channel streaming khusus horror, Shudder, membeli hak tayangnya pada tahun 2022. Salah satu hal menarik dari film ini adalah fakta bahwa Hellbender merupakan proyek eksperimental independen dari satu keluarga pembuat film, di mana mereka mengerjakan semuanya sendiri dari mulai produksi, penulisan, penyutradaraan, editing, musik, sound, desain kostum, operator kamera, hingga sinematografi. Keluarga multi-talenta ini adalah keluarga Adams, yang bernaung di bawah nama bisnis Wonder Wheel Productions, beranggotakan John Adams (ayah), Toby Poser (ibu), bersama kedua putri mereka Zelda dan Lulu. Bahkan pengisi soundtrack film ini adalah musik yang ditulis dan dimainkan oleh band yang beranggotakan mereka sendiri juga. Seakan memiliki terlalu banyak bakat, mereka berempat juga memerankan hampir semua karakter utama dalam film Hellbender, dan mereka melakukannya dengan sangat baik. Keluarga Adams sendiri telah mengerjakan film-film independen bersama-sama sejak mereka membeli seperangkat kamera dan beberapa microphone pada tahun 2010, menghasilkan karya-karya film fitur dari mulai RumbleStrips (2013), Knuckle Jack (2014), The Shoot (2014), Halfway to Zen (2016) hingga The Deeper You Dig (2019), serta beberapa film pendek.
Film ini menceritakan kisah tentang Izzy, seorang remaja tanggung yang tinggal dalam sebuah rumah mungil di area pegunungan bersama ibunya. Ia dibesarkan terisolasi tanpa pernah ada kontak dengan siapapun kecuali ibunya (yang tidak pernah disebutkan namanya) sejak berumur lima tahun. Menurut ibunya, ini terpaksa dilakukan untuk melindungi Izzy, karena Izzy memiliki penyakit langka yang membuatnya tidak bisa berada di sekitar orang lain lagi. Namun, Izzy kini sudah bukan anak kecil lagi. Izzy telah mencapai usia di mana berkeliaran sendirian di dalam hutan, berenang di sungai dan bermain band berdua saja dengan ibunya tidaklah cukup. Izzy ingin pergi ke kota, ia ingin bandnya bisa bermain di depan publik, ia ingin bertemu orang-orang dan ingin memiliki teman. Fase pemberontakan akil baligh membuat Izzy mulai gelisah dengan kesepiannya. Suatu hari saat sedang berjalan-jalan dalam hutan, Izzy berjumpa dengan seorang remaja perempuan lain bernama Amber yang kemudian menjadi teman pertamanya. Izzy mulai sadar bahwa ternyata ia baik-baik saja saat berada di sekitar orang lain. Izzy pun mulai mempertanyakan soal penyakit langkanya yang telah ibunya tanamkan sejak lama. Tentu saja ada yang ibunya rahasiakan dari Izzy. Pada pertemuan berikutnya, Amber memperkenalkan Izzy pada teman-teman lainnya. Sebuah permainan tantangan tequila shot yang melibatkan cacing hidup bersama teman-teman barunya rupanya membangkitkan sesuatu yang gelap dalam diri Izzy yang selama ini telah direpresi oleh ibunya. Sesuatu yang aneh mulai terjadi dan Izzy kebingungan dengan dirinya sambil menyadari bahwa ia tidak seperti anak-anak lain seusianya. Momen ini membuka jalan bagi Izzy untuk menemukan identitas aslinya yang selama ini dirahasiakan oleh sang ibu.
Hellbender dengan cerdas menganalogikan tema coming of age (tema yang berfokus pada pergulatan masa transisi seorang anak kecil menjadi orang dewasa) ke dalam kisah tentang seorang gadis yang mulai menyadari bahwa ia memiliki kekuatan supranatural. Saat Izzy mulai tumbuh dewasa, kekuatan dalam dirinya tidak bisa lagi dibendung. Ibunya tidak bisa membohongi Izzy selamanya. Dan adalah tugas ibunya untuk memberikan pemahaman tentang hal yang sempat membingungkan Izzy ini, sama seperti seorang ibu yang harus menjelaskan tentang menstruasi atau pengetahuan seputar organ reproduksi pada anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa dan kebingungan dengan dirinya sendiri. Relasi dan dinamika antara ibu dan Izzy yang digambarkan dalam Hellbender terlihat sangat baik dan natural. Jelas saja, karena kedua aktrisnya adalah ibu dan anak sungguhan dalam kehidupan nyata. Hellbender memang bukan jenis film yang menyembunyikan twist atau kejutan tertentu. Sejak awal film kita akan tahu bahwa Hellbender adalah film tentang penyihir. Apalagi kita bisa melihat bagaimana ibu Izzy diam-diam mempraktekkan ritual-ritual sihir tertentu tanpa sepengetahuan Izzy. Maka sejak awal pula kita bisa menebak kalau Izzy merupakan keturunan penyihir yang mungkin memiliki kekuatan yang sama hebatnya dengan sang ibu. Penyihir dalam film ini disebut sebagai “hellbender”, dan mereka digambarkan persis seperti kisah-kisah klasik tentang penyihir yang beredar di masyarakat luas, yaitu sosok penyihir berumur ratusan tahun dengan kekuatan supranatural luar biasa hebat yang akan dengan mudah tergoda untuk menjadi “jahat” kalau mereka tidak bijaksana menggunakan kekuatan dan pengetahuannya. Mereka sangat dekat dengan unsur-unsur alam, dan dapat mengendalikan unsur-unsur tersebut. Para penonton yang suka dengan konsep penyihir ala Madam Mikmak yang meramu bahan-bahan alami untuk mendapat kekuatan sihir tertentu jelas akan tertarik saat melihat bagaimana ibu Izzy mengajarkan anaknya berbagai ilmu sihir menggunakan bahan-bahan dari alam tanpa embel-embel mantra.
Seperti sudah saya tulis sebelumnya, bagaimana Hellbender dibuat adalah hal lain dari film ini yang sangat perlu diapresiasi. Keluarga Adams benar-benar memiliki passion serius dalam membuat film, dan mereka melakukannya tidak dengan asal-asalan. Meskipun berbajet terbatas dan dikerjakan secara DIY, Hellbender berhasil mencapai kualitas yang melampaui ekspektasi saya dari film-film indie berbajet rendah. Satu-satunya hal “murah” paling mencolok dari Hellbender hanya terlihat pada beberapa special effect-nya saja yang menggunakan CGI yang kasar. Tapi saat menyadari betapa besar effort dan passion yang keluarga Adams tuangkan dalam film ini, persoalan special effect buruk menjadi sangat bisa dimaklumi. Hellbender juga difilmkan dengan sangat baik, dibantu dengan lokasi yang tampak indah, ditambah kisah yang ditulis dengan baik pula. Film Hellbender sendiri merupakan proyek lanjutan dari proyek lain keluarga Adams, yaitu sebuah band rock alternatif bernuansa agak nge-punk yang mereka buat dalam kehidupan nyata selama masa pandemi yang bernama H6LLB6ND6R (dibaca Hellbender). Maka tak heran kalau seluruh soundtrack dalam film ini adalah lagu-lagu original H6LLB6ND6R yang sudah ditulis sebelum film ini dibuat. Apa yang sangat saya suka dari lagu-lagu H6LLB6ND6R selain musiknya adalah liriknya yang begitu puitis, dan setiap liriknya sangat relevan dengan alur film setiap kali sebuah lagu dimainkan dalam film ini. Saya sampai lupa menuliskan kalau film Hellbender diselingi dengan klip-klip di mana penonton bisa melihat bagaimana Izzy dan ibunya bermain band (Izzy drum/vokal, ibunya bass/vokal) membawakan lagu-lagu H6LLB6ND6R, lengkap dengan kostum panggung seakan-akan mereka sedang bermain dalam show di sebuah studio.
Hellbender merupakan film beralur lambat yang bisa kita nikmati kalau kita bisa bersabar menontonnya. Tapi bersabar mengikuti alur lambat adalah hal yang mudah kalau gaya visual filmnya sangat artistik dan enak dilihat seperti yang bisa kita lihat dalam Hellbender. Film ini juga bukanlah film horror murni yang bisa menakut-nakuti penonton. Mungkin satu-satunya vibe menyeramkan dari film ini hanya ada pada pembuka dan penutup film. Mengingat bahwa Hellbender adalah proyek DIY penuh passion dari satu keluarga pembuat film, tidak banyak komplain yang bisa saya ajukan. Beberapa ketidaksempurnaan minor dari film ini sangat bisa dimaklumi. Yang pasti untuk ukuran film independen berbajet terbatas, hasil akhir Hellbender sangat memuaskan dan imajinatif, dengan penulisan yang baik pula. Setelah menonton Hellbender, tentu saja saya akan menunggu karya-karya horror buatan keluarga Adams selanjutnya.