fbpx

MOVIE REVIEW: HATCHING / PAHANHAUTOJA (2022)

HATCHING / PAHANHAUTOJA
Sutradara: Hanna Bergholm
Finlandia (2022)

Review oleh Tremor

Hatching, yang dalam bahasa aslinya berjudul Pahanhautoja, adalah sebuah film horror psikologis dan body-horror, debut dari sutradara muda Hanna Bergholm asal Finlandia. Film yang ditulis oleh Ilja Rautsi ini pertama kali diputar di Sundance Film Festival 2022. Pada tahun yang sama, Hatching berhasil mendapat penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang penghargaan Gérardmer International Fantastic Film Festival 2022 di Perancis. Hatching adalah perpaduan yang menarik antara satir tentang sosial media, hubungan toxic antara ibu dan anak perempuan, serta drama coming-of-age dan metafora soal pubertas, semuanya dibungkus dengan elemen alegori horor yang aneh. Menggunakan premis coming-of-age (fase transisi pubertas seorang anak kecil menjadi dewasa) dalam film horor memang bukanlah hal baru. Sebelumnya sudah ada banyak film horror yang mengolah premis tersebut, dari mulai Carrie (1976), Ginger Snaps (2000), Let the Right One In (2008), hingga It Follows (2015), dan saya rasa Hatching cukup berhasil dalam tema ini dan layak berada dalam jajaran yang sama dengan film-film tersebut.

Kisah dalam Hatching berfokus pada seorang gadis pesenam berusia 12 tahun yang bernama Tinja (dibaca: “Nyinya”). Tak bisa dipungkiri kalau nama Tinja yang selalu tertulis pada subtitle akan menjadi distraksi besar di sepanjang film bagi para penonton Indonesia. Saat nama Tinja pertama kali disebutkan, saya memencet tombol pause hanya untuk mengecek apakah subtitle-nya sudah benar. Mungkin Tinja adalah nama Finlandia yang cukup umum. Kembali ke Hatching, Tinja hidup dalam keluarga normal bersama ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Tanpa Tinja sadari hidupnya sangat diatur oleh ibunya yang dominan, control freak, manipulatif dan menaruh banyak beban harapan pada pundak Tinja. Ibunya bahkan memaksakan Tinja untuk memenangkan kompetisi senam hanya karena ia pernah gagal mengejar mimpinya sendiri untuk menjadi juara ice-skating di masa mudanya. Sang ibu juga adalah seorang perempuan yang sangat terobsesi menciptakan image “keluarga Finlandia yang sempurna” di sosial media dan vlog-nya, meskipun pada kenyataannya keluarga ini tidak tampak bahagia dalam kesehariannya. Suatu hari Tinja menemukan sebuah telur burung di hutan belakang rumah mereka. Merasa ikut bersalah setelah melihat ibunya membunuh seekor gagak tak berdosa dengan dingin, Tinja pun segera membawa pulang telur tersebut dan memutuskan akan merawatnya hingga menetas. Namun ternyata telur itu bukan telur biasa. Semakin hari ukuran telur yang ia sembunyikan di balik boneka Teddy Bear itu semakin membesar dengan drastis hingga akhirnya telur berukuran tak wajar itu menetas dan lahirlah bayi monster unggas raksasa yang aneh dan menyeramkan. Awalnya Tinja ketakutan, tapi setelah melihat monster unggas itu tidak mengancamnya, Tinja segera menjadi sosok ibu dan memberi monster itu nama: Alli. Namun semuanya sudah sangat terlambat ketika Tinja menyadari kalau Alli sangat protektif terhadap Tinja dengan cara yang cukup kejam.

Kisah slowburn dalam Hatching mengeksplorasi situasi sulit dan kecemasan seorang anak 12 tahun yang dibesarkan oleh ibu yang penuntut, egois dan manipulatif. Padahal Tinja sedang berada pada fase menjelang akil baligh, fase di mana ia justru sedang membutuhkan cinta yang tulus dan bimbingan dari ibunya. Ayah Tinja juga adalah sosok orang tua tidak pernah ada untuk Tinja, meskipun tampak sayang dan selalu ramah. Menulis karakter Tinja dibesarkan oleh sepasang orang tua yang masing-masing hanya mementingkan diri sendiri ternyata menjadikan kisah Hatching cukup efektif. Situasi yang dihadapi Tinja membuat para penonton akan dengan mudah bersimpati kepadanya, dan kita jadi bisa memahami mengapa Tinja mengisi waktu-waktu sendirinya dengan membesarkan monster di bawah kasurnya. Meskipun sebagian dari Hatching adalah film monster dengan beberapa adegan berdarah, tapi saya pikir ibu Tinja adalah villain yang sebenarnya dalam film ini. Aktor Sophia Heikkila yang berperan sebagai ibu cukup berhasil dalam menggambarkan seorang ibu yang gila kuasa dan manipulatif. Tapi aktris cilik Siiri Solalinna yang memerankan Tinja-lah yang menurut saya paling layak mendapat banyak pujian. Apalagi Hatching adalah film layar lebar pertamanya.

Sekarang mari kita bicarakan monster dalam film ini, Alli, seekor unggas raksasa yang aneh dan buas. Yang menarik di sini adalah bagaimana telur Alli akhirnya menetas setelah secara tidak sengaja terpapar darah dan air mata Tinja. Ini jelas merupakan petunjuk yang penting bahwa Alli adalah manifestasi kekecewaan batin dan amarah alam bawah Tinja. Secara teknis, desain Alli cukup menarik dan dibuat dengan penggabungan yang seimbang antara special effect tradisional prostetik, animatronik dan sedikit polesan CGI. Monster burung raksasa ini dirancang oleh Gustav Hoegen, seorang seniman special effect dan pakar animatronik yang sebelumnya bertanggung jawab atas makhluk-makhluk dalam trilogi sekuel Star Wars (7, 8, 9) dan Rogue One. Sebagai film horor, Hatching tidak benar-benar menyeramkan. Babak pertama film ini juga bisa jadi terasa terlalu aneh untuk beberapa penonton. Tapi saat kita sudah melewati babak satu dan mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi, Hatching menjadi tontonan yang cukup menarik dan menghibur. Hatching adalah film yang mengesankan sebagai sebuah debut dari sutradara Hanna Bergholm, dan saya akan menunggu film seperti apa lagi yang akan ia buat di masa mendatang.