HARBINGER DOWN
Sutradara: Alec Gillis
USA (2015)
Review oleh Tremor
Harbinger Down adalah sebuah film sci-fi horror independen berbajet rendah yang diproduksi oleh perusahaan special effect bernama Amalgamated Dynamics, Inc. Studio atau disingkat sebagai Studio ADI. Alec Gillis yang duduk di kursi sutradara sekaligus penulis naskah, serta Tom Woodruff Jr yang bersama dengan Gillis menjadi executive producer Harbinger Down, adalah duo veteran di bidang special effect (SFX) tradisional dan prostetik dengan pengalaman serta segudang portfolio luar biasa dalam industri film selama puluhan tahun terakhir. Sebelum mereka berdua mendirikan studio ADI pada tahun 1988, Gillis dan Woodruff sudah sama-sama bekerja di studio SFX legendaris milik Stan Winston dan ikut menggarap creature / monster SFX seperti Aliens (1986), The Monster Squad (1987), hingga Leviathan (1989). Saat mendirikan studio ADI, mereka langsung kebanjiran order dan dipercaya untuk menggarap SFX monster-monster ikonik dari mulai Tremors (1990), Alien 3 (1992), Starship Troopers (1997), Alien vs. Predator (2004), hingga yang terbaru Godzilla vs. Kong (2021).
Film Harbinger Down memiliki sejarah yang menarik. Pada tahun 2010 studio ADI dipercaya untuk mengerjakan SFX tradisional semua monster dalam film prequel The Thing (2011). Dari mulai konsep dan desain monster, model animatronik-nya, properti prostetik, hingga pengambilan gambar sudah mereka kerjakan. Namun, secara mengejutkan para petinggi rumah produksi yang membuat The Thing 2011 mengambil keputusan bodoh yang cukup kontroversial pada menit-menit terakhir: mereka mengganti hampir semua kerja keras studio ADI dengan efek CGI yang buruk dalam tahap pos-produksi. Sejauh yang saya ketahui dari beberapa video wawancara dan diskusi di channel youtube Studio ADI, sebagian pekerja Studio Adi bahkan tidak tahu kalau jerih payah mereka diganti dengan CGI (yang sangat buruk) begitu saja, sampai akhirnya mereka melihatnya sendiri dalam premier The Thing 2011. Tentu saja ini merupakan kejutan yang tidak menyenangkan. Kerja keras dan keringat semua crew studio ADI selama berbulan-bulan menjadi sia-sia. Setelah film The Thing 2011 dirilis, mereka menerima banyak kritik tentang buruknya efek CGI serta minimnya penggunaan SFX tradisional dalam The Thing 2011. Penggemar horror manapun pasti tahu kalau nyawa utama dari film creature horror seperti The Thing adalah SFX tradisional-nya. Namun penggunaan CGI jelas bukan kesalahan Studio ADI, karena keputusan itu bukan ada di tangan mereka. Merespon hal tersebut sambil menjaga kredibilitasnya, Studio ADI segera merilis banyak footage behind the scene berisi semua SFX tradisional dari The Thing 2011 di channel youtube mereka. Rekaman-rekaman ini menunjukkan bahwa mereka membuat semua SFX tradisionalnya dengan effort yang luar biasa, sangat serius dan mendetail, dan tidak sepantasnya digantikan oleh CGI murahan begitu saja. Para penggemar horror semakin kecewa dengan film The Thing 2011 dan mulai menanggapi footage-footage studio ADI dengan dukungan positif. Kalau kalian penasaran, kalian bisa cari banyak footage uji coba properti dan behind the scene The Thing 2011 (dan film-film lainnya) dalam channel YouTube studio ADI. Saya pribadi lebih sering menonton ulang semua footage ini, dibandingkan film The Thing 2011 itu sendiri.
Pada tahun 2013, studio ADI akhirnya memulai sebuah kampanye pengumpulan dana di website Kickstarter untuk membuat film di mana mereka bisa menampilkan sisa-sisa properti hasil kerja keras mereka untuk The Thing 2011. Pengumpulan dana tersebut mendapat dukungan dari banyak penggemar SFX tradisional di seluruh dunia yang sama-sama kecewa dengan keputusan penggunaan CGI dalam The Thing 2011. Apalagi semua tahu bahwa Studio ADI adalah studio SFX yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya dalam membuat creature. Akhirnya dana terkumpul, dan film Harbinger Down pun dibuat dengan tujuan utama, yaitu sebagai ajang showcase karya SFX studio Adi. Konsep dasar inilah yang akhirnya harus mengorbankan kualitas film ini secara keseluruhan. Sepertinya plot dalam film ini menjadi tidak terlalu penting bagi mereka, karena keterbatasan bajet yang mereka miliki tidak memungkinkan untuk mempekerjakan penulis dan sutradara profesional. Toh mereka hanya ingin mempertontonkan bagaimana SFX tradisional diterapkan. Itulah mengapa pada akhirnya Alec Gillis harus duduk di kursi sutradara sekaligus penulis tanpa punya pengalaman sebelumnya. Walaupun plot film ini sebenarnya tidak begitu penting, dan tidak ada hal baru di dalamnya, tapi saya tetap perlu menuliskannya sesingkat mungkin.
Pada 25 Juni 1982 (ini adalah tanggal dimana film The Thing karya John Carpenter pertama kali dirilis di Amerika), sebuah kapal luar angkasa berawak satu milik Rusia mengalami kecelakaan dan jatuh ke bumi ke daerah kutub utara. Pada tahun 2015, kita diperkenalkan dengan kapal penangkap kepiting bernama Harbinger yang dipimpin oleh kapten Graff. Perjalanan Harbinger kali ini tidak seperti biasanya, karena atas izin sang Kapten, cucu perempuannya yang bernama Saddie ikut menumpang Harbinger. Saddie adalah seorang mahasiswi kelautan yang sedang melakukan penelitian efek pemanasan global dengan cara pemantauan migrasi paus. Ia membawa serta seorang kawan dan dosennya dalam penelitian ini. Saat sedang memantau pergerakan paus dengan peralatan canggihnya, Saddie melihat sebuah lampu SOS berkedap kedip di dalam bongkahan besar es yang mengambang. Kapten Graff memerintahkan anak buahnya untuk menjaring bongkahan es itu. Karena penasaran mereka pun membelah bongkahan es yang kelihatannya sudah lama sekali terombang ambing di lautan kutub itu. Rupanya objek yang membeku dalam bongkahan tersebut adalah sebuah kapsul luar angkasa yang berisi mayat seorang astronot Rusia dalam keadaan utuh. Ketegangan pun terjadi di antara mereka. Sang kapten memutuskan untuk menyerahkan penemuan pada pihak berwenang nanti saat sudah kembali ke daratan. Tetapi dosen Saddie ingin mengklaim penemuan tersebut sebagai miliknya. Setelah berdebat dengan profesor dan menyatakan bahwa Saddie lah yang pertama kali menemukan kapsul tersebut, Kapten Graff akhirnya memerintahkan awak kapalnya untuk memindahkan kapsul luar angkasa tersebut ke lambung kapal, tempat mereka biasa menyimpan tangkapan kepiting. Dan tidak seorang pun yang boleh menyentuhnya hingga mereka tiba di daratan dan menyerahkan temuan tersebut pada pihak berwenang. Namun kapal Harbinger harus sabar menunggu, karena kini mereka terjebak di lautan yang membeku dan harus menunggu hingga lempengan-lempengan es di permukaan laut terpecah.
Suatu malam, Sadie diam-diam menyelinap dan mengambil sampel dari mayat astronot Rusia yang membeku tersebut. Sayangnya, tanpa Saddie sadari, tindakannya ini ikut membebaskan sebuah organisme hasil mutasi yang selama ini turut membeku di dalam tubuh sang astronot Rusia. Organisme berlendir ini adalah parasit yang menggunakan tubuh spesies apapun yang ia temui sebagai sumber makanan sekaligus inangnya. Ia juga mampu berubah wujud dari cair menjadi padat, dan kembali cair, dan mampu meniru (dengan tidak sempurna) wujud spesies apa pun yang kode DNA-nya pernah ia lumat. Terjebak di lautan kutub yang membeku, kini semua penumpang Harbinger harus bertahan hidup dari ancaman organisme ganas yang secara bertahap mulai melumat satu persatu awak kapal.
Seperti sudah saya tulis sebelumnya, misi film Harbinger Down sejak awal adalah sebagai wadah untuk mengatasi kekecewaan Studio ADI atas perlakuan buruk yang mereka terima dari rumah produksi The Thing 2011, sekaligus sebagai pengingat pada dunia bahwa SFX tradisional masih merupakan opsi terbaik dalam menciptakan kengerian otentik. Sayangnya, karena minimnya dana yang mereka miliki, film Harbinger Down tidak berhasil melakukan misinya tersebut, dan film ini akhirnya menjadi cukup mengecewakan di banyak aspek. Harbinger Down layaknya versi super murah dari film creature horror klasik seperti The Thing (1982) dan Alien (1979). Mirip dengan kedua film tersebut juga, Harbinger Down menggunakan set yang gelap dan claustrophobic di mana para karakternya terperangkap bersama dengan monster mengerikan dalam ruang yang terbatas, dan tanpa tempat untuk bersembunyi, dengan banyak sekali homage atas The Thing buatan John Carpenter di sana sini. Alec Gillis memang merupakan seorang jenius dalam hal SFX tradisional, tapi sepertinya ia sama sekali tidak tertarik untuk menjadi penulis cerita dan sutradara. Plot klise dalam Harbinger Down sangat tidak meyakinkan dan dipenuhi banyak kecacatan logika. Satu-satunya hal yang menarik dari plot Harbinger Down adalah pengungkapan bahwa organisme yang meneror Harbinger bukanlah makhluk luar angkasa seperti dalam The Thing, melainkan hasil eksperimen Rusia semasa perang dingin untuk membuat astronot mereka lebih tahan terhadap radiasi kosmik, dengan hasil akhir yang menyeramkan.
Selain tidak adanya effort pada penulisan cerita, para aktor Harbinger Down juga berperan dengan sangat buruk, membuat penonton menjadi tidak peduli tentang siapa yang akan dilumat dan siapa yang akan bertahan hidup, dengan pengecualian pada aktor veteran Lance Henriksen. Ia adalah satu-satunya aktor yang memiliki jam terbang tinggi dalam film ini dan sudah tidak asing lagi bagi para penggemar sci-fi / horror. Selain itu, Harbinger Down juga dipenuhi dengan dialog picisan, ditambah lagi sinematografi dan editing yang seringkali membingungkan penonton. Jadi, Harbinger Down memiliki cerita, dialog, editing, sinematografi dan akting yang buruk. Lalu apakah SFX nya bagus? Sayangnya, tidak sesuai harapan. Sebagai film yang memiliki tujuan utama untuk menampilkan kekuatan SFX tradisional, Harbinger Down jelas gagal memperlihatkan tingkat kualitas maksimal yang diharapkan dari nama besar Studio ADI. Mungkin ini adalah konsekuensi tak terhidarkan dari tingginya ambisi yang dibatasi oleh minimnya bajet. Belum lagi mereka masih harus membayar para aktor pemula, dan mungkin bajet untuk membayar Lance Henriksen sebagai pemanis film juga cukup tinggi. Hasilnya, detail monster dalam Harbinger Down tidak terlihat cukup jelas, dan tentu saja ini bisa mengecewakan banyak penggemar horror yang sudah terlanjur menaruh harapan tinggi karena Studio ADI adalah veteran kelas berat dalam industri SFX film-film monster. Seandainya saja film ini mendapat lebih banyak bajet, saya yakin mereka sanggup membayar penulis dan sutradara berpengalaman, dan pastinya sangat mampu menampilkan monster mengerikan dengan maksimal. Kalian yang sering membaca review-review yang pernah saya tulis tentu tahu betul kalau saya adalah penggemar berat SFX tradisional / efek praktikal, penggunaan animatronik serta make-up prostetik dalam film horror dan sci-fi. Jadi, walaupun Harbinger Down bukanlah film yang bagus dan saya harapkan dari Studio ADI, tapi saya pribadi tetap bisa menikmati film ini. Toh saya tidak mencari plot brilian, dan untungnya masih ada beberapa moment fun juga dalam film ini. Hanya saja, saya berharap bisa melihat lebih banyak adegan yang melibatkan organisme mutan ala The Thing dengan cukup detail dengan durasi yang lebih lama. Harbinger Down adalah contoh unik tentang bagaimana sebuah proyek bisa dibangun berdasarkan mimpi, passion, ambisi, serta kecintaan terhadap SFX tradisional dalam kultur horror. Saya yakin seluruh crew Studio ADI cukup bersenang-senang saat mengerjakan proyek ini.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com