DON’T LISTEN / VOCES
Sutradara: Ángel Gómez Hernández
Spanyol (2020)
Review oleh Tremor
Don’t Listen, atau yang dalam bahasa aslinya berjudul Voces, adalah sebuah film horor / thriller supranatural berbahasa Spanyol, debut film fitur dari sutradara Ángel Gómez Hernández. Sebelum membuat Don’t Listen, Hernández lebih banyak membuat film-film pendek sejak tahun 2006. Don’t Listen sendiri ia tulis bersama dua penulis lainnya yaitu Santiago Díaz dan Víctor Gado. Saya pribadi tidak menaruh ekspektasi apapun pada Don’t Listen karena saya memilih menonton film ini secara random, tanpa pernah mendengar tentang film ini sebelumnya. Seperti biasa, menonton dengan cara seperti itu seringkali memberi saya kejutan. Ada kejutan yang membuat saya menyesali waktu yang terbuang, dan ada yang tidak. Untungnya dalam kasus Don’t Listen, saya tidak merasa kalau waktu saya terbuang percuma. Meskipun Don’t Listen adalah film horor supranatural dengan tema rumah berhantu klise seperti pada umumnya, tetapi saya berhasil dibuat penasaran hingga film berakhir, dan pada akhirnya saya terhibur.
Pasangan muda Daniel dan Sara beserta putra mereka yang baru berumur sembilan tahun bernama Eric, baru saja pindah ke rumah baru. Rumah ini adalah bangunan tua, dan Daniel berencana untuk memugarnya agar bisa ia jual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Sejak pindah ke rumah tersebut, Eric merasa kalau ia mendengar suara-suara yang berkomunikasi dengannya lewat walkie talkie. Ia yakin kalau itu adalah suara ayahnya, karena mereka memang sering berkomunikasi menggunakan walkie talkie ketika Daniel sibuk bekerja merenovasi rumah tua tersebut. Kita semua pernah mendengar plot semacam ini dalam banyak film bertemakan rumah berhantu. Sampai di titik ini, saya pikir saya tahu ke mana arah cerita ini akan berjalan. Namun saya salah, dan saya suka kejutan yang membuktikan kalau saya salah. Tak butuh waktu lama sejak film dimulai, sebuah kejadian tragis terjadi. Erik yang saya duga akan menjadi korban teror atau mungkin juga kerasukan menjadi evil kid, tiba-tiba ditemukan meninggal secara mengenaskan. Setelah tragedi tersebut, kini giliran Daniel yang mulai mendengar suara-suara juga, tepatnya suara-suara Erik yang meminta pertolongannya. Penonton tentu tahu bahwa suara-suara itu adalah suara setan yang berpura-pura menjadi Erik. Namun Daniel yakin bahwa itu benar-benar suara anaknya. Dibayang-bayangi rasa duka yang mendalam, perasaan bersalah, dan keinginan untuk “menyelamatkan” Erik, Daniel meminta bantuan seorang investigator paranormal bernama Germán Redondo untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah mereka dan dari mana suara-suara itu berasal. Lelaki tua itu pun setuju untuk membantu Daniel. Ia datang bersama anak perempuannya yang bernama Ruth. Setibanya di sana, Ruth segera memasang berbagai perlengkapan canggih untuk merekam semua kejadian dan suara supranatural dalam rumah tua itu. Seiring berjalannya cerita, semakin jelas bahwa ada kekuatan gelap yang mendiami rumah tersebut, rumah yang oleh para tetangga dijuluki “the house of the voices”. Seluruh penghuni rumah itu kini berada dalam bahaya besar karena siapapun yang ada di dalamnya bisa dengan mudah dipengaruhi oleh suara-suara mistis yang mereka dengar. Ini semua mengarah ke lebih banyak kejadian mengerikan serta kematian, hingga akhirnya Germán dan Ruth mengungkap lebih banyak sejarah rumah itu yang rupanya berkaitan dengan periode gelap dalam sejarah Spanyol.
Tidak ada hal baru dalam premis dasar Don’t Listen. Kita semua pernah mendengar ide tentang satu keluarga pindah ke rumah tua hanya untuk mengalami gangguan-gangguan supranatural. Kisah rumah berhantu yang dibumbui investigasi juga bukanlah hal baru. Tapi setidaknya bumbu investigasi ini yang membuat saya terus menonton hingga selesai. Saya cukup mengapresiasi film ini karena sumber kengeriannya tidak melulu bermodalkan jump scare murahan. Setidaknya sutradara Hernández mampu menciptakan atmosfer menakutkan dari setiap sudut rumah tua, dan itu adalah poin yang juga penting untuk sebuah film horor. Siapapun tentu bisa mengaget-ngagetkan penonton. Mungkin cukup dengan sound effect yang muncul secara tiba-tiba dengan volume keras, dilengkapi dengan kemunculan sosok yang juga secara tiba-tiba. Tapi menciptakan sebuah atmosfer dalam film tentu bukan perkara mudah. Hal lain yang saya apresiasi dari film ini juga adalah penggunaan special makeup effect tradisional yang lebih dominan dibandingkan penggunaan CGI. Hasilnya adalah wajah seram hantu dan beberapa adegan berdarahnya terasa lebih realistis. Saya juga menyukai pace film ini yang tidak terlalu lamban. Mungkin hanya butuh pengantar selama 10 menit pertama saja hingga sesuatu yang mengenaskan mulai terjadi dalam film ini, membuat Don’t Listen berpotensi menarik sejak awal. Selain itu, saya menyukai konklusi serta bagaimana film ini diakhiri, meskipun memang terasa sangat terburu-buru dan pengungkapannya terasa agak dipaksakan menggunakan flashback serta gambar-gambar tangan anak kecil. Sebagai orang awam, saya selalu berasumsi bahwa pengungkapan menggunakan flashback adalah usaha terakhir bagi penulis yang menemukan jalan buntu tentang bagaimana cara mengungkapkan sebuah misteri pada para penonton.
Don’t Listen juga memiliki banyak kekurangan lain, diantaranya adalah terlalu banyak hal-hal klise di dalamnya seperti pada umumnya film dalam genre ini, begitu juga dengan banyaknya plot hole. Dalam beberapa hal, plot dasar film ini juga mengingatkan saya pada Insidious (2010) dalam versi yang tidak sebagus itu. Namun ada yang menarik dari karakter investigator paranormal Germán dan Ruth. Saya menduga ada usaha untuk menjadikan keduanya sebagai karakter sentral kalau-kalau suatu hari Ángel Gómez Hernández ingin membuat franchise supranatural-nya sendiri yang bergantung pada keberhasilan Don’t Listen. Dugaan tersebut terlintas di kepala saya setelah menyaksikan satu scene tambahan yang baru muncul pada akhir credit film. Pasangan investigator Germán dan Ruth yang berpotensi menjadi karakter sentral ini tentu mengingatkan saya pada karakter Ed dan Lorraine Warren, pasangan investigator paranormal dari universe-nya The Conjuring. Bedanya, Ed dan Lorraine adalah suami istri, sementara Germán dan Ruth adalah ayah dan anak. Jadi, mungkin saja Hernández memang ingin membuat universe ala The Conjuring dalam versi Spanyol. Secara keseluruhan Don’t Listen adalah film fitur supranatural yang berhasil membuat saya tetap menonton hingga selesai, dan saya tidak kecewa. Intensitas jumpscare-nya tidak menjengkelkan dan atmosfer spooky-nya juga cukup bagus. Untuk ukuran sebuah film debut, saya pikir Hernández bisa menjadi sutradara film horor yang menjanjikan. Film semacam ini tentu bisa memuaskan para penggemar film hantu pada umumnya, terutama bagi para penggemar film-film horor hantu ala James Wan ataupun Joko Anwar.