DAWN OF THE DEAD
Sutradara: George A. Romero
USA (1978)
Review oleh Tremor
Sepuluh tahun setelah merilis sebuah film yang kemudian dikenal sebagai titik lahirnya genre horror zombie modern dan zombie apocalypse berjudul Night of the Living Dead (1968), sutradara / penulis George A. Romero akhirnya membuat sekuel yang tak kalah penting dalam sejarah sinema zombie, yaitu Dawn of the Dead. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa judul sekuel yang paling logis untuk “Night of the Living Dead” seharusnya adalah “Dawn of the Living Dead.” Namun ada cerita di balik keputusan mengapa tidak ada kata “Living” dalam sekuel ini. George Romero tidak menulis Night of the Living Dead seorang diri, melainkan bersama penulis naskah lainnya, John A. Russo. Setelah Night of the Living Dead meledak di pasaran, Romero dan Russo memutuskan untuk berpisah jalan dan melanjutkan kanon zombie mereka masing-masing. Perpecahan ini tentu berdampak pada hak penggunaan judul, dan mungkin jalan tengahnya adalah Romero menggunakan “The Dead” dan Russo menggunakan “The Living Dead”. Russo sendiri baru membuat film zombie lagi tujuh belas tahun setelah Night of The Living Dead, yaitu The Return of the Living Dead (1985) yang sebelumnya pernah saya tulis reviewnya juga. Saya pribadi cukup mensyukuri perpecahan antara Romero dan Russo, karena kalau saja mereka terus bersama, mungkin kita tidak akan pernah mengenal The Return of the Living Dead yang juga merupakan salah satu film zombie favorit saya.
Kembali pada Romero, lahirnya Dawn of the Dead semakin mengukuhkan namanya sebagai bapak zombie modern. Bisa dibilang, semua lore zombie modern dalam budaya populer yang ada hingga hari ini, dari mulai film, video game hingga komik, tidak akan pernah lahir tanpa adanya tiga film zombie pertama buatan Romero, yang sempat disebut sebagai Trilogy of the Dead dengan Day of the Dead (1985) sebagai film ke-tiga-nya. Ada dua versi dengan hasil editing yang berbeda dari Dawn of the Dead, yaitu versi teaterikal Amerika dan versi distribusi Eropa. Dalam versi Eropa, sutradara horror legendaris asal Italia Dario Argento mengedit ulang film ini, menghilangkan sebagian sequence komedinya, memasukkan lebih banyak musik, dan memberi judul baru pada film ini, yaitu Zombi. Sungguh menyenangkan mengetahui bagaimana kedua sutradara horror legendaris ini saling bekerja sama dan saling melibatkan satu sama lain. Di balik itu semua, Dario Argento sendiri adalah seorang penggemar karya-karya George Romero, dan begitu juga sebaliknya. Ketika Argento mendengar bahwa Romero berencana untuk membuat sekuel Night of the Living Dead, ia mengundang Romero untuk datang ke Roma agar bisa menulis naskah Dawn of the Dead tanpa gangguan. Argento juga menawarkan diri untuk mengisi sebagian besar soundtrack Dawn of the Dead bersama band progressive rock langganannya yaitu Goblin. Tak hanya itu, Argento bahkan ikut membantu Romero mencari tambahan dana untuk produksi Dawn of the Dead. Sebagai timbal balik, Argento menerima hak mengedit ulang Dawn of the Dead untuk pasar eropa.
Kisah dalam Dawn of The Dead dibuka ketika zombie apocalypse baru dimulai. Di tengah kekacauan ini, banyak orang berusaha melarikan diri dari kota-kota besar untuk mencari tempat yang lebih aman dari ancaman zombie. Diantaranya adalah seorang pilot helikopter dan kekasihnya, serta dua anggota SWAT. Dalam usaha pelarian ini, bahan bakar helikopter yang mereka gunakan semakin menipis hingga mereka menemukan sebuah bangunan mall di pinggiran kota terpencil. Mereka pun memutuskan untuk mendarat pada atap bangunan dan masuk ke dalam mall lewat sebuah jendela ruangan penyimpanan. Setelah memeriksa seisi bangunan mall yang dipenuhi zombie, mereka menemukan bahwa semua toko beserta isinya masih utuh. Tentu saja ini adalah tempat berlindung yang sangat ideal, karena semua yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup ada di dalamnya. Akhirnya mereka menutup setiap akses masuk, menyingkirkan sisa zombie di dalam mall, dan mulai hidup di sana sambil terus memantau perkembangan berita di TV. Namun mereka sadar betul, cepat atau lambat para scavanger akan menemukan mall ini dan mencoba merebutnya dari tangan mereka.
Berbeda dengan Night of the Living Dead, cerita dalam Dawn of The Dead memiliki struktur yang lebih berkembang dan mengalir, dimulai dari suasana kepanikan kiamat zombie yang mendorong banyak orang untuk melarikan diri, hingga ke suasana riang dan penuh perasaan senang ketika keempat karakter film ini seakan membuat seisi mall sebagai milik mereka sendiri, sebelum akhirnya memasuki babak terakhir yang penuh dengan keputusasaan ketika dunia kecil mereka harus runtuh karena datangnya gerombolan bandit bersenjata. Ironisnya, babak terakhir ini juga terasa cukup komikal karena Romero memberi sedikit bumbu komedi ketika para bandit menyerang. Meskipun ada beberapa adegan konyol, namun hadirnya para bandit scavanger ini merupakan tambahan plot yang bagus dan penting untuk menegaskan kemungkinan skenario paling realistis dalam setiap yang kisah post-apocalypse, yang kemudian menjadi tradisi umum dalam banyak film zombie apocalypse hingga hari ini: apa yang lebih berbahaya dari zombie adalah persaingan antar manusia penyintas yang egois dan bisa melakukan apapun terhadap manusia lainnya demi bertahan hidup. Apa yang menjadi plot serial The Walking Dead jelas sudah dituliskan lebih dulu oleh Dawn of The Dead sebagai blueprint-nya. Selain itu, Romero juga membungkus Dawn of the Dead sebagai sebuah bentuk komentar sosial tentang budaya konsumerisme, terutama di Amerika yang mana pada saat itu mall mulai menjadi trend tempat manusia modern menghabiskan sebagian besar waktu hidup mereka untuk berbelanja ataupun sekedar melihat-lihat di dalam mall. Ketika para bandit datang, mereka mulai menjarah benda-benda yang bahkan tidak berguna untuk bertahan hidup, dari mulai cawan-cawan perak hingga perhiasan emas. Ini mungkin menjadi simbol tentang keserakahan kebendaan di masyarakat yang egois. Selain itu, Romero menyajikan alasan mengapa mall kosong ini dipenuhi zombie meskipun tidak ada mangsa di sana adalah karena secara insting mereka kembali ke tempat-tempat yang pernah menjadi penting bagi mereka semasa hidupnya. Para zombie diperlihatkan hanya berjalan-jalan di dalam mall, seperti apa yang dilakukan oleh manusia pengunjung mall pada umumnya. Hal menarik lainnya adalah, sama seperti Night of the Living Dead, Romero kembali menggunakan pemeran kulit hitam sebagai karakter protagonis sekaligus pahlawannya, sesuatu yang sangat jarang ditemui dalam film Amerika di masa itu.
Tentu tidak sah membicarakan film zombie tanpa membahas desain zombie serta penggunaan special effect-nya, karena sudah jelas bagi para penggemar horror, special effect gore dan makeup zombie selalu menjadi daya tarik dari film zombie. Hal yang paling saya suka dari Dawn of the Dead adalah karakter zombie yang sangat beragam, dan mungkin film ini adalah yang pertama melakukannya. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa setiap zombie dalam Dawn of the Dead memiliki identitas khas yang menggambarkan siapa mereka di masa hidupnya, dari mulai redneck, biarawati hingga pendeta buddhist. Namun daya tarik terbesar film ini ada pada special effect dan makeup zombie yang dikerjakan oleh seniman practical special effect gore legendaris, Tom Savini. Para penggemar horor tentu sudah tidak asing dengan nama Tom Savini, seorang seniman jenius yang bertanggung jawab atas special effect di semua adegan gore fenomenal dan realistis dalam film-film horror 80an dari mulai Friday the 13th (1980), Maniac (1980), The Prowler (1981), Creepshow (1982), hingga karya special effect nya semakin menggila dalam Day of the Dead (1985). Namun, seberapapun realistis dan mengerikan karya practical special effect Tom Savini, Dawn of the Dead bukanlah karya terbaiknya. Savini sendiri bahkan mengakui bahwa ia sedikit gagal dalam film ini terutama dalam pemilihan warna kulit zombie yang terlihat terlalu biru, serta warna darah yang terlihat tidak realistis. Dalam beberapa bagian juga kita bisa melihat prostetik yang ia gunakan tampak palsu. Masalahnya, George Romero menyukai kualitas tersebut karena ia memang ingin setiap adegan gore dalam Dawn of the Dead terlihat komikal. Seburuk-buruknya special effect Savini dalam Dawn of the Dead, film ini tetap jauh lebih penuh darah dan isi perut dibandingkan Night of the Living Dead, dengan adegan-adegan gore yang bisa dibilang cukup ekstrim bagi para penonton di tahun 1978.
Memperbandingkan mana yang lebih bagus antara Dawn of the Dead dengan Night of the Living Dead adalah hal yang sangat tidak perlu untuk dilakukan, karena keduanya merupakan dua produk film yang sangat berbeda satu sama lain. Kalau Night adalah kisah yang sangat suram dan tragis dengan visual mencekam yang sangat atmosferik, Dawn adalah film yang terasa jauh lebih komikal dan menghibur. Bahkan setiap adegan berdarahnya terasa fun. Keduanya merupakan film zombie yang bagus dengan caranya masing-masing. Namun Dawn of the Dead tetap memiliki beberapa masalah, terutama bagi penonton modern. Hal yang paling tidak saya suka dari Dawn of the Dead adalah bagaimana Romero memperlakukan satu-satunya protagonis perempuan dalam film ini, yaitu Fran Parker yang seringkali digambarkan tidak berdaya dan tidak berguna. Penulisan karakter Fran memang sedikit lebih baik dibandingkan dengan bagaimana Romero memperlakukan karakter Barbra dalam Night of the Living Dead, di mana Barbra digambarkan benar-benar pasif di sepanjang film. Yang membedakannya dengan Barbra adalah, Fran jauh lebih cerdas, berani dan memiliki inisiatif tinggi meskipun para karakter laki-laki selalu menganggapnya lemah dan tidak pernah melibatkannya dalam setiap aksi. Fran harus terus menunggu di ruangan tempat persembunyian mereka, meskipun pada dasarnya ia memiliki keinginan besar untuk ikut bekerja sama secara aktif. Fran bahkan bersikeras pada kekasihnya untuk mau mengajarkannya cara menerbangkan helikopter. Dalam salah satu adegan, Fran juga sempat marah dan menuntut untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan bersama, meskipun pada akhirnya ia tetap tidak dilibatkan. Namun adegan yang paling mengesalkan bagi saya adalah ketika kita tahu Fran tengah hamil dan dua karakter laki-laki memperdebatkan tentang perlu tidaknya menggugurkan kandungannya tanpa bertanya pada Fran. Untungnya Fran tidak digambarkan sebagai perempuan yang penuh ketertundukan karena pada dasarnya ia juga jengkel dengan hal tersebut. Mungkin, hal-hal semacam ini masih dianggap lumrah bagi masyarakat Amerika pada akhir tahun 70-an. Bagaimanapun, terlepas dari semua kekurangannya, Dawn of the Dead tetaplah film zombie yang penting dan sangat layak untuk ditonton ulang karena film ini telah menjadi salah satu pilar yang ikut berjasa dalam terciptanya genre zombie modern hari ini.