MOVIE REVIEW: DANIEL ISN’T REAL (2019)

DANIEL ISN’T REAL
Sutradara: Adam Egypt Mortimer

USA (2019)

Review oleh Tremor

Daniel Isn’t Real adalah sebuah film thriller psikologis dengan campuran elemen horor yang penuh kejutan. Film ini diadaptasi dari novel berjudul “In This Way I Was Saved” yang ditulis oleh Brian DeLeeuw pada tahun 2009. Ia juga ikut menulis skenario film ini bersama dengan sang sutradara, Adam Egypt Mortimer. Mungkin kita berpikir kalau judul film ini sudah cukup memberi kita petunjuk tentang jalan ceritanya. Saya pun berpikir demikian sebelum menontonnya, dan ternyata saya salah.

Film ini dibuka dengan sebuah adegan penembakan massal dimana seorang pria muda bersenjatakan shotgun memasuki kedai kopi dan menembaki semua orang yang ada di dalam sana. Untuk menutup aksinya, pria tersebut melepas tembakan ke kepalanya sendiri. Luke yang berusia 5 tahun kebetulan sedang berkeliaran di sekitar situ, sementara orang tuanya bertengkar hebat di rumahnya karena ibunya menolak pengobatan walaupun memiliki penyakit mental serius. Setelah polisi datang dan memasang garis polisi, banyak orang penasaran mulai berkumpul di depan TKP usai penembakan massal di kedai kopi, termasuk Luke. Saat itulah seorang anak kecil lain muncul di samping Luke, mengajaknya berkenalan. Namanya Daniel. Mereka segera berteman dan bermain di taman terdekat hingga akhirnya Daniel mengikuti Luke pulang ke rumah. Seperti yang judul film ini nyatakan, Daniel hanya dapat dilihat dan didengar oleh Luke seorang. Ibu Luke yang bernama Claire menganggap teman khayalan adalah hal yang wajar untuk seorang anak berumur 5 tahun. Apalagi Luke sangat kesepian dan tidak memiliki teman di dunia nyata selain boneka beruangnya, Wilbur. Claire pikir itu bukanlah hal yang membahayakan. Opininya berubah saat Luke nyaris meracuni Claire. Luke mengaku kepada Claire bahwa itu adalah ide Daniel. Menangani situasi ini sebagai orangtua, Claire memaksa Luke untuk mengunci teman khayalannya di dalam rumah boneka peninggalan nenek Luke. Claire menggunakan imajinasi Luke menjadikan rumah boneka sebagai penjara mental untuk Daniel, dan cara ini berhasil. Daniel tidak pernah muncul lagi dalam kehidupannya untuk sementara.

Beberapa tahun kemudian kita kembali menjumpai Luke yang kini sudah bertumbuh remaja. Ia adalah seorang mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi dan sudah tidak tinggal dengan Claire. Namun Luke merasa bertanggung jawab atas hidup Claire yang secara mental semakin memburuk sejak perceraiannya dengan ayah Luke. Suatu hari Luke pergi berkunjung ke rumah ibunya yang kini hidup seorang diri. Di sana ia menemukan bahwa Claire yang menderita skizofrenia paranoid masih menolak pengobatan dan tidak percaya dengan dokter. Luke memutuskan menginap agar bisa menemani Claire. Malam itu juga Luke melihat rumah boneka milik neneknya lagi, dengan pintu yang masih terkunci rapat. Bernostalgia dengan kehidupannya saat masih balita, Luke membuka kunci pintu rumah boneka tersebut.

Tak lama kemudian Claire melakukan usaha bunuh diri. Luke panik dan mencoba untuk mencegahnya. Saat itulah sosok Daniel yang telah terbebas dari penjaranya kembali hadir di dekat Luke. Daniel yang kini juga sudah tampak dewasa memberi instruksi pada Luke bagaimana agar Claire berhenti mencoba bunuh diri. Luke mengikuti saran Daniel dan ia berhasil mencegah Claire melukai diri sendiri. Mulai dari sini, Daniel kembali menjadi bagian dari kehidupan Luke, dan mereka berdua tampak seperti sepasang sahabat karib. Daniel selalu meyakinkan Luke bahwa ia membutuhkan bantuannya dalam menjalani hidup dan kepercayaan Luke pada Daniel semakin meningkat. Daniel mampu mendorong rasa percaya diri pada Luke yang awalnya adalah seorang remaja pemalu dan pendiam. Daniel juga sering membantu Luke dalam berbagai hal, dari mulai ujian di kampus hingga membantunya berani mendekati lawan jenis. Salah satunya adalah Cassie, seorang gadis seniman yang ia kenal secara tidak sengaja di jalan.

Luke sangat menikmati kehadiran Daniel di sekitarnya. Namun, semakin hari Daniel semakin memperlihatkan sisi gelapnya. Daniel yang awalnya tampak suportif dan selalu menemani Luke mulai ingin mengambil alih kendali hidup Luke secara penuh. Luke mulai meragukan peran Daniel dan menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan hidupnya. Luke pun berpikir mungkin ia menderita skizofrenia seperti ibunya. Maka ia mulai menemui seorang terapis kampus. Segalanya segera menjadi semakin gelap setelah Daniel tahu bahwa Luke berniat menyingkirkan dirinya untuk kedua kalinya. Tapi kekuatan Daniel sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya. Bahkan obat-obatan yang diresepkan oleh terapisnya sama sekali tidak membuat Daniel pergi. Mencari bantuan menjadi sesuatu yang tidak mungkin karena Luke adalah satu-satunya yang dapat melihat Daniel. Hubungan Luke dengan Daniel akhirnya menempatkan orang-orang di sekitar Luke dan dirinya sendiri dalam bahaya. Luke harus mengatasi ketergantungannya pada Daniel, dan mengalahkan Daniel. Dalam perjuangannya inilah Luke dan kita sebagai penonton semakin mengenal tentang siapa Daniel sebenarnya, dan tidak ada satupun psikiater yang akan sanggup menyelamatkan Luke kecuali dirinya sendiri. Ketika kondisi mental Luke semakin hancur, cerita itu berubah menjadi jauh lebih menyeramkan dari yang kita prediksi sebelumnya.

Membaca judul film ini, maka wajar kalau kita menganggap bahwa ini adalah film psikologis tentang penyakit mental. Ada benarnya. Luke jelas memiliki teman imajiner yang penuh dominasi, dan ini sudah diperlihatkan sejak film ini dimulai. Tapi rupanya film ini lebih dari itu, karena ada kejutan menyeramkan yang memang sengaja disembunyikan oleh para pembuat film ini. Saya tidak akan membaginya di sini, karena tentu saja itu esensi dari kejutan. Saya hanya bisa memberi tahu bahwa Daniel Isn’t Real berkembang di luar subgenre spesifik. Film ini secara tiba-tiba melompat antara subgenre yang berbeda pada satu titik, tanpa peringatan. Kalau dua pertiga pertama dari film ini adalah Fight Club (1999) yang dicampur dengan American Psycho (2000), maka babak terakhirnya adalah Hellraiser. Bahkan karakter Daniel sendiri seperti perpaduan sempurna antara karakter Tyler Durden (Fight Club), dan Patrick Bateman (American Psycho).

Di satu sisi, film ini menunjukkan masalah psikologis manusia dengan cara yang sangat gelap. Tapi di sisi lain, film ini berubah menjadi film horror murni. Siapapun yang menyukai film-film drama tentang fase remaja, horror dan thriller psikologis, akan menikmatinya. Kalau kalian berminat pada horror psikologis yang memiliki twist menyenangkan, maka jelas kalian perlu melihat Daniel Isn’t Real.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com