MOVIE REVIEW: DADDY’S HEAD (2024)

DADDY’S HEAD
Sutradara: Benjamin Barfoot
UK (2024)

Review oleh Tremor

Daddy’s Head adalah sebuah film horror psikologis / supranatural beralur lambat yang ditulis sekaligus disutradarai oleh seorang pembuat film otodidak asal Inggris bernama Benjamin Barfoot. Lewat film ini, Barfoot mencoba mengeksplorasi tema tentang proses duka, kesedihan, trauma, hingga kesehatan mental, sebuah benang merah yang juga pernah dieksplorasi oleh film-film semacam Antichrist (2009), The Babadook (2014) dan Hereditary (2018). Daddy’s Head merupakan film kedua Barfoot yang sebelumnya pernah merilis debut penyutradaraannya, sebuah film horor komedi berjudul Double Date (2017). Penggunaan entitas supranatural dalam Daddy’s Head sebagai manifestasi dari emosi terpendam manusia juga bukanlah ide baru, tapi saya pikir Daddy’s Head cukup berhasil dalam mengolah ide ini, menghasilkan sebuah film dengan konsep yang terasa original lewat drama berlapis tentang emosi serta atmosfer menyeramkan.

Seorang arsitek kaya raya bernama James baru saja meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan. Ia meninggalkan seorang anak bernama Isaac yang masih kecil, serta istri James, ibu tiri Isaac yang bernama Laura. Ibu kandung Isaac sendiri sudah meninggal sejak lama. Isaac tidak pernah memiliki kedekatan dengan Laura, apalagi ikatan ibu dan anak. Sejak menikah dengan James, Laura juga bisa merasakan kalau Isaac sangat menjaga jarak dan menganggapnya sebagai orang asing dalam keluarga. Kebingungan dengan rasa kehilangannya setelah kematian mendadak ayahnya, kini Isaac yang menjadi sebatang kara harus melewati rasa duka hanya berdua saja dengan Laura yang asing baginya dalam sebuah rumah mewah di tengah hutan yang James bangun. Mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali satu sama lain. Dalam masa berkabung ini, Isaac semakin menutup diri dan mencari pelarian dukanya lewat video game, sementara Laura yang juga berduka sekaligus kebingungan bagaimana cara menjadi ibu lebih memilih alkohol sebagai pelariannya. Tanggung jawab besar untuk mengurus Isaac yang bersikap dingin semakin menambah tekanan batin bagi Laura. Situasi keluarga yang sedang berduka ini semakin buruk ketika suatu malam sesosok mahkluk misterius mulai menyusup ke dalam rumah mereka, bersembunyi di balik bayangan. Anehnya, wajah makhluk ini secara perlahan berangsur-angsur mulai menyerupai wajah James setiap kali ia mengunjungi Isaac.

Meskipun film ini menggunakan kejadian-kejadian aneh sekaligus menyeramkan yang semakin memuncak hingga babak terakhirnya, saya pikir fokus utama dari Daddy’s Head tetap ada pada eksplorasi mendalam tentang proses duka dan kehilangan serta dinamika rumit antara kedua karakter utamanya. Benjamin Barfoot menggali situasi tidak nyaman antara Isaac dan Laura, yang mana batin keduanya sedang sama-sama rapuh dan terluka. Idealnya, mereka saling menguatkan. Namun tidak adanya ikatan emosional antara keduanya membuat situasi semakin tidak baik-baik saja. Kematian James yang begitu mendadak dan di luar kendali menyisakan banyak emosi yang terpendam dan perlu diproses oleh Isaac dan Laura, dari mulai tidak terima, bingung, marah, sedih, hingga kecewa. Kematian tidak pernah mudah untuk diterima, terlebih lagi oleh mereka yang masih terlalu muda untuk memahami berbagai bentuk emosi yang hadir dalam proses berduka, seperti Isaac. Di sisi lain, Laura juga menghadapi kekacauan emosinya sendiri. Tak hanya ditinggal oleh suaminya, Laura kini harus mengasuh anak James yang tidak pernah memiliki ikatan dengannya. Yang lebih buruk lagi bagi Laura adalah bahwa ia sebenarnya tidak pernah menginginkan anak. Jadi, secara tidak langsung Daddy’s Head juga ikut mengeksplorasi ide tentang peran ibu karena bagaimanapun Laura tetap berusaha untuk mengisi peran sebagai orang tua meskipun itu membuat batinnya hancur. Di sebagian besar durasi Daddy’s Head, penonton bisa merasakan frustrasi yang menguasai Isaac dan Laura dengan cukup jelas. Kemunculan monster yang memiliki kemampuan meniru wajah dan suara James semakin memperburuk semuanya. Isaac yang masih belum menerima kematian ayahnya dengan mudah percaya bahwa James masih hidup meskipun kini wujudnya sudah berbeda. Sementara itu ibu tirinya terus mengacuhkan klaim Isaac, menganggapnya sebagai imajinasi anak kecil belaka. Tentu saja ini berpotensi memperlebar keretakan hubungan emosional mereka, sekaligus memperkuat pengaruh entitas jahat berwajah James pada Isaac yang sedang rapuh. Kemunculan mahkluk aneh ini menjadi tantangan bagi mereka untuk bisa bersatu dan saling menguatkan, atau sebaliknya, semakin saling membenci satu sama lain. Saya pikir usaha Benjamin Barfoot menceritakan gejolak emosional dalam dinamika hubungan yang rumit sebagai sebuah film monster adalah upaya yang cukup teliti dan patut diapresiasi.

Meskipun drama dalam Daddy’s Head cukup kuat, begitu juga dengan sequence-sequence horornya. Benjamin Barfoot membuat pilihan yang bijaksana dalam menampilkan makhluk ciptaannya secara bertahap. Awalnya kita hanya bisa melihatnya secara sekelibat, berwujud tidak jelas, berwarna hitam pekat dan bergerak sangat cepat. Wajahnya pun belum benar-benar terbentuk. Seiring berjalannya film, kita bisa melihat wajahnya sedikit demi sedikit. Sejak makhluk tersebut mulai berusaha mereplika wajah James, suasana semakin mencekam karena wajah monster ini sangatlah janggal. Kombinasi visualnya yang aneh serta suaranya yang mengerikan membuat Daddy’s Head menjadi film yang bisa jadi mengerikan bagi sebagian orang. Menurut saya, fitur yang paling kuat dari monster ini bukan hanya pada wujudnya yang janggal, tetapi juga pada atmosfer yang mengikuti setiap kali ia muncul. Benjamin Barfoot menciptakan makhluk yang terasa seperti diambil dari mimpi buruk seseorang, lengkap dengan suasananya.

Film ini sendiri tidak pernah menjelaskan secara gamblang dari mana datangnya makhluk tersebut, tetapi saya menduga ia adalah semacam alien shape-shifter yang secara kebetulan jatuh di bumi, dekat rumah mewah milik James. Apa yang menguatkan dugaan tersebut adalah sequence munculnya asap tebal di tengah hutan lebat lengkap dengan burung-burung beterbangan beberapa hari sebelum monster tersebut mulai muncul di dalam rumah. Mungkin sejak kedatangannya, alien ini juga sudah sering memantau Laura dan Isaac dari balik jendela rumah, lalu mencoba meng-copy wajah serta suara James berdasarkan foto serta video-video yang sering diputar ulang oleh Laura dalam dukanya. Saya cukup menyukai desain mahkluk ini. Suara yang dihasilkannya ketika ia berusaha berbicara dengan suara James terdengar aneh, seakan ia mencoba menemukan karakter suara dan intonasi yang tepat, tetapi tetap terdengar salah. Wajahnya juga tampak ganjil karena ia menyeringai dengan tatapan kosong, seakan berusaha menyerupai ekspresi James di dalam foto yang ia curi namun ia tak memahami konsep tentang senyuman. Apa yang paling saya suka dari Daddy’s Head adalah, monster yang muncul dalam film ini pada akhirnya bukanlah bagian dari gangguan mental salah satu karakternya, karena rasanya konsep tersebut sudah terlalu sering kita jumpai dalam banyak film horror. Monster dalam film ini nyata, ganas, menimbulkan korban jiwa, bisa dilukai, dan pada akhirnya tidak hanya dilihat oleh Isaac saja.

Selain itu sinematografi film ini juga cukup bagus, diperkuat oleh lokasi serta desain rumah buatan James yang indah. Saya suka dengan konsep rumah berjendela besar pada rumah itu karena ikut menciptakan kesan bahwa Isaac dan Laura tidak pernah aman. Mungkin mereka selalu diawasi oleh monster dari balik hutan. Sayang sekali ending film ini terasa sedikit lemah, mungkin karena saya sempat berekspektasi kalau film ini akan berakhir dengan gelap dan nihilistik. Secara keseluruhan, memang tidak ada hal baru dalam Daddy’s Head. Film ini tidak membuat gebrakan apapun atau merevolusi genrenya. Tetapi saya pikir para penggemar horor psikologis / supernatural, horor drama atmosferik, serta penggemar creature akan menyukainya, selama mereka betah dengan tempo yang lambat dan tidak terlalu mengharapkan akan ada banyak adegan action di dalamnya.