fbpx

MOVIE REVIEW: BLACK SHEEP (2006)

BLACK SHEEP
Sutradara:
Jonathan King
New Zealand (2006)

Review oleh Tremor

Meskipun kadang memiliki gaya humor yang berbeda, namun negara New Zealand (NZ) banyak menghasilkan film-film horor komedi berkualitas yang sanggup menghibur secara internasional dari mulai Bad Taste (1987), Braindead (1992), The Frighteners (1996), Housebound (2014), What We Do in the Shadows (2014), hingga Deathgasm (2015). Black Sheep adalah salah satunya, sebuah film horor komedi debut dari penulis / sutradara Jonathan King. Lewat gaya komedi konyol dan banyaknya isi perut di dalamnya, saya menduga kalau Black Sheep sangat terinspirasi oleh pionir film horor komedi klasik asal NZ, yaitu Bad Taste (1987) dan Braindead (1992), di mana keduanya merupakan karya sutradara Peter Jackson jauh sebelum namanya meroket lewat trilogi The Lord of the Rings. Sutradara Jonathan King bahkan mempekerjakan sebagian seniman dari studio special effect Weta Digital yang didirikan oleh Peter Jackson untuk menciptakan monster dalam Black Sheep.

Kisah dalam Black Sheep berpusat pada dua bersaudara, Henry dan Angus Oldfield, anak dari seorang pengelola peternakan domba sukses di Selandia Baru. Saat masih kecil Angus pernah menakut-nakuti Henry dengan kulit domba. Angus memang sadis, karena bulu tersebut ia kuliti langsung dari seekor domba kesayangan Henry. Hal ini meninggalkan trauma mendalam pada Henry yang kemudian menderita phobia terhadap domba hingga ia dewasa. Setelah ayah mereka meninggal dalam kecelakaan yang ganjil, Angus yang kini sudah dewasa mengambil alih tanah luas beserta seluruh peternakan ayahnya. Sementara itu, Henry sudah lama pindah ke kota karena ketakutannya pada domba membuatnya tak sanggup melanjutkan pekerjaan ayahnya. Suatu hari Henry harus kembali ke tanah peternakan keluarganya untuk menjual bagian tanah warisannya pada Angus. Namun apa yang tidak Henry ketahui adalah bahwa Angus yang sejak kecil memang sudah psikopat telah membangun lab rahasia di area peternakan dan bekerja sama dengan beberapa ilmuwan untuk menciptakan domba super lewat rekayasa genetik. Keadaan menjadi kacau saat sepasang hippies pecinta hewan yang bernama Grant dan Experience menyelinap ke dalam peternakan untuk mencari bukti tentang proyek rekayasa genetik tersebut. Grant secara tidak sengaja melepaskan spesimen eksperimen mutan dari kontainernya. Dengan cepat mutan domba tersebut mulai menginfeksi ratusan domba lain yang segera ikut bermutasi dan mulai bernafsu untuk memangsa daging manusia. Gigitan domba-domba ini rupanya menginfeksi manusia juga dan para manusia yang terinfeksipun mulai berubah menjadi.. were-sheep, alias manusia domba. Kini Henry yang takut domba dan Experience seorang pecinta hewan harus mencegah agar infeksi zombie domba ini tidak menyebar keluar peternakan.

Absurd dan konyol? Tentu saja. Tapi justru plot aneh dan konyol inilah yang membuat Black Sheep begitu menarik dan sangat menghibur. Ini adalah film tentang zombie domba yang memang bertujuan untuk membuat penontonnya tertawa, jadi tidak perlu terlalu serius untuk menontonnya. Black Sheep memang bukanlah film pertama yang menampilkan hewan menggemaskan yang berubah menjadi haus darah. Film Night of the Lepus (1972) mungkin adalah yang pertama lewat kisah serangan kelinci-kelinci raksasa. Namun Black Sheep jelas jauh lebih menghibur. Penggunaan domba sebagai monster juga adalah hal yang pintar, karena domba atau biri-biri selalu memiliki kesan menggemaskan sekaligus konyol. Menjadikan domba sebagai pemangsa manusia yang brutal tentu sudah lebih dari cukup sebagai materi komedi yang kuat. Sutradara Jonathan King juga mengambil keputusan yang bijak saat ia tidak mengubah tampilan fisik domba-domba yang sudah terinfeksi sama sekali. Tidak ada taring yang tumbuh, tidak ada struktur tubuh yang berubah pada domba-domba zombie tersebut. Mereka tetap domba-domba berbulu tebal menggemaskan, dan menyaksikan mereka memangsa manusia tentu adalah hal yang konyol. Mengikuti jejak film Braindead (1992), hampir semua karakter dalam Black Sheep juga cukup konyol hingga ke tingkatan yang sengaja dilebih-lebihkan. Terutama Henry yang begitu takut terhadap domba, dan Experience yang sering berbicara tentang hal-hal spiritual khas hippies. Ia bahkan membawa-bawa lilin aroma terapi untuk menenangkan dirinya sendiri di tengah kejadian-kejadian menegangkan. Meskipun film ini cukup menghibur dengan lelucon noraknya, namun saya rasa pengalaman menonton Black Sheep akan jauh lebih lucu lagi bagi penduduk asli NZ, karena film ini dipenuhi dengan humor khas NZ dengan konteks yang cukup lokal. Perlu dicatat bahwa NZ adalah salah satu negara pengekspor domba terbesar di dunia, dan peternakan adalah bagian dari budaya NZ. Jadi konteks ke-lokal-an NZ jelas sangat terasa dalam film ini dan tidak menutup kemungkinan kalau kita banyak melewatkan lelucon yang mungkin hanya bisa dipahami oleh penduduk NZ.

Apa yang membuat film konyol ini efektif salah satunya berkat seriusnya semua orang yang bekerja di balik pembuatannya. Bahkan hal sekonyol were-sheep pun dikerjakan dengan sangat serius. Jangan lupa, domba-domba menggemaskan akan memangsa manusia dalam film ini, dan semua special effect gore-nya dikerjakan dengan cukup fantastis. Dari mulai domba zombie animatronik, kostum were-sheep, make-up prostetik yang luar biasa hingga tumpukan isi perut dan potongan tubuh. Semua special visual effect tradisional dalam Black Sheep dikerjakan oleh beberapa seniman dari dua perusahaan special effect ternama asal NZ, yaitu PRPVFX (Ash vs. Evil Dead, Evil Dead 2013, 30 Days of Night) dan Weta Digital (King Kong, LOTR, Van Helsing, dll). Meskipun dikerjakan secara tradisional, mereka tetap memberi sentuhan akhir dengan CGI minimalis dalam beberapa adegan, untungnya bukan jenis CGI yang terlalu mengganggu. Black Sheep mungkin bukanlah jenis film yang akan menjadi cult-classic di masa depan, dan bukan juga pelopor dalam hal apapun. Namun debut dari Jonathan King dengan premis sederhana dan konyol ini sangat berhasil menghibur penontonnya.