BEDEVILLED
Sutradara: Cheol-soo Jang
Korea Selatan (2010)
Review oleh Tremor
Film-film seperti Sympathy for Mr. Vengeance (2002), Oldboy (2003), Lady Vengeance (2005), The Chaser (2008), I Saw The Devil (2010), hingga Broken (2014), membuktikan bahwa Korea Selatan memang rajanya film-film bertema balas dendam, atau biasa disebut sebagai revenge cinema. Bedevilled adalah salah satunya. Film ini merupakan debut sutradara Chul-Soo Jang, dimana sebelumnya ia hanyalah seorang asisten dari sutradara Kim-Ki Duk dalam produksi film Samaritan Girl (2004). Sebagai sebuah film perdana, Bedevilled bisa dibilang sebagai film yang dieksekusi dengan sangat baik, lengkap dengan komentar sosialnya yang kuat tentang masyarakat yang misoginis. Sebelum terlalu jauh, saya merasa perlu untuk memperingatkan, film ini mengandung banyak trigger bagi para penyintas kekerasan dan pelecehan.
Saat film ini dimulai, kita diperkenalkan dengan karakter bernama Hae-won, seorang perempuan muda yang bekerja di bank di kota Seoul. Salah satu tugasnya adalah menghadapi orang-orang yang hendak mengajukan pinjaman. Ini adalah pekerjaan yang tepat bagi Hae-Won, karena ia berhati sangat dingin. Tak hanya tega menolak permohonan pinjaman seorang nenek tua, ia juga berhati dingin dalam kesehariannya. Suatu malam saat sedang mengendarai mobilnya, Hae-Won melihat dua pria sedang memukuli satu perempuan di pinggir jalan. Walaupun malam itu adalah malam yang ramai dengan para pejalan kaki dan pengendara mobil, tapi tak seorangpun yang peduli, termasuk Hae-WOn. Perempuan malang itu akhirnya berhasil melepaskan diri dan berlari menuju mobil Hae-Won sambil meminta pertolongan. Hae-won menutup kaca jendela mobilnya dan pergi begitu saja.
Kasus ini akhirnya ditangani polisi, dan Hae-Won diminta datang ke kantor polisi untuk menjadi saksi. Tapi ia lagi-lagi tidak ingin terlibat dan menolak untuk membuat pernyataan kesaksian. Dengan berat hati polisi melepas kedua tersangka karena kurangnya barang bukti. Seharusnya identitas Hae-Won sebagai saksi mata tidak diketahui oleh para pelaku, tapi ayah dari sang korban mendatangi Hae-Won sambil menangis histeris di luar kantor polisi. Ia mempertanyakan mengapa Hae-Won tidak mau membantu. Para pelaku yang kebetulan baru keluar dari kantor polisi pun melihat kejadian itu dan langsung mendatangi Hae-Won untuk mengintimidasinya. Sebenarnya, tanpa adanya kejadian ini pun tingkat stress Hae-Won sudah cukup tinggi. Bagaimana tidak, ia tinggal dan bekerja di kota besar yang terbukti individualistis, di tengah lingkungan kerja yang sangat kompetitif. Saat kembali ke tempat kerjanya, Hae-Won membuat keributan. Akhirnya boss Hae-Won memberinya cuti dan memintanya untuk pergi berlibur menenangkan pikiran.
Sebelumnya, Hae-Won kerap mendapat panggilan telepon dan banyak sekali surat dari sahabat karibnya di masa remaja, bernama Kim Bok-Nam, yang memintanya untuk datang berkunjung ke kampung halaman mereka di Pulau Mudo. Di pulau itulah Hae-Won pernah tumbuh hingga masa remaja sebelum akhirnya pindah ke Seoul lima belas tahun silam, sementara Bok-Nam yang kurang beruntung masih tinggal di sana sampai sekarang. Tapi Hae-Won selalu mengabaikan semua bentuk komunikasi dari Bok-Nam. Setelah merasa putus asa karena tekanan kehidupan kota besar, Hae-Won akhirnya memutuskan untuk memenuhi permintaan Bok-Nam dan pergi mengunjungi desa di pulau Mudo. Hae-Won berharap bisa mendapatkan ketenangan yang ia cari di sana. Bok-Nam sangat girang dengan kedatangan Hae-Won di pulau Mudo. Ia memperkenalkan sahabatnya tersebut pada penduduk desa, yang hampir semuanya tampak tidak bersahabat. Hae-won sekarang adalah seorang asing di dalam kampung halamannya sendiri, di tengah sebuah komunitas yang didominasi oleh orang-orang jahat, termasuk suami Bok-Nam yang kejam dan sangat kasar (bernama Man-jong) yang kerap memperkosa istrinya sendiri. Man-Jong juga sering memukuli Bok-Nam di depan semua orang karena hal-hal sepele. Ironisnya, para perempuan tua di desa tersebut malah melihat kekerasan ini sebagai kewajaran, seakan-akan sudah seharusnya seorang perempuan tunduk di bawah dominasi laki-laki, sekejam apapun itu. Hae-Won mulai menyadari betapa sengsaranya kehidupan Bok-Nam, namun ia tetap tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Sejak Hae-Won menginjakkan kaki di pulau Mudo, penonton akan mulai menyadari bahwa ternyata ia hanyalah sekedar karakter pendukung dalam film Bedevilled. Yang Hae-Won lakukan di sana hanyalah tidur sepanjang hari, berjalan-jalan, dan mengacuhkan segala bentuk pelecehan yang menimpa Bok-Nam sahabatnya, yang ironisnya ikut ia saksikan dalam beberapa kesempatan. Bedevilled adalah kisah tentang Bok-nam, dan kisah ini sama sekali tidak menyenangkan.
Bok-Nam memang selalu berusaha tampak ceria di depan Hae-Won, tetapi bukan berarti ia menikmati semua pelecehan yang ia alami. Suami Bok-nam yang bengis, saudara suaminya, dan para perempuan tua di desa itu, memperlakukan Bok-Nam layaknya budak, atau bahkan binatang. Ia dipaksa untuk terus bekerja kasar siang dan malam melebihi kesanggupan fisik dan mentalnya. Bok-Nam adalah korban tindakan-tindakan abusif yang dilakukan oleh hampir seluruh penduduk desa. Satu-satunya sumber kekuatan Bok-Nam adalah putri semata wayangnya, Yeon-Hee, seorang anak perempuan yang sepertinya juga dipersiapkan oleh penduduk desa untuk menjadi budak penerus. Yeon-Hee juga adalah korban dari kekerasan verbal serta seksual, yang mirisnya dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ia juga dilarang untuk bersekolah. Sebenarnya sudah lama Bok-Nam ingin membawa Yeon-Hee kabur dari pulau Mudo. Kedatangan Hae-Wan memberi secercah harapan bagi Bok-Nam. Ia pun meminta Hae-Won untuk mau membawa (setidaknya) anak perempuan Bok-Nam pergi ke Seoul agar ia bisa bersekolah, jauh dari kehidupan suram di pulau Mudo. Tapi Hae-Won menolaknya.
Hingga suatu hari, Yeon-Hee meninggal dengan tragis di tangan ayahnya dalam sebuah insiden. Saat polisi datang, penduduk desa dengan kompak memberikan kesaksian palsu untuk melindungi suami Bok-Nam. Hae-Won yang dingin lagi-lagi memilih untuk diam dan tidak membela sahabat kecilnya, walaupun ia tahu betul seperti apa kejadian yang sebenarnya. Hae-Won adalah contoh seorang teman yang brengsek. Hidup di bawah tekanan dan mendapat pelecehan mental, fisik dan seksual di hampir sepanjang hidupnya, ditambah dengan tragedi yang merenggut nyawa anaknya dan kekecewaan terhadap Hae-Won, membuat Bok-Nam akhirnya mencapai puncak muaknya. Ia melepaskan iblis di dalam dirinya, mengambil sebilah arit, dan mulai membantai penduduk desa satu persatu.
Seperti sudah saya peringatkan sebelumnya, Bedeviled jelas mengandung banyak kekerasan (verbal, mental, fisik, seksual) tanpa henti, terutama terhadap Bok-Nam sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu. Tapi apa yang lebih buruk dari semua itu adalah bagaimana kekerasan dan pelecehan dianggap sebagai kewajaran oleh penduduk desa, dan kemudian dengan mudah diabaikan oleh beberapa karakter dalam film ini. Bedeviled adalah film balas dendam yang bisa membuat penonton ikut merasakan emosi, terutama saat kita menyadari bahwa semua kondisi yang dialami Bok-Nam bisa saja berubah kalau saja seseorang (misalnya, Hae-won) mau menolongnya. Perilaku dan tindakan Hae-Won sejak film ini dimulai menggambarkan seorang individu yang egois, dingin dan tidak bisa merasakan simpati, terutama saat melihat kekerasan terhadap sesama perempuan. Kita mulai menyadari bagaimana perilaku acuh Hae-Won justru beresiko menjadikan orang lain terus menerus menjadi korban. Melihat apa yang dilakukan Hae-Won (ia tidak melakukan apa-apa!) justru menambah rasa muak saya sebagai penonton. Terkadang satu-satunya harapan bagi korban kekerasan dalam film-film semacam ini adalah dengan datangnya pertolongan dari orang lain, baik itu sahabat, ataupun keluarga. Dan ketika tidak ada pertolongan yang datang, karakter korban dalam film balas dendam akan menyelesaikan masalah mereka dengan caranya sendiri. Pada akhirnya, kita bisa memahami bahwa Bok-Nam memang pantas untuk mengamuk dan membalaskan dendam terhadap semua penduduk desa, dan juga Hae-Won sahabatnya.
Judul asli film ini dalam bahasa Korea adalah “Kim Bok-Nam Salinsageonui Jeonmai” yang kalau diterjemahkan artinya adalah “Kisah Utuh dari Kasus Pembunuhan Kim Bok-Nam”. Dan memang benar, Bok-Nam adalah nyawa dari film ini. Ia adalah karakter yang benar-benar mengundang rasa simpati, sekaligus karakter yang pada akhirnya paling kuat secara mental. Sejak kita diperkenalkan dengan karakter Bok-Nam, kita bisa melihat bagaimana ia berjuang mati-matian untuk membebaskan dirinya serta anak perempuannya, dan bagaimana ia berusaha untuk tetap kuat demi anaknya. Film ini memperlihatkan secara gamblang bagaimana seorang perempuan direndahkan oleh laki-laki, dan secara bersamaan juga ditindas oleh sesama perempuan. Ini sangat menyedihkan sekaligus memuakkan untuk disaksikan. Sebagai penonton, kebencian saya terus menumpuk pada SEMUA karakter penduduk desa yang ada di dalam film ini kecuali Bok-Nam. Saya justru terus merasa simpati pada Bok-Nam hingga film ini berakhir. Saya merasa perlu mengapresiasi penampilan aktris Yeong-hie Seo yang memerankan karakter Bok-Nam. Dengan brilian ia tunjukkan bakatnya lewat beberapa tingkatan emosional yang berbeda, mulai dari menjadi ibu yang selalu tampak kuat di depan anaknya, menangis layaknya seorang ibu menangis, menjadi korban yang kehilangan harapan, dan kemudian menjadi seorang pembantai berdarah dingin.
Penonton yang kurang sabar dengan plot lambat, mungkin akan cenderung bosan dengan beberapa bagian dalam film ini yang memperlihatkan bagaimana kehidupan di pulau Mudo berjalan. Kita bisa melihat dinamika penduduk desa tersebut: bagaimana mereka mencari uang, apa saja yang mereka makan, seberapa sering sebuah kapal datang mengantar persediaan ke pulau tersebut, dan lain-lain. Tapi saya rasa semua detail tersebut memang cukup penting untuk kita bisa memahami betapa terisolasinya dan tak ada harapannya Bok-Nam di desa itu. Kita kemudian bisa memahami kesengsaraan yang dialami Bok-nam, dan bantuan yang sangat ia harapkan dari sahabatnya. Pada akhirnya, narasi film ini menimbulkan pertanyaan dalam benak penonton, apakah diam dan pura-pura tidak tahu ketika menyaksikan suatu tindak kekerasan itu tidak lebih buruk dari para pelaku kekerasan itu sendiri?
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com