ULVER ‘Flowers of Evil’ ALBUM REVIEW
House of Mythology. August 28, 2020
Darkwave/Synthpop
Meskipun udah dua puluh tahun lebih ULVER hijrah dari dunia black metal-an, dan terakhir kali maenin metal di album ‘Themes from William Blake’s The Marriage of Heaven and Hell’ (1998), citra black metal sepertinya masih terlalu melekat dengan nama ULVER, terbukti dari penjualan ‘The Trilogie (1995 – 1997)’ yang sampai saat ini tetap laris manis, padahal Kristoffer Rygg sudah malang melintang bereksplorasi sejak akhir 90’an dengan berbagai genre musik mulai dari electronica, jazz, trip hop, ambient/drone, progressive rock/art rock sampai dua kali menggarap soundtrack film layar lebar. Tapi mau gimana lagi tiga album pertama ULVER (‘Bergtatt – Et eeventyr i 5 capitler’, ‘Kveldssanger’, dan ‘Nattens madrigal’) terlanjur sangat influential bagi perkembangan aliran black metal, jadi cikal bakal istilah atmospheric black metal, raw black metal, dan ‘Kveldssanger’ turut pula menginspirasi musisi black metal lain buat maenin dark folk/neofolk. Sampai sekarang pun saya rasa masih banyak yang berharap sia-sia, nungguin ULVER kembali ke jalur black metal lagi, band nya sih udah mustahil kembali ke masa lalu, apalagi semenjak ‘ATGCLVLSSCAP’ dan ‘The Assassination of Julius Caesar’ mereka sepertinya sudah dapet sweet spot untuk sementara waktu.
‘Flowers of Evil’ yang menjadi album teranyar dari ULVER, masih melanjutkan konsep darkwave/new wave dan synthpop dari album sebelumnya ‘The Assassination of Julius Caesar’, bedanya ‘Flowers of Evil’ terdengar lebih down to earth daripada predecessor-nya alias semakin radio friendly. Jadi harus paham betul sebelum mendengarkan-nya, bahwa ‘Flowers of Evil’ adalah sebuah album pop, tak bisa dibanding-bandingankan dengan katalog ULVER lain yang ekspansif penuh eksperimentasi, lagu seperti “One Last Dance’“,“Russian Doll“, dan “Hour of the Wolf“’ terdengar seperti lagu retro 80’an model JAPAN, TALK TALK, dan DEPECHE MODE. Tidak hanya bermodalkan lagu pop moody saja ULVER juga membawakan “Machine Guns and Peacock Feathers“ dan “Apocalypse 1993“ yang funky, namun masih terlalu gelap dan muram untuk bisa berkumandang di lantai disko. Walaupun sekarang musiknya jadi ngepop tapi jangan berharap Kristoffer Rygg terjerumus menulis lagu cheesy, nomor post-punk “Little Boy” misalnya bertemakan tentang geliat ideologi fasisme yang semakin subur tak terbendung atau “Apocalypse 1993“ yang beriksah tentang Pembantaian sekte Davidans di Waco, Texas, lagu lainya pun banyak berkutat dengan tema-tema akhir zaman, menjadikan ‘Flowers of Evil’ salah satu album pop tersuram yang pernah saya dengar.
Sisa lagu dalam ‘Flowers of Evil’ yaitu “Nostalgia” dan “A Thousand Cuts” merupakan dua trek yang paling accessible dan hook driven dalam album ini, terbukti dari melodi chorus nya yang lebih ngena, mengandalkan karakter vokal Kristoffer Rygg yang memang sudah sangat distingtif. Dengan konsep minimalis dan super kelam jelas ‘Flowers of Evil’ sangat bertolak belakang dengan ‘The Assassination of Julius Caesar’ yang bombastis dan teaterikal, tak ada lagu eksperimental sedikit nyerempet avant-garde metal seperti “Rolling Stone” dan “Coming Home”, ataupun nomor ballad melodramatis macam “1969”, semua lagu dalam ‘Flowers of Evil’ terasa lebih cocok didengarkan pas ngechill alias nyantai sambil minum kopi saat gerimis. ULVER membuktikan bahwa meskipun untuk pertamakalinya merilis dua full-length dengan aliran gak jauh beda secara back to back (mengesampingkan EP ‘Sic Transit Gloria Mundi’ dan live album ‘Drone Activity’), mereka tetap bisa menawarkan dimensi yang berbeda di masing-masing album, walau masih berada dalam kerangka new wave/synth-pop yang sama. Hanya saja ‘Flowers of Evil’ sedikit masih terasa kurang matang, karena durasinya sekedar 37 menit dan berakhir begitu saja setelah “A Thousand Cuts”, jadi kayak season finale tanpa konklusi. (Peanhead)
8.7 out of 10
https://www.youtube.com/watch?v=Ux-xJW4iohk