MAGIC CIRCLE ‘JOURNEY BLIND’ REVIEW
20 Buck Spin, November 20th, 2015
Heavy/Doom metal
Satu dekade belakangan ini virus “retro-metal” terasa semakin tak terbendung lagi, kemunculan para punggawa heavy metal yang membangkitkan lagi style klasik dari era 70’an hingga 80’an semakin membajiri pasar, hal tersebut dibuktikan dengan berhasil melejitnya band-band Sabbath-core macam Orchid, Lord Vicar, Hour of 13, dan Devil (Norway) di scene underground, hingga rentetan grup heavy psyche/occult-rock seperti Blood Ceremony, Purson, Uncle Acid& The Dead Beats yang berhasil menggaet perhatian media dan audiens non-metal. Ketika pertama kali mendengar nama MAGIC CIRCLE di salah satu newsletter metal ternama saya agak skeptis, mengingat personil grup yang mayoritas berasal dari grup hardcore punk macam Doomrider dan Mind Eraser, dengan songong saya menerka paling juga ‘just another southern stoner/sludge bands’ dan melewatkan begitu saja debut album pertama mereka, mengingat tahun tersebut memang pasar lagi oversaturated dengan aliran sejenis.
Sampai ketika yang mulia Odin mempertemukan saya dengan ilustrasi sampul depan album kedua MAGIC CIRCLE grup asal Boston, Massachussetts ini yang berjudul ‘Journey Blind yang supereye-catching karya illustrator legendaris Joe Petagno (Motörhead, Pink Floyd, Led Zeppelin, Vital Remains etc.) menarik atensi saya. Alhasil segala prejudice yang sudah terlanjur tertanam dikepala langsung dipatahkan begitu trek pembuka (sekaligus title-track) berputar, raungan riff gitar nge-Doom dengan sound production yang cukup antik/vintage, ditambah tabuhan drum yang terdengar tajam dan kering layaknya replika karakter rekaman analog Judas Priest langsung pada album ‘Sad Wings of Destiny’ (1979), memberikan vibe dan atmosfir yang seperti didatangkan dari era tersebut.
MAGIC CIRCLE menawarkan style Doom metal yang lebih terkontaminasi kuat Traditional heavy metal, meleburkan proto-Doom ala Black Sabbath, Witchfinder General, Pagan Altar dan Pentagram dengandosis US Heavy/Power metal macam Cirith Ungol, Manilla Road hingga Armored Saint, menjadikan komposisi album tidak terlalu berkutat di area yang sama dan tidak melulu bermain di tempo pelan, laguseperti ‘Lighting Cage’ misalnya, sangat cocok dijadikan pemanas arena dengan tempo yang cukup enerjik dan headbangable layaknya diangkut langsung dari era kejayaan NWOBHM, Performa vokal Brendan Radigan bias dibilang salah satu nilai jual lebih grup ini, dengan karakter tarikan yang mengingatkan saya ke era kerayaan Eric Wagner Bersama Trouble, selain itu MAGIC CIRCLE tak lupa menyelipkan sedikit sensibilitas pop via hook yang sangat memorable seperti di “Ghost of The Southern Front’ atau ‘A Ballad for the Vulture’ yang “sedikit“ nyerempet power ballad. Secara struktural dan alur album ini juga patut diacungi jempol, walaupun tidak se-diverse grup seangkatanya, MAGIC CIRCLE berhasil meracik komposisi yang tidak terlalu monoton, penuh perubahan segment dan atraksi yang tidak terlalu berlebihan dari duet gitaris Chris Corry dan Dan Ducas, namun sayangnya lagu ‘Grand Deceiver’ dan ‘The Damned Man’ yang berdurasi 6-menitan terasa sedikit monoton dibandingkan lagu-lagu lainya. (Peanhead)