MOVIE REVIEW: TRAGEDY GIRLS (2017)

TRAGEDY GIRLS
Sutradara:
Tyler MacIntyre
USA (2017)

Review oleh Tremor

Sejak film meta-horror Scream (1996) mendekonstruksi genre slasher sekaligus menjadi contoh film slasher modern yang bagus, ada banyak usaha untuk membuat film-film dengan ide dekonstruksi serupa. Beberapa yang bisa dibilang cukup berhasil diantaranya seperti Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon (2007), Tucker & Dale vs. Evil (2011), hingga The Cabin in the Woods (2012). Tragedy Girls merupakan salah satu usaha serupa, yang meskipun tidak seberhasil para pendahulunya, film ini tetap menghibur. Tragedy Girls adalah sebuah film komedi horror full-length kedua dari sutradara Tyler MacIntyre yang ia tulis bersama penulis naskah Chris Lee Hill. Dalam film ini, MacIntyre menggabungkan genre slasher dengan kacamata modern sambil memberi banyak penghormatan pada film-film horror legendaris yang akan saya bahas nanti.

Sadie dan McKayla adalah dua gadis yang sudah bersahabat sejak kecil. Kini mereka tengah duduk di bangku SMA dan bersama-sama melakukan hal-hal yang umum dilakukan remaja perempuan Amerika modern di dalam film, dari mulai menjadi anggota cheerleader, merencanakan pesta prom night, hingga terobsesi dengan ketenaran di media sosial. Bicara soal media sosial, Sadie dan McKayla menjalankan sebuah twitter dan blog true crime bernama @tragedygirls, yang didedikasikan untuk melaporkan perkembangan kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di kota mereka. Kebetulan kota ini sedang diteror oleh seorang penjagal ala film slasher yang beberapa kali telah membunuh anak-anak mudanya dengan brutal di malam hari. Tapi semua pembunuhan tersebut tidaklah cukup untuk membuat @tragedygirls menjadi trending seperti yang Sadie dan McKayla harapkan. Di awal film ini, @tragedygirls beserta semua hashtag yang mereka promosikan hampir tidak mendapat perhatian sama sekali dari netizen. Di balik perilaku manis dan keceriaannya, kedua sahabat ini juga sebenarnya adalah sepasang psikopat. Suatu malam, dengan cerdik Sadie-McKayla berhasil menjebak dan menangkap sang penjagal bertopeng yang bernama Lowell Lehmann. Tujuan mereka adalah untuk meminta Lowell agar mau menjadi mentor mereka dan melakukan pembunuhan bersama agar dampaknya lebih mengerikan dari sebelumnya. Menurut logika mereka, dengan adanya lebih banyak pembunuhan di kota kecil mereka, maka @tragedigirls akan mendapat lebih banyak bahan konten, dan blog mereka akan menjadi semakin trending. Setelah Lowell menertawakan dan menolak ide menjadi mentor, Sadie dan McKayla akhirnya menyekap sang penjagal dan mulai membunuhi beberapa anak muda dari sekolahnya tanpa bantuan mentor, menjadikan Lowell sebagai kambing hitam atas semua pembunuhan yang mereka lakukan.

Mungkin saja film ini hendak mengkritisi fenomena adiksi, obsesi dan orientasi para remaja modern terhadap media sosial lewat sudut pandang slasher, bahwa pengejaran ketenaran internet bisa membuat seseorang melakukan apapun demi mendapat followers dan likes, dengan contoh yang sangat ekstrim. Topik ini cukup relevan karena di masa sekarang, sosial media seperti Youtube dan Twitter memang bisa menelurkan para selebritis jenis baru secara instan. Untunglah film ini sama sekali tidak berusaha menceramahi penontonnya soal itu. Saya pikir pesan tersebut bukanlah prioritas utama dari film Tragedy Girls karena film ini lebih banyak menitikberatkan kisahnya pada persahabatan antara kedua karakter utamanya yang digambarkan cukup meyakinkan dan menunjukkan semua sudut persahabatan dari mulai rasa saling mendukung, cemburu hingga konflik. Kinerja kedua aktris muda yang memerankan Sadie dan McKayla dalam menggambarkan persahabatan psikopat boleh diacungi jempol. Cara mereka berinteraksi dengan satu sama lain dalam film ini bisa membuat penonton berpikir bahwa mereka adalah sahabat sungguhan di kehidupan nyata. Di sisi lain, meskipun mereka adalah psikopat, tapi penonton akan dengan mudah berpihak pada mereka berkat aura yang mereka bawa. Persahabatan mereka juga diperkuat dengan memiliki mimpi yang sama. Mereka sama-sama psikopat kejam, haus darah, haus ketenaran, dan sama-sama menikmati setiap aksi pembunuhan yang mereka lakukan bersama. Persahabatan keduanya ini cukup menyenangkan untuk ditonton, bahkan ketika mereka membunuh seseorang.

Sudah sejak lama adegan pembunuhan dalam film slasher menjadi daya tarik tersendiri berkat creative kills berhiaskan special effect gore yang fantastis, dan seringkali over-the-top. Lebih menyenangkan lagi kalau special effectnya dikerjakan secara tradisional, bukan CGI. Untungnya, hal ini jugalah yang berlaku dalam Tragedy Girls, membuat para penggemar horror menanti-nantikan bagaimana adegan gore kreatif selanjutnya akan dikerjakan. Namun karena ini adalah film komedi, setiap adegan pembunuhannya juga memiliki unsur kegeliannya tersendiri. Para penonton bisa dibuat geli hanya dengan melihat betapa amatirnya Sadie dan McKayla dalam membunuh, sementara polisi setempat terlihat tidak kompeten dalam melakukan tugasnya.

Seperti sudah saya tulis sebelumnya, Tragedy Girls juga memiliki banyak elemen penghormatan terhadap film-film horror legendaris. Salah satunya yang paling mencolok ada pada nama lengkap kedua karakter utama. Sadie Cunningham dan McKayla Hooper, dimana nama Cunningham mengacu pada sutradara film Friday the 13th (1980) Sean Cunningham, dan nama Hooper mengacu pada sutradara The Texas Chain Saw Massacre (1974). Penghargaan mencolok lainnya ada pada segmen prom night film ini yang jelas-jelas merupakan reka ulang adegan paling epik film Carrie (1976). Selain itu, kita juga bisa melihat miniatur rumah Myers dari film Halloween (1978) yang dalam film ini dijadikan sebagai rak buku perpustakaan mini di sekolah. Tak hanya itu, beberapa karakter dalam Tragedy Girls juga menyebutkan banyak referensi horror lainnya dari mulai nama sutradara Dario Argento, film Martyrs (2008), franchise Final Destination, Death Proof (2007) hingga satu adegan kematian yang diambil langsung dari momen ikonik-nya Cannibal Holocaust (1980). Meskipun Tragedy Girls bisa membuat para penggemar horror terhibur lewat banyak elemen penghormatan terhadap film-film horror lainnya, tapi apa yang membuat film ini layak ditonton adalah karena film ini terasa sangat menyegarkan dan menyenangkan. Sutradara Tyler MacIntyre yang bisa dibilang belum memiliki banyak pengalaman ini cukup pintar dalam menggabungkan antara elemen horror dengan komedinya secara seimbang. Tragedy Girls sangat layak untuk ditonton oleh siapapun yang mencari film slasher yang menghibur untuk ditonton beramai-ramai dengan teman-teman. Setelah menonton Tragedy Girl, saya menjadi penasaran dengan karya debut sutradara MacIntyre yang ia tulis bersama Chris Lee Hill juga, sebuah film horor komedi yang mendekonstruksi kisah Frankenstein berjudul Patchwork (2015).