fbpx

MOVIE REVIEW: TOMBS OF THE BLIND DEAD / LA NOCHE DEL TERROR CIEGO (1972)

 

TOMBS OF THE BLIND DEAD / LA NOCHE DEL TERROR CIEGO
Sutradara: Amando de Ossorio
Spanyol (1972)

Review oleh Tremor

Pada tahun 1968, sutradara legendaris George Romero mengubah wajah sinema horor zombie lewat karya klasiknya, Night of the Living Dead. Sebelum 1968, konsep zombie klasik dalam genre horor yang didominasi oleh kisah praktek voodoo seperti dalam film White Zombie (1932), King of the Zombies (1941), hingga I Walked with a Zombie (1943) mulai dilupakan. Lewat Night of the Living Dead, Romero memperkenalkan jenis zombie baru, yang sering disebut sebagai zombie modern, di mana mayat hidup cenderung kanibalistik dan tidak selalu berkaitan dengan black magic lagi seperti sebelumnya. Night of the Living Dead memberi pengaruh sangat besar ke seluruh dunia, termasuk pada seorang pembuat film asal Spanyol, Amando de Ossorio. Tiga tahun setelah Night of the Living Dead, de Ossorio menciptakan fitur mayat hidupnya sendiri, dengan peraturan dan lore-nya sendiri yang mencampuradukkan karakteristik zombie, mumi, vampir dan satanisme, berjudul Tombs of the Blind Dead. Judul asli film ini dalam bahasa Spanyol adalah La noche del terror ciego, yang kalau diterjemahkan berarti “The Night of the Blind Terror”. Distribusi film pada awal 70an tidak semudah era digital. Dengan berbagai cara, distributor film ini berusaha keras untuk memasarkan Tombs of the Blind Dead pada dunia internasional, keluar dari pasar Eropa. Salah satu usaha distribusi Tombs of the Blind Dead yang paling unik adalah memberi judul baru pada film ini untuk menarik minat calon penonton Amerika dengan cara mendompleng seri Planet of the Apes (1968) yang kala itu memang sedang sangat hype. “Revenge from Planet Ape” adalah judul yang dipilih, dengan narasi sembarangan yang menjelaskan bahwa sejak manusia memenangkan perang melawan kera, beberapa mayat kera bangkit kembali untuk membalas dendam. Versi judul yang mendompleng Planet of the Apes ini hanya sempat diputar satu-dua kesempatan di beberapa bioskop drive-in Amerika saja sebelum kemudian dihentikan penayangannya. Tentu saja pemasaran seperti ini adalah hal yang menggelikan bagi kita sekarang, namun bisa dibayangkan juga betapa sulitnya memasarkan sebuah film Eropa ke pasar Amerika pada awal 70-an. Tak hanya “Revenge from Planet Ape”, film Tombs of the Blind Dead juga dirilis dengan banyak sekali judul yang berbeda-beda di berbagai negara, dari mulai The Blind Dead, Tombs of the Evil Dead, Crypt of the Blind Dead, Night of the Blind Dead, Tombs of the Blind Zombies, Mark of the Devil Part V: Night of the Blind Terror dan masih banyak lagi. Usaha keras pihak distributor pun membuahkan hasil: Tombs of the Blind Dead akhirnya dikenal secara internasional dan ikut berkontribusi mendorong bangkitnya gairah sinema horor di Spanyol, hingga memberi banyak pengaruh bagi para pembuat film horor modern. Pada akhirnya Tombs of the Blind Dead menjadi sebuah karya classic cult yang memiliki kelompok penggemarnya sendiri hingga hari ini. Tombs of the Blind Dead sendiri merupakan film pertama dari The Blind Dead Saga quadrillogy yang diciptakan oleh de Ossorio, yang disusul dengan Return of the Blind Dead (1973), The Ghost Galleon (1974) dan Night of the Seagulls (1975) hanya dalam rentang waktu empat tahun saja.

Betty dan Virginia adalah teman lama yang secara tidak sengaja bertemu kembali dalam liburan. Virginia dan Roger teman laki-lakinya pun mengajak Betty untuk ikut dalam perjalanan wisata menggunakan kereta api. Di tengah perjalanan ini Virginia merasa cemburu melihat kedekatan Roger dan Betty. Ia pun memutuskan lompat dari kereta api tersebut. Dari kejauhan Virginia melihat siluet sebuah perkampungan. Ia segera berjalan ke sana dengan harapan bisa ikut bermalam. Namun siluet yang ia lihat ternyata hanyalah reruntuhan sebuah desa dan biara kuno yang telah ditinggalkan selama berabad-abad, dikenal dengan nama desa Berzano. Keberadaan reruntuhan Berzano yang berada di lokasi sangat terpencil ini adalah hal yang tabu untuk dibicarakan bagi penduduk di kota terdekat, karena Berzano dipercaya dihuni oleh entitas jahat yang menyimpan dendam. Namun Virginia tidak mengetahui hal tersebut, karena ia adalah seorang turis yang lugu. Tak memiliki banyak pilihan, Virginia pun memutuskan bermalam di reruntuhan menyeramkan itu. Tanpa ia sadari, kehadirannya membangkitkan mayat-mayat hidup haus darah yang telah terlalu lama beristirahat sambil menunggu datangnya mangsa baru. Keesokan harinya, Virginia ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan di sebuah padang rumput tak jauh dari Berzano. Betty dan Roger yang tidak puas dengan kinerja polisi setempat pun berusaha melakukan investigasi sendiri, yang pada akhirnya membawa mereka ke Berzano hanya untuk menemukan kebenaran yang sangat mengerikan.

Lewat Tombs of the Blind Dead, Amando de Ossorio berhasil menciptakan sebuah lore zombie yang sangat unik dan original lewat mitologinya sendiri. Dalam proses investigasi, Betty dan Roger berjumpa dengan seorang profesor sejarah medieval yang menjelaskan asal muasal penghuni reruntuhan Berzano. Pada abad ke-13, mereka adalah para ksatria Templar (sekte militer kristen) yang baru kembali dari perang salib dan membawa banyak harta rampasan perang sekaligus memegang jenis keimanan spiritualitas baru yang mereka dapatkan di timur jauh. Mereka kini terobsesi dengan rahasia kehidupan abadi yang bisa mereka dapatkan kalau melakukan banyak ritual pengorbanan, dalam hal ini penyembahan terhadap setan. Ritual ini mengharuskan mereka mulai menculik gadis-gadis desa Berzano untuk diminum darahnya sebagai bagian dari ritual pengorbanan bagi dewa-dewa yang mereka sembah. Akhirnya warga Berzano bangkit melawan. Mereka membantai para ksatria Templar, memancang mayat mereka di muka umum hingga burung-burung gagak memakan bola mata mereka. Rupanya rahasia kehidupan abadi benar-benar mereka dapatkan. Mayat para ksatria Templar bangkit dari kubur dalam kondisi buta untuk membalas dendam, membantai balik penduduk Berzano. Hingga hari ini, mayat hidup para ksatria masih menetap di liang-liang kubur dan sudut-sudut gelap reruntuhan Berzano. Penduduk kota-kota wisata di dekat Berzano menyimpan rahasia ini agar tidak ada satu pun turis yang mengganggu para ksatria buta dari istirahat mereka.

Bintang utama dari Tombs of the Blind Dead jelas adalah para mayat hidup buta lengkap dengan mitologinya sendiri. Sosok mereka yang begitu ikonik menjadi salah satu faktor terbesar mengapa film ini begitu dikenang hingga puluhan tahun kemudian. Karakter mayat hidup buatan Ossorio memiliki desain yang cukup detail dan menyeramkan secara visual. Pada dasarnya mereka adalah kerangka manusia yang sudah membusuk dan berusia sangat tua, berbalut jubah compang-camping bertudung yang sangat kotor seakan telah terkubur di dalam tanah selama ratusan tahun. Karena mereka buta, para mayat hidup ini berburu menggunakan pendengaran yang mampu mendengar suara calon korbannya, bahkan hingga suara detak jantung manusia. Apa yang menarik, mereka tidak benar-benar memiliki karakteristik yang seratus persen bisa dikategorikan sebagai zombie modern. Bahkan Ossorio sendiri keberatan dengan deskripsi zombie pada monster ciptaannya, karena memang para mayat hidup dalam Tombs of the Blind Dead lebih menyerupai vampir yang menghisap darah dan tidak memakan daging korbannya. Mirip seperti vampir, mereka yang telah dihisap darahnya juga akan bangkit menjadi mayat hidup.

Selain penampilan visualnya, kengerian mayat para ksatria templar juga diperkuat oleh musik temanya yang diputar setiap kali satu persatu bangkit dari kubur dan bermunculan dengan sangat lambat dari setiap celah dan sudut gelap di reruntuhan biara tua Berzano. Musik tema ini adalah suara semacam paduan suara keagamaan ala Gregorian yang terdengar begitu gelap, mistis dan angker, seperti nyanyian yang bisa saja kita asumsikan sebagai bagian dari ritual penyembahan setan. Ini adalah scoring yang sangat brilian dan terasa sangat cocok mengiringi para mayat busuk yang bergerak dengan lambat mendekati calon korbannya yang ketakutan. Apa yang lebih menakutkan lagi adalah, jumlah mereka yang sangat banyak terutama ketika mengerumuni tubuh korbannya. Dalam film-film zombie yang bergerak dengan lambat, apa yang lebih mengerikan memang bukanlah kecepatan gerak membabi buta seperti dalam zombie viral, tetapi pada jumlah mereka yang sangat banyak. Bagi saya mayat hidup para ksatria dalam Tombs of the Blind Dead merupakan kreasi yang sangat mengagumkan. Satu-satunya yang saya sayangkan dari karakter para zombie buta ini adalah, mereka tampil terlalu sedikit dalam film Tombs of the Blind Dead.

Para mayat hidup dalam Tombs of the Blind Dead bukan saja terlihat lebih menyeramkan dibandingkan zombie Night of the Living Dead, tetapi juga berkelakuan lebih kejam. Meskipun bukan jenis kesadisan gore seperti yang kita kenal hari ini, tetapi film ini sudah dianggap cukup sadis untuk ukuran tahun 1971, karena tidak banyak film horor yang menampilkan visual kekerasan seperti Tombs of the Blind Dead pada masa itu. Adegan-adegan kekerasannya sendiri banyak terjadi secara off-screen dan jelas tidak akan memuaskan para penggemar horror gore / splatter modern. Tetapi akan ada waktunya ketika kesadisan para mayat hidup ini terlihat begitu suram dan gelap, terutama pada sequence penutupnya.

Kekuatan lain dari Tombs of the Blind Dead adalah atmosfer menyeramkan yang berhasil diciptakan oleh Ossorio setiap kali para mayat hidup memulai terornya. Hal ini tentu saja didukung dengan pemilihan lokasi reruntuhan tua yang sangat tepat untuk dijadikan set film horor semacam ini. Sutradara Amando de Ossorio menggunakan reruntuhan biara asli untuk pengambilan gambar eksterior Berzano, yaitu biara Santa Maria de Valdeiglesias di kota Madrid, Spanyol, yang telah terabaikan sejak tahun 1835. Reruntuhan biara ini baru mulai direstorasi pada tahun 1974, tiga tahun setelah film Tombs of the Blind Dead dirilis. Jadi bisa dibayangkan bahwa semua tanaman rambat dan suasana angker reruntuhan Berzano yang kita lihat dalam Tombs of the Blind Dead adalah suasana otentik yang tidak terlalu dibuat-buat, kecuali pada beberapa batu nisan yang khusus ditempatkan untuk pembuatan film ini. Dengan lokasi yang sangat cocok seperti ini, ditambah dengan kabut serta siluet-silet mayat hidup yang bergerak sangat lambat, membuat atmosfer seram Tombs of the Blind Dead benar-benar terasa efektif. Belum lagi ada perasaan layaknya berada di dunia mimpi yang sangat surealis setiap kali para mayat ksatria bermunculan, karena begitu lambatnya gerak mereka. Bahkan ketika para mayat hidup menunggangi kuda pun dengan cerdik Ossorio membuatnya bergerak dalam sedikit slow-motion (bukan jenis slow-motion yang dramatis) yang semakin memperkuat efek surealis mimpi buruk-nya, membuat kuda-kuda ini seakan datang dari dunia hantu. Kerangka-kerangka busuk manusia menunggangi kuda dalam gerak yang sangat lambat dan hanya diterangi cahaya bulan di reruntuhan biara merupakan keputusan visual yang sangat efektif untuk sebuah film horor. Pengaturan lokasi, kostum dan makeup mayat hidup, serta scoring musiknya menyatu dengan sangat baik dalam menciptakan suasana mengerikan dan menjadi satu-satunya alasan terbesar untuk menonton film Tombs of the Blind Dead.

Ossorio jelas merupakan seorang sutradara yang lebih mengutamakan suasana seram dan visual dibandingkan plot dan karakter. Tombs of the Blind Dead adalah mahakarya horor atmosferik, dan bukan dalam hal lain. Kalau penonton mengharapkan plot yang bagus, pengembangan karakter, atau special effect gore yang spektakuler, tentu mereka akan sangat kecewa dengan Tombs of the Blind Dead, karena seperti kebanyakan film-film euro-horror awal 70-an, plot dan karakter adalah hal yang sama sekali tidak penting dibandingkan pencahayaan, skema warna, sudut pandang kamera, dan penciptaan atmosfer. Kalau dilihat dari kacamata penonton modern, Tombs of the Blind Dead dipenuhi dengan acting yang buruk, karakter-karakter bodoh, arogan, menyebalkan, cheesy, cringe, yang mengambil banyak keputusan bodoh dan tidak logis, dengan dialog yang tak kalah bodohnya. Selain itu, film ini juga dipenuhi dengan banyak adegan tidak penting, terutama rape scene yang sama sekali tidak penting, yang kalaupun dihilangkan tidak akan mengubah plotnya. Semua adegan tidak penting ini membuat durasi Tombs of the Blind Dead menjadi terlalu lama dari seharusnya. Kami hanya ingin melihat aksi para mayat hidup lebih banyak lagi! Untungnya, semua kekurangan Tombs of the Blind Dead sangat terbayar dalam sequence penutupnya yang sangat gelap dan suram.