THREE… EXTREMES / SAM GANG 2
Sutradara: Fruit Chan, Park Chan-wook, Takashi Miike.
Hong Kong, Korea Selatan, Jepang (2004)
Review oleh Tremor
Three..Extremes adalah sebuah antologi horror asia yang berisi tiga segmen film pendek karya tiga sutradara, dari tiga negara yang berbeda. Sutradara yang terlibat disini adalah nama-nama yang sudah sangat populer di dunia internasional: Fruit Chan dari Hong Kong, Park Chan-Wook dari Korsel, dan Takashi Miike yang kontroversial dari Jepang. Ini adalah antologi yang sangat menarik karena kita bisa melihat bagaimana tiga sutradara dari tiga kultur yang berbeda mengantarkan kengerian dan menciptakan visi horror-nya masing-masing. Dari ketiga nama sutradara ini, Fruit Chan adalah yang paling asing bagi saya pribadi. Saya bukan penonton film-film Hong Kong (kecuali film horror), dan tidak ada satupun film buatan Fruit Chan yang pernah saya tonton sebelumnya. Jadi tidak banyak yang bisa saya tulis soal dirinya selain bahwa nama Fruit Chan rupanya memang cukup populer di dunia barat. Sutradara berikutnya adalah seseorang yang pernah membuat saya keranjingan menonton film-film thriller Korea Selatan. Siapa yang tak kenal dengan nama Park Chan-Wook? Film pertamanya yang saya tonton tentu saja adalah Oldboy (2003). Setelah itu saya segera memburu semua film buatannya, termasuk dua film lain dari instalasi The Vengeance Trilogy: Sympathy for Mr. Vengeance (2002) dan Lady Vengeance (2005). Setelah akhirnya menonton film lamanya, Joint Security Area (2000), saya pun melanjutkan pencarian harta karun Korea dengan mulai merambah ke film-film Korsel non Park Chan-Wook seperti Memories of Murder (2003), The Host (2006), The Chaser (2008), Mother (2009), dan masih banyak lagi. Tentu saja saya menonton The Wailing (2016), tapi itu sudah belakangan. Saya kembali menonton film buatan Park Chan-Wook: Thirst (2009) dan Stoker (2013) saat film-film itu dirilis. Dan siapa yang bisa melupakan karya terakhirnya yang fenomenal, The Handmaiden (2016)? Dan kalau dilihat dari filmografinya, maka tak heran kalau Park Chan-Wook begitu menggemparkan sinema dunia. Saya berhutang banyak pada Park Chan-Wook karena sudah memperkenalkan saya pada sinema Korea Selatan yang brilian. Dari apa yang saya tulis barusan, sudah bisa ditebak bahwa Park Chan-Wook adalah sutradara favorit saya dalam keseluruhan antologi ini. Kembali ke Three..Extremes, segmen terakhir diisi oleh sutradara asal Jepang yang mungkin sudah tidak perlu saya perkenalkan lagi, Takashi Miike. Saya pernah menulis sedikit tentang Takashi Miike sebelumnya. Ia adalah sutradara yang sudah beberapa kali menggunakan tema-tema tabu, ekstrim, dan kadang absurd. Film-film tenarnya yang mungkin pernah kalian tonton antara lain adalah Audition (1999), Ichi the Killer (2001), One Missed Call (2003), Crows Zero (2007), hingga 13 Assassins (2010). Kalau kalian tertarik untuk membaca lebih panjang soal Takashi Miike, silakan baca dalam review film Imprint (2006) yang pernah saya tulis tahun lalu di sini.
Langsung saja, segmen pertama dalam film ini berjudul Dumplings, buatan Fruit Chan. Nyonya Lee adalah seorang mantan aktris yang pernah terkenal, sekaligus istri dari pebisnis yang sangat kaya dan sukses. Di umurnya yang sudah tidak lagi muda, Ny. Lee merasa tidak percaya diri, dan itu bukan tanpa sebab. Pertama, ia yakin bahwa suaminya tidak terlalu menginginkannya lagi. Kedua, Ny. Lee menyadari bahwa ia menjadi pemain film hanya saat ia masih muda, seakan industri perfilman tidak membutuhkannya lagi karena ia sudah menua. Suatu hari Ny. Lee mendengar kabar tentang seorang perempuan yang menyajikan makanan dengan resep rahasia yang memiliki khasiat awet muda. Akhirnya Ny. Lee bertemu dengan perempuan yang ia cari. Namanya adalah Mei, tetapi semua orang memanggilnya Bibi Mei. Sesampainya di rumah bibi Mei di rusun kumuh, bibi Mei langsung memasak pesanan Ny. Lee, makanan berbentuk dumpling (sejenis pangsit yang biasa kita temui dalam menu dimsum). Bibi Mei adalah bukti hidup bahwa resep rahasia awet mudanya memang benar-benar berkhasiat, karena sebenarnya ia sudah berumur 60-an, tetapi memiliki tubuh dan kulit seseorang berusia 30 tahunan. Seperti dumpling pada umumnya, dumpling buatan bibi Mei juga diisi dengan sayuran, rempah-rempah dan daging cincang, lalu dibungkus dengan selembar kulit yang terbuat dari adonan tepung. Dengan hati-hati dan cermat bibi Mei mulai menyajikan makanan ini di meja tempat Ny. Lee duduk menunggu dengan sabar di luar dapur. Sebenarnya, belum sampai 5 menit film ini berjalan, secara sekilas kita sudah bisa melihat dengan jelas bahwa bahan baku dari dumpling spesial Bibi Mei adalah janin manusia hasil aborsi. Maaf, ini bukan spoiler, karena film ini sama sekali tidak berusaha untuk merahasiakannya sejak awal. Tidak ada twist di sini. Dan saya yakin, sejak awal Ny. Lee juga tahu betul apa isi dumpling yang dibuat oleh Bibi Mei. Sangat jelas terlihat saat pertama kali hendak memakannya, Ny. Lee kelihatan agak ragu. Ia juga menolak untuk melihat bagaimana proses Bibi Mei mempersiapkan makanannya. Tapi sejak kunjungan pertamanya, Ny. Lee selalu kembali secara rutin untuk menyantap dumpling buatan Bibi Mei dengan harapan perubahan pada fisiknya sesegera mungkin.
Sebenarnya yang saya tulis disini barulah pembuka dari film Dumpling, karena setelah itu film ini terus berlanjut hingga pada efek samping yang tak pernah Ny. Lee sangka sebelumnya. Kalau kalian hobi menyantap dimsum, saya tidak yakin apakah kalian akan sanggup menonton film ini atau tidak. Jangan salah tangkap, Fruit Chan memfilmkan semua ini tidak dengan cara yang menjijikan dan gore. Ia justru menyorot proses Bibi Mei mempersiapkan masakannya dengan cukup baik, seakan Fruit Chan sedang membuat film tentang kuliner dan ingin membuat penonton menelan ludah saat diperlihatkan proses masaknya. Mungkin rasanya mirip dengan melihat adegan-adegan Hannibal Lecter memasak dalam versi serial TV-nya. Belum lagi saat Ny. Lee menyantap dumpling buatan bibi Mei, penonton seakan diajak untuk ikut membayangkan pengalaman tersebut. Kamera menggambarkan komposisi mangkuk yang masih mengepul dengan cukup artistik, sekaligus memperlihatkan tekstur kulit dumpling yang putih dan menggoda. Kamera juga cukup fokus saat Ny. Lee mulai menyumpit dumpling, dan memakannya secara perlahan. Kita bisa mendengar suara berderak dari (mungkin) tulang-tulang lunak yang tergigit saat Ny. Lee mulai mengunyah dumplingnya pelan-pelan. Masalahnya kita juga tahu bahwa bahan baku daging cincang di dalamnya bukanlah sapi atau babi. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi penonton yang tak siap. Dan sekarang, mungkin sebagian dari kalian akan berpikir dua kali untuk memesan dumpling di kedai dimsum favorit kalian.
Dumplings adalah film Fruit Chan pertama saya, dan saya cukup terkesan, apalagi saat saya tahu bahwa ia bukanlah sutradara spesialis horror. Jelas Fruit Chan sangat bertalenta. Mungkin saya perlu menonton film-film buatannya yang lain. Untuk sebuah film pendek dalam antologi dengan judul “Three..Extremes”, tema dalam segmen Dumplings memang bisa dibilang yang paling ekstrim dari keseluruhan antologi, apalagi untuk penonton Indonesia dimana tema aborsi bisa dibilang cukup tabu. Di tahun yang sama, film versi panjang dari Dumplings ikut dirilis, yang ternyata isinya tidak terlalu berbeda dengan versi pendeknya. Saya menduga, mungkin justru versi panjangnya sudah ada terlebih dahulu, yang kemudian diedit dan dipotong sedemikian rupa agar bisa masuk ke dalam antologi Three..Extremes. Dumplings versi film panjang bisa dibilang adalah “extended version” dari versi pendeknya dengan ending yang berbeda. Dalam versi panjangnya, kita bisa melihat betapa seringnya Ny. Lee kembali ke rumah bibi Mey, menyantap masakan dumpling berulang kali, hingga akhirnya ia bisa memakannya tanpa beban. Versi panjang juga menaruh fokus yang lebih mendalam soal hubungan Ny. Lee dengan suaminya, dan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya. Jadi kalau memiliki waktu ekstra, kalian bisa menonton keduanya, tapi bisa saya pastikan kalau kalian tidak akan kehilangan apapun walau hanya menonton versi pendeknya saja.
Antologi Three..Extremes berlanjut ke segmen ke-dua, berjudul “Cut” karya Park Chan-Wook, yang berkisah tentang seorang sutradara sukses dengan kehidupan yang tampaknya sempurna. Saya tidak ingat apakah namanya pernah disebutkan di dalam film ini, tetapi mari kita sebut saja dia dengan nama “sang sutradara”. Suatu hari saat tiba di rumahnya sendiri sepulang dari lokasi shooting, ia dikejutkan dengan adanya seorang psikopat yang telah menunggunya. Setelah orang asing itu berhasil membuatnya pingsan, ia siuman dan menemukan dirinya sudah terikat di dalam studio tempat ia shooting sebelumnya, yang sejak awal memang ia rancang semirip mungkin dengan isi rumahnya sendiri untuk kebutuhan film terbarunya. Di sana ia juga menemukan istrinya yang adalah seorang pianis, sudah terikat dengan banyak sekali kawat di depan sebuah piano dengan mulut tersumpal, dan masing-masing jari tangannya sudah dilem menggunakan lem super pada tuts-tuts piano. Sang penyusup juga ada di sana. Awalnya sang sutradara tidak mengenalinya, hingga ia ingat kalau orang asing itu adalah salah satu (dari banyak sekali) pemeran figuran yang pernah ikut bermain dalam setidaknya lima film buatan sang sutradara. Dan kali ini orang gila ini ingin menjadi sutradara dalam skenario yang sudah ia rencanakan matang-matang, sebuah sesi penyiksaan mental terhadap sang sutradara. Cut memiliki beberapa poin komentar sosial, terutama soal kesenjangan nasib antara sang sutradara yang kaya dan baik hati, dengan penculiknya yang miskin dan penuh kekerasan. Permainan pun dimulai. Sang psikopat (yang namanya juga tidak pernah disebutkan) menilai bahwa sang sutradara adalah sosok yang terlalu sempurna, dan itu tidak adil menurutnya. Ia sangat tahu bahwa sang sutradara adalah orang yang baik. Maka, ia menantang sang sutradara untuk melakukan sesuatu yang mengejutkan: ia harus membunuh seorang anak kecil yang sejak awal sudah diikat di sebuah sofa dalam ruangan itu. Dan si psikopat akan memotong jari istri sang sutradara satu persatu setiap 5 menit, sampai sang sutradara benar-benar membunuh anak kecil itu. Setiap 5 menit yang disediakan oleh sang psikopat, sang sutradara berusaha untuk meyakinkannya bahwa ia sebenarnya adalah orang jahat. Tapi sang psikopat tidak pernah puas dengan setiap “pengakuan” sang sutradara, lalu ia balik menceritakan kisah gelapnya.
Nasib istri sang sutradara kini ada di bawah keputusan ekstrim yang harus diambil oleh sang sutradara, dan mereka berdua ada di bawah kendali dan instruksi pemain figuran yang sakit jiwa. Ini adalah sebuah bentuk penyiksaan mental yang secara perlahan mulai mempengaruhi psikologi sang sutradara, hingga kewarasannya terlanjur ikut terganggu di akhir film ini. Bagi saya, segmen ini adalah yang paling menarik dari keseluruhan antologi Three..Extremes. Mungkin ini subjektif karena saya benar-benar suka dengan cara Park Chan-wook menuturkan cerita. Segmen Cut adalah sebuah bukti bagaimana briliannya Park Chan-Wook. Ia bisa membuat plot sederhana tetap menarik, menghisap seluruh konsentrasi kita dalam durasi 40 menit-an, tanpa harus kehilangan ciri khasnya. Secara visual, segmen Cut juga adalah yang paling enak dipandang. Bayangkan kalau kalau tidak ada kerja kamera dalam segmen Cut, maka film ini akan tampak seperti sebuah pertunjukan teater panggung yang brilian. Mungkin kesan itu tercipta karena kemampuan acting dan desain set yang sangat mendukung. Secara visual dan tema, film ini memang tidaklah se-ekstrim segmen Dumplings. Tapi sisi “ekstrim”-nya tetap ada, yaitu pilihan-pilihan yang dihadapi sang sutradara itu sendiri. Walaupun ada beberapa momen yang menggelikan dalam segmen ini, kita tetap dibuat tegang dan menebak-nebak apa langkah sang sutradara dalam 5 menit berikutnya dan bagaimana cara ia menyelamatkan jari-jari tangan istrinya.
Segmen terakhir adalah “The Box” buatan Takashi Miike, yang secara mengejutkan, tidak seekstrim yang saya kira. Dulu, sebelum saya menonton Three..Extremes, saya sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk segmen ini, karena ini adalah buatan Takashi Miike, sutradara yang sangat terkenal dengan kontroversi, kekerasan, tema tabu, dan segala kegilaannya. Tapi sayangnya, ia tidak memperlihatkan sisi gila-nya di sini. The Box disajikan dengan sedikit “arty” dan sepertinya sangat metaforis di banyak titik. Segmen ini berkisah tentang Kyoko, seorang novelis perempuan yang dihantui oleh perasaan bersalah. Saat Kyoko masih berumur 10 tahun, ia dan kembarannya yang bernama Shoko, adalah sepasang penari lentur (manusia elastis) dalam sebuah pertunjukan amatir keliling. Anggota pertunjukan lainnya adalah pengasuh mereka berdua, seorang laki-laki dewasa yang saya duga adalah seorang pedophil. Bisa dibilang, mereka bertiga memiliki hubungan yang cukup kompleks dan ganjil. Suatu hari, Kyoko secara tidak sengaja menyebabkan kematian kembarannya dengan cara yang sangat tragis. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya hidup dengan perasaan bersalah sebesar itu. Hingga Kyoko dewasa, bukan hanya perasaan bersalah saja yang terus menghantuinya, tetapi juga bayang-bayang Shoko kecil, yang membuat film ini memiliki sedikit elemen film hantu khas Jepang.
Sejak awal, The Box dibuka dengan adegan Kyoko terbangun dari mimpi yang rupanya selalu berulang. Ia juga terbangun dari mimpi yang sama di tengah film, dan terbangun lagi pada akhir film. Maka tak heran kalau penonton pada akhirnya akan bertanya-tanya di sepanjang film, adegan mana saja yang merupakan mimpi dan mana yang nyata terjadi. Tapi mungkin memang seperti itu konsep film ini, yang juga bisa ditemui dalam beberapa film Miike lainnya, dimana batasan antara mimpi dan kenyataan dibuat tampak kabur sama sekali. Sebagai sebuah karya Takashi Miike, The Box bisa dibilang terlalu konvensional dan biasa saja. Mungkin sisi “ekstrim” segmen ini hanya ada pada ide bahwa Kyoko dan Shoko kecil diasuh oleh seorang pedophil. Tapi tenang saja, tidak ada adegan dan visual yang ekstrim dalam film ini.
Sebenarnya, Three..Extremes adalah proyek sequel dari instalasi antologi pertamanya yang berjudul “Sam Gang” (2002), yang memiliki konsep yang sama: tiga film horror pendek, tiga sutradara, tiga negara asia. Saya tidak tahu pasti mengapa dalam judul internasionalnya, antologi Sam Gang itu kemudian dipasarkan ulang dengan judul “Three..Extremes II”, padahal antologi itulah yang dirilis lebih dulu. Dan cukup jelas kalau kita lihat di halaman IMDb-nya, judul asli dari Three..Extremes adalah Sam Gang 2, dirilis dua tahun setelah Sam Gang yang pertama. Secara keseluruhan, menurut saya Three..Extremes cukup sukses untuk sebuah antologi horror, dan sangat perlu untuk ditonton oleh siapapun yang ingin mengenal horror Asia lebih jauh. Walaupun antologi ini memperkenalkan saya pada talenta Fruit Chan, tapi Three..Extremes tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai gerbang introduksi bagi sutradara lainnya, karena jelas segmen “Cut” bukanlah karya terbaik Park Chan-Wook, begitu juga dengan “The Box” yang sangat lemah kalau dibandingkan dengan karya-karya fenonemal Takashi Miike lainnya.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com