MOVIE REVIEW: THE SHRINE (2010)

THE SHRINE
Sutradara: Jon Knautz
Kanada (2010)

Review oleh Tremor

The Shrine adalah sebuah film horor supranatural asal Kanada, disutradarai oleh Jon Knautz yang tiga tahun sebelumnya cukup dikenal setelah merilis debutnya, film komedi horror berjudul Jack Brooks: Monster Slayer (2007). Berbeda dengan debutnya, The Shrine adalah film yang jauh lebih serius dan sama sekali tidak memiliki unsur komedi. The Shrine lebih berfokus pada horor tradisional murni dengan perpaduan sedikit unsur backwoods horror, folk horror, serta supranatural. Film ini memang dimulai dengan sedikit lambat dan terasa agak klise pada babak pertamanya. Namun begitu memasuki babak kedua, The Shrine mulai mengubah arah ceritanya menjadi semakin menarik, lalu ditutup dengan babak ketiga yang membawa film ini ke arah yang sama sekali berbeda, membuat The Shrine sangat layak ditonton.

Pengalaman menonton The Shrine akan terasa biasa saja kalau sebelumnya penontonnya sudah tahu The Shrine akan menjadi film seperti apa. Karena The Shrine menyimpan perubahan arah dan kejutan yang menyenangkan, saya tidak akan menuliskan plotnya terlalu panjang, karena saya tidak ingin mengurangi keseruan bagi mereka yang belum pernah menontonnya. Seorang jurnalis ambisius bernama Carmen mengajak kekasihnya Marcus dan asisten Carmen bernama Sara untuk menginvestigasi tentang kasus hilangnya banyak backpacker Amerika di Polandia selama beberapa puluh tahun terakhir. Bermodalkan petunjuk dari jurnal seorang backpacker Amerika yang paling terakhir menghilang, Carmen dkk pun berangkat ke sebuah desa terpencil di Polandia. Sesampainya di sana, mereka segera disambut dengan ketidakramahan penduduk desa yang tidak bisa berbahasa inggris. Namun apa yang paling menyita perhatian Carmen adalah hadirnya segumpal kabut tebal mengambang di atas hutan di dekat desa. Kabut ini tampak sangat pekat, tidak bergerak, dan sangat ganjil seakan menentang hukum fisika manapun. Karena rasa penasaran Carmen, akhirnya mereka diusir dengan kasar oleh penduduk desa. Namun Carmen adalah orang yang keras kepala. Alasannya cukup valid. Ia telah membohongi boss-nya yang sebenarnya tidak mengijinkan Carmen untuk menginvestigasi kasus ini. Carmen tidak ingin pulang dengan tangan kosong dan kehilangan pekerjaannya setelah jauh-jauh terbang dari Amerika ke Polandia. Setelah diusir dan pergi menggunakan mobil, Carmen meminta Marcus menghentikan mobil di sisi lain hutan. Meskipun Markus tidak suka dengan ide ini, tapi ia tampaknya tetap berusaha mendukung karir Carmen. Markus pun menghentikan kendaraan dan mereka bertiga berjalan memasuki hutan menuju lokasi kabut ganjil yang mereka lihat sebelumnya. Sesampainya di sana, Sara dan Carmen yang sangat penasaran mulai berjalan menembus dinding kabut tebal. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah patung terletak di tengah-tengah hutan. Mulai dari sini, arah cerita The Shrine menjadi semakin menarik dan saya akan berhenti menuliskan plotnya.

Awalnya The Shrine tampak seperti film backwoods horor generik tentang “ancaman orang asing di tanah asing” semacam Hostel (2005) dan Turistas (2006), yang digabung dengan unsur folk horror seperti The Wicker Man (1973) atau The Apostle (2018). Namun film ini dengan cepat berubah menjadi jenis cerita yang sama sekali berbeda dengan yang kita duga. Selain twist yang menyenangkan sekaligus membuat keseluruhan plot menjadi lebih jelas, saya juga suka dengan keputusan para penulis The Shrine yang tidak menyediakan hard-subtitles setiap kali para penduduk desa berbicara satu sama lain atau berteriak-teriak pada Carmen dkk menggunakan bahasa Polandia. Perasaan asing seperti itu bisa membuat para penonton ikut merasa bingung dan cemas sama seperti yang dirasakan para karakternya. Lagi pula kalau kita bisa memahami bahasa Polandia, mungkin semua kejutan dalam plot The Shrine sudah terbongkar sejak awal, yang artinya kita akan kehilangan sensasi dari film ini. Mungkin juga ada sebagian dari penonton yang sudah bisa memprediksi twist-nya, namun poin menikmati sebuah film bukanlah soal tebak-menebak. Apapun itu, upaya Jon Knautz tetap pantas diapresiasi karena telah membuat kisah yang lebih unik dan menarik dibandingkan kebanyakan film sejenis.

The Shrine memang bukanlah film masterpiece spektakuler atau film yang mengubah wajah genre horor. Bajet film ini juga mungkin tidak terlalu besar. The Shrine juga dipenuhi dengan banyak keputusan bodoh yang diambil oleh karakternya (terutama Carmen) selama 81 menit durasi film berjalan, dari mulai pergi ke pelosok Polandia untuk mencari tahu tentang backpacker yang hilang tanpa memberitahu siapapun soal kepergian mereka; Menjelajahi gumpalan kabut yang tampak tidak wajar setelah diusir dengan kasar oleh penduduk setempat, hingga; Dengan lugu mengikuti seorang anak perempuan asing yang mengundang mereka masuk ke dalam sebuah bunker tua tanpa rasa curiga. Namun saya paham bahwa semua keputusan bodoh ini adalah hasil dari ego serta ambisi Carmen yang terlalu besar sebagai seorang jurnalis yang tak kenal takut. Di luar semua kekurangannya, film ini tetap menyenangkan dari awal hingga akhir. Saya pertama kali menonton The Shrine mungkin sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang lalu. Setelah saya memutuskan menonton ulang film ini untuk dituliskan reviewnya, rupanya saya masih menikmati The Shrine seperti yang saya rasakan ketika pertama kali menontonnya dulu. The Shrine tetaplah merupakan film horor supranatural yang menghibur, bagus, efektif, lengkap dengan beberapa special effect gore ringan yang dikerjakan dengan cukup baik, ditutup dengan twist menyenangkan yang tidak terasa dipaksakan sama sekali.