fbpx

MOVIE REVIEW: THE NIGHT EATS THE WORLD / LA NUIT A DÉVORÉ LE MONDE (2018)

THE NIGHT EATS THE WORLD / LA NUIT A DÉVORÉ LE MONDE
Sutradara: Dominique Rocher

Prancis (2018)

Review oleh Tremor

The Night Eats the World adalah film drama post-apocalyptic bertema zombie asal Prancis yang merupakan debut dari sutradara muda bernama Dominique Rocher, ditulis oleh diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karangan Pit Agarman. Sebagai film zombie, The Night Eats the World cukup menarik, extraordinary dan inovatif.

Film ini dibuka dengan premis dasar di mana protagonis utama kita yang bernama Sam, seorang musisi yang tinggal di Paris, mampir ke apartemen mantan pacarnya, Fanny, untuk mengambil beberapa kaset yang tertinggal di sana. Ia tidak menyangka kalau malam itu mantan pacarnya sedang mengadakan pesta besar di apartemennya. Kelihatannya Sam adalah seorang penyendiri dan introvert sejati. Di dalam pesta ini ia jelas tampak seperti seseorang yang terjebak, tidak menikmati dan ingin segera menyelesaikan urusannya lalu pulang. Di tengah hingar bingar musik dan banyak sekali orang, ia menyelinap masuk ke salah satu ruangan tempat kaset-kasetnya disimpan. Setelah menemukan apa yang ia cari, Sam tiba2 mimisan dan merasa pusing, lalu memutuskan untuk mengunci diri di ruangan itu dan beristirahat di sofa sambil menunggu pesta berakhir. Sam pun tertidur. Selama Sam tertidur, terdengar suara-suara keributan dari luar ruangan. Tapi Sam tidak mendengarnya.

Keesokan harinya Sam terbangun dan keluar dari ruangan tersebut hanya untuk menemukan bahwa apartemen tersebut sudah kosong, berantakan seperti kapal pecah, dan banyak cipratan darah di seluruh pojok ruangan. Siapapun yang berada dalam posisi Sam jelas akan merasa kebingungan. Saat hendak mencari tahu apa yang terjadi, Sam menemukan mantan kekasihnya sedang duduk di tangga di luar pintu. Saat Sam panggil namanya dari balik pintu, Fanny menoleh dengan setengah wajahnya yang sudah hancur, lalu berusaha menyerang Sam. Sam panik dan segera menutup dan mengunci pintu rapat-rapat. Walaupun kita sebagai penonton tahu betul bahwa ini adalah zombie apocalypse, tetapi Sam kebingungan tidak tahu apa yang terjadi. Ia melihat keluar jendela dan betapa kagetnya bahwa jalanan di luar sana sama berantakannya, dan dipenuhi dengan zombie.

Sam berlari ke atap gedung dan menemukan bahwa dalam semalam kota Paris sudah menjadi kota mati yang sunyi. Ia bahkan sempat menyaksikan satu keluarga dari apartemen di seberang jalan yang mencoba melarikan diri dengan mobil, dan usaha mereka sia-sia karena gerombolan zombie berhasil menghentikan langkah mereka. Menyadari bahwa di luar bangunan sama sekali tidak aman, Sam akhirnya mulai mengamankan apartemen tersebut untuk dijadikan sebagai tempat berlindung. Sam memeriksa setiap ruangan, menandai dan mengunci setiap kamar yang masih “berpenghuni” sambil mengumpulkan apapun yang bisa ia temui dari mulai stok makanan, ipod, senjata, hingga satu set drum. Sam juga menemukan seorang pria tua bernama Alfred yang sudah menjadi zombie terjebak di dalam lift kuno berteralis besi, dan ia membiarkan zombie Alfred tetap “hidup” terkunci disitu.

Sam memang aman di dalam apartemen tersebut, jauh dari ancaman para zombie pemakan daging di luar. Setelah melewati kebingungan dan disorientasi, Sam akhirnya mendapat cukup waktu untuk berdamai dengan realita barunya: bahwa mungkin seluruh dunia memang sudah berubah, dan bisa jadi dia adalah satu-satunya manusia yang hidup. Survival adalah sesuatu yang akan ia pelajari. Sam bukan tipe tough guy heroik seperti yang kita temui dalam kebanyakan film zombie, jadi apa yang ia lakukan cukup masuk akal. Akhirnya Sam sanggup beradaptasi dengan cukup cepat, melanjutkan hidup dengan cara yang tampak normal di dalam gedung apartemen yang kini seperti jadi miliknya sendiri. Tidak semua yang terjadi itu buruk bagi Sam yang penyendiri karena ia mengisi waktu dengan banyak kegiatan. Ia menghitung hari, mencatat sisa stok makanan, berkeliaran di dalam gedung, hingga membuat musik dan beat dan nada lewat benda-benda di sekitarnya. Ingat bahwa Sam adalah seorang seniman musik, sekaligus seorang introvert. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian dan selalu menemukan cara untuk menyibukkan diri dalam rangka menjaga kewarasannya. Pada dasarnya Sam seakan menetap hanya untuk menunggu. Tapi apa yang sebenarnya ia tunggu?

Setelah sekian lama terisolasi dan terasing seorang diri, secara perlahan kita bisa melihat mental Sam mulai terkikis. Ia banyak menyalurkan kebutuhan interaksi sosialnya dengan berbincang-bincang lebih sering pada zombie Alfred yang terkunci dalam lift. Sam bahkan berdebat dengannya. Berbincang dengan Alfred bisa dibilang sama seperti berbincang dengan pot bunga. Keadaan sebenarnya semakin memburuk bagi Sam. Tidak ada listrik, tidak ada air (ia bertahan hidup dengan mengumpulkan air hujan dan embun di atap gedung), tidak ada pemanas saat musim dingin tiba, tidak ada tentara dan misi penyelamatan yang datang. Keputusasaan dan rasa bosan mulai menghantam Sam. Berbulan-bulan Sam tidur dalam kondisi siaga dan tidak pernah bertemu manusia hidup lain. Sebuah pertanyaan mulai muncul, sampai kapan Sam sanggup hidup sendirian dalam dunia yang sunyi ini? Sam jelas sangat kesepian dan mulai jenuh dengan rutinitasnya. Sam bahkan sempat hendak mengambil seekor kucing yang ia lihat di jalan, mungkin karena ia butuh teman. Momen lainnya adalah saat suatu hari ia menyadari kalau zombie-zombie yang tadinya berkeliaran di luar gedung sudah tidak ada. Mungkin mereka sudah bergerak ke area lain untuk memangsa. Dengan putus asa Sam mulai menabuhkan snare drum sambil berteriak-teriak di atas balkon, memancing agar para zombie kembali berkeliaran di luar “rumah”nya. Sebegitu kesepiannya Sam. Mungkin rasa bosan dan kesepian karena terisolasi di dalam satu tempat yang sama memang ada batasnya.

Kebanyakan film zombie menampilkan sekelompok kecil survivor yang berusaha bertahan hidup dalam skenario post-zombie-apocalypse, dari mulai dari Night of the Living Dead (1968)-nya George Romero, Dawn of the Dead (1978), Zombieland (2009), hingga serial TV The Walking Dead. Dalam skenario kiamat zombie, para survivor harus bekerja sama dalam sebuah tim, dan tidak jarang harus bersitegang dengan sesamanya, atau dengan kelompok manusia lainnya. Tetapi The Night Eats the World menawarkan kisah yang sama sekali lain dengan cara menyoroti seorang survivor yang secara sukarela mengisolasi dirinya sendiri. Kita tidak pernah melihat sisi itu dalam setiap cerita zombie. Bagaimana seorang survivor menyikapi kenyataan bahwa ia hidup sendirian di tengah dunia yang dipenuhi oleh mayat hidup dan tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali menunggu semuanya kembali baik-baik saja. Tema serupa sebenarnya pernah diangkat sepintas dalam film I Am Legend (2007), walaupun dalam film itu Will Smith cukup beruntung karena ia setidaknya ditemani oleh seekor anjing. Bedanya lagi, I Am Legend lebih banyak menampilkan aktivitas protagonis yang secara aktif berkeliaran di luar mencari survivor lain sambil menenteng senjata dan melakukan banyak aksi heroik. Sam bukan tipe orang seperti itu. Ia adalah tipe yang tidak akan sanggup membantai zombie sendirian. Ia lebih memilih untuk mengurung diri dan berpura-pura bahwa dunia di luar sana baik-baik saja. Kenyataan ini kalau dipikir-pikir memang lebih realistis dari pada film zombie action pada umumnya: zombie apocalypse mungkin bukanlah jenis kiamat yang menyeramkan, tetapi kiamat yang depresif, hampa, membosankan dan dunia yang kita kenal tiba-tiba menjadi sangat sepi. Setelah sanggup bertahan selama berbulan-bulan dalam kesendirian seperti Sam, mungkin penampakan para zombie bisa kalah menyeramkan dibanding dengan kenyataan bahwa kita adalah satu-satunya manusia di dunia ini.

Ada faktor lain yang sangat mendukung suasana “kesepian” dalam film ini, dan ini cukup menarik. Zombie dalam The Night Eats the World bukanlah jenis zombie biasa. Walaupun mereka adalah jenis zombie yang bisa bergerak dengan cepat kalau ada mangsa, semacam yang bisa kita temui dalam 28 Days Later (2002) atau World War Z (2013), tetapi mereka sama sekali tidak bersuara. Biasanya kita bisa melacak adanya zombie mendekat lewat suara-suara erangan atau teriakan yang keluar dari mulut zombie. Dalam film ini, para zombie sama heningnya dengan suasana kota Paris yang Sam lihat. Tidak ada suara sedikitpun keluar dari mulut mereka, bahkan saat mereka menyerang. Konsep zombie semacam ini justru mengerikan menurut saya. Kita tidak bisa melacak keberadaan mereka dalam gelap lewat suara, sementara mereka mampu menjadi agresif dengan cepat saat mencium mangsa. Jadi, keputusan Sam untuk mengunci diri dalam bangunan apartemen yang relatif aman tersebut cukup bisa dimengerti.

The Night Eats the World cukup menarik dan realistis menurut saya karena ia berfokus pada studi mental dalam menghadapi rasa sepi di hari kiamat. Setelah menonton film ini, saya mulai bertanya-tanya pada diri saya sendiri, apa yang akan saya lakukan kalau skenario kiamat zombie terjadi dan hanya tinggal saya seorang diri di dunia ini? Bagaimana perasaan saya? Bagaimana cara saya menerima kenyataan itu? Berapa lama saya bisa hidup dalam kehampaan, ketidaktahuan, kebingungan, isolasi, kesendirian dan alienasi? Kalau dipikir-pikir, ide itu bisa jadi lebih “menyeramkan” dan gelap dibanding aksi dikejar-kejar zombie. Tidak ada adrenalin dalam kesendirian. Film The Night Eats the World mungkin tidak akan memuaskan hati semua penggemar film zombie, apalagi mereka yang mengharapkan adegan gore, darah dan aksi heroik melawan kepungan gerombolan zombie. Tapi ini adalah film zombie yang paling realistis, dan yang paling sunyi, yang pernah saya tonton.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com