fbpx

MOVIE REVIEW: THE HOUSE OF THE DEVIL (2009)

THE HOUSE OF THE DEVIL
Sutradara:
Ti West
USA (2009)

Review oleh Tremor

Bagi sutradara Ti West, film The House of the Devil adalah batu loncatan menuju karirnya yang kemudian semakin berkembang. Sebelumnya, ia memang sudah pernah membuat dua film lainnya, tapi tidak sesukses The House of The Devil yang ia sutradarai, tulis, sekaligus edit ini. Setelah The House of the Devil, Ti West kemudian membuat beberapa film horror lainnya dari mulai Cabin Fever 2 (2009), dan The Innkeepers (2011). Tak berhenti di situ, ia turut terlibat dalam dua antologi horror internasional yaitu V/H/S dan The ABCs of Death pada tahun 2012, dan film The Sacrament pada 2013. Dari kesemua filmnya yang pernah saya tonton, menurut saya The House of The Devil tetaplah masterpiece-nya.

Kalau kita tidak sengaja menonton The House of the Devil di TV tanpa tahu kapan film ini dibuat, mungkin kita akan menyangka bahwa film yang sedang diputar itu adalah film tahun 70-an akhir, atau maksimal 80-an awal. Menurut saya itu adalah sebuah pujian, karena The House of the Devil memang dengan sengaja dibuat layaknya homage bagi film horror akhir 70an / awal 80an (atau anggap saja mashup dari kedua era tersebut). Film ini terasa seperti sebuah produksi film horor buatan Tobe Hooper atau John Carpenter tahun 1979 yang tidak sengaja hilang sebelum dirilis, lalu master-nya kembali ditemukan 30 tahun kemudian. Sejujurnya saya tidak bisa memilih era mana yang hendak saya jadikan acuan, akhir 70an atau awal 80an. Era ini adalah era dimana film-film horror memiliki suasana, ciri dan tema yang khas dibanding film-film sebelum atau sesudahnya. Kalau dekade 80an adalah masa yang identik dengan film-film horror yang fun penuh darah, dan seringnya dipadu dengan drama remaja bahkan komedi, tetapi tahun 70an hingga awal 80an adalah milik film-film horror yang jauh lebih serius. Era ini juga adalah era transisi dalam banyak hal, dari mulai gaya pembuatan film, hingga gaya rambut dan pakaian orang-orangnya; era dimana semua tampak kusam, jauh sebelum warna-warni neon ala dayglo menjadi sebuah trend global. Sebenarnya apa yang ingin saya gambarkan ini cukup sulit untuk dituangkan dalam kata-kata. Kalian akan memahami apa yang saya maksud kalau kalian sudah menonton banyak sekali film-film horror dari era tersebut. Untuk memberi sedikit bayangan, film-film seperti Halloween (1978), The Amityville Horror (1979), When a Stranger Calls (1979), The Fog (1980), hingga Possession (1981) tentu memiliki style yang sangat kuat dan menempel di benak kita semua, tetapi sulit untuk dijelaskan karena saya bukan orang yang ahli mendeskripsikan rasa. Tapi kira-kira, menonton The House of the Devil memberi rasa yang sama seperti menonton film-film yang datang dari era tersebut. Saya akan membahas soal ke-retro-an The House of The Devil lagi lebih lanjut nanti.

Plotnya sendiri sebenarnya sangat sederhana. Seorang mahasiswi bernama Samantha Hughes di tahun 1980-sekian, ingin menyewa sebuah rumah kecil karena ia tidak betah tinggal di asrama bersama teman sekamarnya yang berantakan. Masalahnya, Samantha perlu mencari $300 agar ia bisa membayar sewa bulan pertama rumah impiannya. Pada sebuah papan iklan sekitar kampus, Samantha melihat sebuah iklan pencarian babysitter. Karena membutuhkan uang dengan cepat, akhirnya Samantha pun menelpon nomor yang tertera. Pria yang memasang iklan itu mengatakan bahwa ia sangat membutuhkan babysitter malam itu juga karena ia dan istrinya harus pergi menghadiri pesta menyambut gerhana bulan yang akan terjadi tepat pada tengah malam itu.  Sejak awal film ini dimulai, kita memang sudah diberi tahu tentang fenomena alam itu lewat beberapa selebaran di papan iklan. Pria tersebut mengatakan bahwa Samantha hanya perlu bekerja selama 4 jam saja. Tanpa pikir panjang, Samantha menyanggupinya. Malam itu juga sahabat Samantha yang bernama Megan pergi mengantarnya menggunakan mobil. Megan yang sedang tidak memiliki kegiatan apapun malam itu bersikeras ingin menemani Samantha. Lagipula ia tampaknya khawatir kalau terjadi hal yang tak diinginkan pada sahabatnya. Bekerja di dalam rumah orang asing bisa saja berakhir dengan buruk. Tibalah mereka pada alamat yang dituju, sebuah rumah besar terpencil di tengah hutan. Di sana mereka disambut oleh pak Ulman, lelaki tua pemilik rumah yang memasang iklan pencarian babysitter. Ia terlihat sangat sopan tapi juga cukup kikuk, dan tentu saja gelagatnya mencurigakan.

Dalam ruangan terpisah, pak Ulman berbicara empat mata dengan Samantha. Ia mengajukan keberatannya kalau Megan ikut menemani Samantha. Tapi ada hal yang lebih mengejutkan keluar dari mulut pak Ulman. Pria tua tersebut mengakui bahwa sejujurnya malam itu Samantha dipekerjakan bukan untuk menjaga anak, melainkan ibu mertua pak Ulman yang sudah lanjut usia. Samantha pun ragu dan mencoba untuk mundur dari pekerjaan ini. Ia jelas tidak memiliki pengalaman menjaga lansia. Tetapi pak Ulman memberikan sebuah tawaran yang sangat sulit ditolak. Ia meyakinkan Samantha bahwa ibu mertuanya bisa menjaga dirinya sendiri di kamar lantai atas dan Samantha tidak benar-benar perlu melakukan apapun selain diam di dalam rumah itu sampai pak Ulman dan istrinya kembali. Samantha masih sedikit ragu hingga akhirnya pak Ulman yang putus asa menawarkan bayaran sebesar $400 untuk empat jam bekerja. Tergiur dengan tawaran ini, Samantha langsung menyetujuinya. Dengan berat hati ia meminta Megan untuk pergi dan menjemputnya kembali lewat tengah malam. Megan tentu saja protes dan memohon Samantha membatalkan pekerjaan ini. Megan yang sejak awal sudah curiga dengan tawaran ini akhirnya tidak benar-benar pulang. Dengan mobilnya, ia berhenti di area pemakaman yang berada dekat rumah pak Ulman untuk merokok sambil menunggu Samantha selesai bekerja.

Kejanggalan sudah terasa sejak awal Samantha memasuki rumah megah itu. Sebelum pak Ulman dan istrinya pergi, Samantha sempat bertemu dengan istri pak Ulman. Nyonya Ulman datang dari ruang bawah tanah saat pak Ulman seakan-akan sedang berbicara dengannya di lantai atas. Akhirnya tinggallah Samantha seorang diri. Seperti kebanyakan anak muda yang naif, penuh rasa penasaran dan ingin menghabiskan waktu, Samantha berjalan-jalan di dalam rumah, melihat-lihat setiap isi ruangan yang ada, menyentuh beberapa benda. Ia mencoba menonton TV yang sedang menayangkan film Night of the Living Dead-nya George Romero, tapi sepertinya tetap kurang menarik bagi Samantha. Ia juga sempat berusaha mengerjakan tugas kuliahnya, tetapi ia kembali merasa bosan. Samantha akhirnya memesan pizza, memasang musik di walkman-nya sambil menari-nari hingga secara ceroboh menyenggol sebuah vas hingga jatuh dan pecah. Saat sedang membersihkannya, tidak sengaja Samantha menemukan sebuah kotak yang berisi foto-foto keluarga. Dalam foto-foto tersebut, keluarga ini sedang berpose di depan rumah yang sedang Samantha jaga ini, lengkap dengan mobil yang sebelumnya Samantha lihat terparkir di depan rumah. Anehnya, keluarga di dalam foto ini sama sekali bukan keluarga pak Ulman. Sangat jelas bagi Samantha bahwa ada sesuatu yang sangat salah di dalam rumah ini. Ia mulai mencurigai siapa yang sebenarnya sedang ia jaga, dan ketegangan dalam film ini pun terus meningkat hingga pada klimaksnya.

Kalau kalian mengharapkan film gore dan banyak darah, kalian boleh kecewa karena The House of the Devil adalah film yang lebih mengedepankan atmosfer dan suasana. Ti West melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam mengeksploitasi ketegangan, membiarkannya atmosfer dan rasa ngeri terbangun secara perlahan. Jujur, saya sangat menikmati eksekusi yang dilakukan dengan baik oleh Ti West. House of the Devil membuktikan bahwa Sutradara West memiliki mata dan selera yang sangat bagus untuk hal visual dan detail. Ia juga sangat mampu menciptakan ketegangan, khususnya ketegangan ala film horor 70/80-an klasik yang otentik. Sejak memasuki rumah pak Ulman, tentu penonton tahu betul bahwa malam itu akan berakhir dengan tidak baik bagi Samantha, dan kita hanya bisa duduk mengantisipasi hal mengerikan yang mungkin saja terjadi ketika gerhana bulan akhirnya benar-benar datang. Disitulah saya perlu memuji Ti West dalam membuat frame yang tampak mencurigakan di segala sudut. Permainan bayangan dan pencahayaan yang membuat kita mempersiapkan diri kalau-kalau ada sesuatu yang menyeramkan muncul. Rasanya benar-benar seperti menonton film tahun 70-an dimana jump-scare belum menjadi satu-satunya modal film horror untuk menakut-nakuti. Ya, hal lain yang saya suka dari film ini adalah tidak adanya satupun jump-scare, walaupun sebenarnya ada banyak sekali peluang di setiap pojok gelap ruangan yang Samantha lewati. Setiap kali Samantha berkeliaran di dalam rumah tua yang gelap itu sendirian, mengintip di setiap kamar dan lemari, berjalan melewati tangga dan koridor rumah, menggunakan toilet dan sebagainya, kita seakan berharap untuk melihat sesuatu yang mengerikan di sana. West membangun ketakutan dan teror layaknya seorang pro, ia memahami rasa takut klasik ala Hitchcock dan Lovecraft: bahwa orang takut pada apa yang tidak mereka lihat, dan yang tidak mereka ketahui.

Mungkin terhitung sejak Robert Rodriguez and Quentin Tarantino membuat Grindhouse pada tahun 2007, banyak orang terinspirasi untuk membuat film bergaya serupa: parodi konyol horror kelas B 80-an yang memang sengaja dibuat buruk secara berlebihan seperti Planet Terror, Death Proof ataupun Machete (yang kesemuanya saya nikmati dengan cara berbeda). Tapi The House of the Devil jelas tidak mengikuti jejak tersebut. Ti West tidak sedang membuat film parodi yang mengundang senyum simpul pada wajah penonton, ia tidak mereplika kenorakan film-film kelas-B 80an, tetapi ia membuat teror horror 70/80-an yang otentik dan serius, tanpa perlu berlebihan. Seperti sudah saya tulis berulang kali sebelumnya, The House of the Devil terasa seperti benar-benar dibuat pada tahun akhir 70-an / awal 80-an. Dari mulai scoring synth/rock yang menyeramkan, kredit pembukaan yang luar biasa vintage, sudut pandang kamera, cara pengambilan gambar yang penuh zoom out dan zoom in yang lambat, gambar yang grainy, pencahayaan kelam, hingga model rambut, semuanya terasa sangat otentik mashup 70/80-an. Gaya nostalgia yang ditampilkan dalam The House Of The Devil sangat berbeda dan tidak semanis film-film lain yang berusaha menjual gimmick visual nostalgia secara berlebihan (seperti yang dilakukan oleh serial Stranger Things yang dibuat dengan modern, tetapi memiliki banyak gimmick 80-an.) Untuk memperkuat visual retro-nya, Ti West bahkan menggunakan film 16mm yang sangat populer di tahun 80-an untuk membuat film The House of The Devil. Itulah mengapa grain di sepanjang film terasa sangat otentik. Kamera yang seringkali melakukan zoom-in pada karakter film juga adalah salah satu teknik yang sangat disukai pada periode 70/80an. Hal lain yang turut memperkuat nuansa retro 70/80an film ini adalah para pemainnya yang memang memiliki wajah dan fitur yang terlihat sangat oldschool. Jadi, kita tidak akan melihat karakter-karakter berwajah modern yang seakan sedang berpesta kostum ala 70-an. Fitur yang dimiliki oleh pemeran Samantha contohnya yang paling kuat, membuatnya tampak seakan-akan ia benar-benar hidup dalam periode waktu tersebut.

Walaupun saya kurang sreg dengan ending film ini, tapi kalau dipikir-pikir, cara West menulis ending-nya juga sedikit mengingatkan saya pada banyak film horror 80-an: kejutan yang tidak memerlukan logika. Ke-retro-an film ini tidak hanya berhenti di soal gaya pembuatan film dan penulisan saja. The House of the Devil bahkan mengambil tema yang juga populer di tahun 70-an: satanisme. Dekade 70-an adalah era yang sering disebut sebagai era Satanic Panic, dimana masyarakat Amerika (dan mungkin belahan bumi lain) merasa panik dan mencurigai kebangkitan agama satanisme, menjadikan satanisme sebagai kambing hitam atas segala hal buruk yang terjadi. Hal ini sebenarnya sudah mulai dipicu sejak dirilisnya Satanic Bible dan gereja setan Anton LaVey menjelang akhir 60-an. Semua orang tua mulai mencurigai bahwa musik keras adalah musik setan, dan semua hal buruk yang terjadi adalah bagian dari agenda gelap sekte pemuja setan. Untuk mencegah berkembangnya satanisme, maka mulai lahirlah literasi dan film di budaya populer yang menarasikan betapa berbahayanya setan dan para pemujanya, dari mulai Rosemary’s Baby (1968), The Exorcist (1973),  hingga The Omen (1976). Selain gaya dan tema yang sudah saya bahas, alur dan ritme film The House of the Devil  juga tak kalah retronya: sangat lambat layaknya film-film horror tahun 70-an. Masih ingat betapa lambatnya film Rosemary’s Baby? Kira-kira seperti itu. Mungkin beberapa penonton modern akan menganggap build-up seperti ini dirasa terlalu lambat, tapi saya yakin hal tersebut memang sengaja dilakukan untuk membangun kecemasan kita secara perlahan. Beberapa film horror memang perlu memiliki alur yang lambat, karena di sanalah mood, atmosfer hingga ketegangan dibangun secara perlahan dan mendalam. Maka tak heran kalau The House of The Devil terasa seperti benar-benar film 70/80an asli, karena Ti West begitu maksimal memikirkan semua detail retronya.

Cerita yang ada dalam The House of the Devil tidak akan efektif kalau ditempatkan pada setting waktu zaman modern. Kita tidak akan percaya dengan kenaifan karakter Samantha, dan kita tidak akan peduli dengan “pesan terselubung” soal bahayanya Satanisme. Jadi, setting latar tahun 80-an bukanlah gimmick semata, tetapi memang itulah satu-satunya cara untuk menceritakan kisah seperti ini. Tanpa adanya penggunaan CGI yang menyebalkan, dan tentu saja tidak ada ponsel untuk Samantha meminta pertolongan. Akhir kata, House of the Devil adalah sebuah film horror yang sarat akan atmosfer menyeramkan, penuh gaya, dan sebuah film retro yang dikerjakan dengan penuh perhatian dan dedikasi luar biasa.  Film ini wajib ditonton oleh para penggemar horror, terutama mereka yang menyukai film-film klasik 70/80an. Inilah contoh sebuah film horror nostalgia mashup 70/80-an yang dikerjakan dengan benar. Di luar ending-nya yang penuh perdebatan, keseluruhan film The House of the Devil sangat asyik sekaligus menegangkan untuk ditonton.

 

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com