fbpx

MOVIE REVIEW: THE FOG (1980)

THE FOG
Sutradara: John Carpenter

USA (1980)

Review oleh Tremor

Bagi kalian penggila film horror tentu saja sudah tidak asing dengan nama John Carpenter. Tapi bagi yang belum tahu, ia adalah salah seorang sutradara yang membuat banyak film horror dengan subgenre yang berbeda-beda, dari mulai slasher, sci-fi, supranatural, hingga horror-action. Walaupun dengan bajet sangat terbatas, film fenomenal Halloween (1979) berhasil mengharumkan namanya dan cap sebagai sutradara horror mulai menempel pada Carpenter. Setahun setelah kesuksesan Halloween, ia kembali bekerja sama dengan produser / co-writer Hallowen yang bernama Debra Hill, lengkap dengan menggaet cast Jamie Lee Curtis sang scream queen (yang juga bermain dalam Halloween sebagai Laurie) untuk membuat film baru yang sama sekali berbeda dari Halloween, sebuah film horror supranatural atmosferik berjudul The Fog. Setelah membuat The Fog, John Carpenter kembali memperlihatkan kehebatannya lewat film-film lain seperti Escape from New York (1981), Prince of Darkness (1987), They Live (1988) dan tak ketinggalan salah satu film favorit saya secara pribadi: The Thing (1982).

The Fog berkisah mengenai kutukan yang menimpa sebuah dusun pinggir laut bernama Antonio Bay. Film ini dibuka dengan urban legend yang diceritakan oleh seorang pelaut tua kepada sekelompok anak kecil di depan api unggun di tengah malam: saat dusun mereka berdiri 100 tahun yang lalu, ada sebuah kisah tragis yang terjadi pada sekelompok pelaut yang kapalnya tersesat di tengah laut karena kabut tebal. Setelah berusaha mengikuti cahaya api unggun di daratan yang secara samar mereka lihat dari balik kabut (mereka pikir cahaya itu adalah cahaya mercusuar), kapal tersebut akhirnya karam menabrak karang. Menurut legenda, 100 tahun kemudian para hantu pelaut tersebut akan kembali dalam kabut dan membalas dendam pada mereka yang menyalakan api unggun tepat di malam sebelum hari jadi Antonio Bay, malam saat legenda ini dituturkan. Seperti umumnya tradisi cerita api unggun, urban legend ini diceritakan untuk menakut-nakuti anak-anak kecil tersebut. Apa yang pelaut tua itu tidak sadari adalah bahwa cerita seram yang ia tuturkan mungkin ada benarnya juga.

Di malam yang sama, beberapa menit sebelum memasuki hari jadi dusun Antonio Bay, gangguan-gangguan supranatural mulai terjadi. Beberapa cermin dan kaca retak, ada goncangan di beberapa tempat, alarm mobil berbunyi, listrik padam, dan lain sebagainya. Tapi hanya sedikit dari penduduk dusun yang menyadarinya, karena layaknya dusun kecil, tidak ada kehidupan malam di sana dan semua orang sudah tertidur. Salah satunya yang belum tidur adalah seorang Pastor setempat bernama Malone yang tinggal di gereja tua. Gereja tersebut berumur sama dengan dusun Antonio Bay dan merupakan salah satu bangunan pertama di sana. Saat itu Malone sedang meneguk anggur ketika tiba-tiba seperti terjadi goncangan kecil di ruangannya yang menyebabkan salah batu di dinding terbelah dan jatuh, menguak sebuah ruang penyimpanan rahasia di baliknya. Apa yang tersembunyi di dalam sana adalah sebuah buku harian tua berumur 100 tahun, ditulis oleh salah satu pendiri Antonio Bay yang ternyata adalah kakek langsung dari Pastor Malone. Tulisan-tulisan dalam buku ini berisi pengakuan rahasia gelap kakek Malone beserta lima pendiri dusun lainnya yang dengan sengaja menjebak dan menenggelamkan sebuah kapal bernama Elizabeth Dane beserta para krunya yang merupakan komunitas penderita kusta, lalu menjarah harta kekayaan mereka. Pendiri dusun Antonio Bay merasa berhasil membasmi penyakit kusta dan mendapat banyak sekali emas dengan cara yang tidak benar.

Beberapa karakter utama dan karakter minor mulai diperkenalkan kemudian. Karakter yang menurut saya paling penting dalam kisah ini adalah seorang penyiar radio setempat bernama Stevie Wayne yang memancarkan siaran dari studio di mercusuar miliknya. Siaran tengah malam Wayne berlangsung selama satu jam mulai dari tengah malam, jam yang ia sebut sebagai witching hour, dan kebetulan adalah waktu yang sama ketika kabut tebal misterius tiba-tiba muncul di laut. Lalu ada karakter bernama Dan O’Bannon, seorang pemantau cuaca yang kerap menelpon Stevie untuk menggodanya setiap kali Stevie sedang siaran. Dari pantauannyalah Stevie pertama kali mengetahui adanya kabut di laut yang bergerak melawan arah angin, dan kemudian melaporkan dalam siarannya kepada para penduduk Antonio Bay yang masih bangun. Karakter lain bernama Nick Castle sedang menyetir mobilnya. Sambil ditemani suara dari Stevie Wayne di radio, Nick berhenti di tengah jalan untuk memberi tumpangan pada seorang hitchhiker muda bernama Elizabeth. Tak lama kemudian tiba-tiba jendela truk Nick pecah berantakan tanpa sebab.

Masih dalam momen malam yang sama, tiga nelayan Antonio Bay sedang melaut dengan sebuah kapal pemancing yang bernama kapal Seagrass. Sehabis minum-minum dan berencana untuk kembali merapat ke Antonio Bay, salah satu dari mereka mulai menyadari bahwa kabut pekat dan masif mendekati kapal Seagrass. Saat kapal mereka sudah benar-benar terselimuti kabut tebal, siluet kapal kuno muncul dan berhenti tepat di samping Seagrass. Penumpang kapal misterius itu tidak benar-benar terlihat dengan jelas selain siluet dalam kabut. Yang jelas terlihat adalah mereka semua tampak bersenjata pedang dan kail besar. Seluruh kru Seagrass pun dibantai dengan cepat. Pagi harinya, mayat kru Seagrass ditemukan dengan kondisi seakan-akan sudah tenggelam dalam air laut selama berminggu-minggu.

Perayaan kecil untuk memperingati hari jadi dusun Antonio Bay akan diadakan pada malam itu, dan seluruh elemen dusun sedang sibuk mempersiapkan acara. Apa yang penduduk Antonio Bay tidak ketahui adalah kabut misterius masih terus bergerak mendekati dusun mereka dari arah laut. Kabut ini jelas bukan kabut biasa. Ia terlihat sangat masif, padat, berpendar, dan tidak mengikuti hukum alam dan gaya fisika manapun. Ada sesuatu yang mengerikan dalam kedatangan kabut tebal tersebut: sebuah teror balas dendam dari kapal Elizabeth Dane lengkap dengan para krunya. Dusun Antonio Bay terkutuk karena dibangun di atas nyawa, dan keserakahan para pendiri Antonio Bay beserta dosa-dosa masa lalu nenek moyang yang selama ini merupakan rahasia gelap masa lalu, kembali menghantui Antonio Bay.

Kisah hantu yang diceritakan dalam The Fog jelas memiliki segala unsur horor klasik ala komik horor tahun 50-an seperti Tales from the Crypt dan Vault of Horror, yang mungkin Carpenter nikmati di masa mudanya. Namun John Carpenter tampaknya memang cukup lemah dalam hal penulisan. Dari segi cerita, plot dan ritme film The Fog cukup berantakan. Kita bahkan tidak tahu apa-apa tentang para karakternya. Salah satu masalah utama saya dengan the Fog adalah betapa tidak bergunanya karakter Elizabeth yang diperankan oleh Jamie Lee Curtis. Ia tidak memiliki koneksi apapun dalam keseluruhan cerita. Kalaupun karakternya dihilangkan, rasanya tidak akan merubah keseluruhan cerita. Dan ini sangat menganggu, karena tentu penonton menanti-nanti kapan karakter Jamie Lee Curtis akan melakukan sesuatu yang signifikan bagi keseluruhan cerita. Momen itu tidak pernah datang. Entah mengapa Jamie Lee Curtis yang cukup fenomenal dalam Halloween diberi peran karakter tidak berguna seperti ini. Di luar semua ekspektasi calon penonton, bintang dalam The Fog justru adalah sang DJ radio, Stevie Wayne. Stasiun radio dalam film ini benar-benar bekerja sebagaimana semestinya dalam sebuah komunitas kecil seperti Antonio Bay. Selain sebagai sumber hiburan warganya dan para nelayan yg melaut, siaran radio di dusun terpencil ini juga menjadi satu-satunya pusat informasi saat ada mara bahaya, dan Stevie Wayne menggunakan radionya dengan sangat tepat dalam usaha menyelamatkan keluarga beserta dusun kecilnya.

Di luar komplain saya barusan, tetap saja ada lebih banyak hal yang saya suka dari The Fog. Yang pertama adalah sosok para hantu kru kapal Elizabeth Dane yang digambarkan dengan sangat misterius sekaligus tampak mengancam. Desain para hantu ini bisa dibilang sederhana, namun lebih menyeramkan dibandingkan penampakan hantu yang blak-blakan seperti dalam film horror modern, Valak misalnya. Sosok para hantu The Fog hanya ditampilkan dalam bentuk siluet dan bayangan gelap sekelibat yang muncul dari balik kabut tebal. Dalam beberapa momen, mereka juga tampak seperti zombie yang selalu basah. Setiap kali salah satu hantu ini mendekat korbannya, kita bisa mendengar suara gemercik tetesan air dan temperatur udara seketika menurun. Saat kapal Seagrass ditemukan, banyak barang sudah berkarat walaupun deknya tetap kering, seakan-akan telah terpapar air laut sekian lama. Kita tahu bahwa air asin menyebabkan karat dalam waktu yang sangat singkat, dan ini adalah salah satu detail yang sangat diperhatikan oleh Carpenter dalam mendesain ciri khas karakter hantu laut-nya. Sosok hantu yang paling keren dari semua kru kapal Elizabeth Dane adalah pemimpin mereka dengan mata merah bersinar, yang baru muncul dalam klimaks film. Namun penampakan para hantu ini tidak akan terasa seefektif dan semengancam itu tanpa kehadiran kabut tebal di sekitar mereka, ditambah dengan skor musik yang mengiringinya. Perpaduan ini adalah hal kedua yang saya suka dari The Fog. Di sinilah film ini benar-benar bersinar sebagai film horor.

The Fog adalah bukti nyata bahwa John Carpenter adalah master dalam menciptakan atmosfer mengerikan meskipun hanya menggunakan efek sederhana dan kekuatan skor musik saja. Walaupun pada akhirnya The Fog bisa dibilang merupakan karya terlemah Carpenter dalam masa produktifnya, era 80-an, (bahkan ditulis dengan lebih berantakan dari Halloween) film ini tetap merupakan salah satu karya John Carpenter yang patut diperhitungkan dalam sejarah film horor. Ia berhasil membuat kabut tampak sebagai sesuatu yang pantas untuk ditakuti, dan tentu itu bukan hal yang mudah. Dan seperti kebanyakan film buatannya, Carpenter juga menulis langsung scoring musiknya dan selalu menjadi ciri khas yang sangat kuat dalam semua film-film buatannya. Overall, The Fog merupakan film yang tetap menyenangkan untuk ditonton dan bisa menjadi pilihan tepat bagi para penonton yang ingin berkenalan dengan horror atmosferik klasik.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com