fbpx

MOVIE REVIEW: THE COFFEE TABLE / LA MESITA DEL COMEDOR (2022)

THE COFFEE TABLE / LA MESITA DEL COMEDOR
Sutradara: Caye Casas
Spanyol (2022)

Review oleh Tremor

The Coffee Table yang berjudul asli “La mesita del comedor” adalah sebuah film tragedi komedi gelap yang suram, nihilistik dan intens, karya dari sutradara Spanyol bernama Caye Casas yang sebelumnya cukup dikenal setelah membuat film komedi horror berjudul Killing God (2017). Lewat The Coffee Table yang ia tulis bersama rekannya Cristina Borobia, Casas menulis sebuah drama psikologis sederhana dengan premis yang mengerikan, dicampur dengan komedi gelap yang tidak membuat nyaman, dan jelas tidak dirancang untuk diterima oleh semua kalangan. Karena kekuatan The Coffee Table terletak pada situasi, plot, dan dialog, maka saya sangat merekomendasikan menonton film ini secara buta bagi mereka yang ingin menontonnya. Semakin sedikit yang diketahui sebelum menontonnya, pengalaman menonton The Coffee Table akan lebih terasa dampaknya. Tapi saya perlu memberi peringatan: film ini bisa jadi cukup mengganggu bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang memiliki anak bayi. The Coffee Table adalah film yang sangat psikologis dan bisa saja mendorong kecemasan penonton di sepanjang durasinya, menguras energi penontonnya secara emosional.

Film ini berfokus pada sepasang suami istri bernama Jesús dan Maria. Ketika film dimulai, kita bisa melihat bagaimana dinamika relasi keduanya, di mana Maria digambarkan sebagai seorang istri yang dominan dan selalu mengambil kendali atas segala keputusan dalam kehidupan rumah tangga mereka dari mulai memilih makan malam, warna cat dinding, memutuskan untuk memiliki anak meskipun Jesús sebenarnya tidak sepakat karena tidak merasa siap secara finansial, hingga pemilihan nama anak. Namun Jesús adalah tipe suami yang cenderung tunduk pada istrinya. Setelah kehadiran bayi mereka yang baru saja lahir, pasangan ini berbelanja furnitur untuk mengisi apartemen baru mereka. Jesús tertarik untuk membeli sebuah meja kopi, namun Maria terus menentangnya. Di depan seorang sales toko furnitur, Jesús dan Maria pun berdebat tentang meja kopi tersebut. Untuk kali ini saja dalam kehidupan rumah tangganya, Jesús ingin diperbolehkan untuk memilih apa yang ia inginkan untuk diletakkan dalam apartemen barunya, meskipun sekedar sebuah meja kopi yang dihargai terlalu mahal. Jesús pun mengacuhkan Maria yang terus mengolok-olok keinginan tersebut dan bersikeras tetap membelinya. Sesampainya di apartemen, Jesús segera merakit meja kopi yang baru ia beli. Maria merasa membutuhkan sedikit me time dari tugasnya yang melelahkan sebagai ibu. Energinya juga tampak habis setelah berargumen panjang dengan Jesús soal meja kopi tersebut. Kebetulan malam itu adik Jesús dan kekasihnya akan datang untuk menengok bayi Jesús dan Maria. Menjelang waktu tidur bayinya, Maria pun berinisiatif untuk pergi ke supermarket seorang diri untuk membeli beberapa kebutuhan untuk makan malam sambil menenangkan dirinya, meninggalkan Jesús dan bayinya sejenak di apartemen. Setelah Maria kembali ke apartemen, semuanya tampak normal dan baik-baik saja. Hanya penonton dan Jesús yang tahu apa yang tidak Maria ketahui: satu momen kejutan what-the-fuck yang sederhana namun bagaikan mimpi buruk telah terjadi dan akan mendefinisikan seluruh isi film. Dari sinilah semua ketegangan bertumpuk bertubi-tubi mulai muncul. Menuliskan plot The Coffee Table lebih banyak tentu akan merusak kejutan efektif dari film ini. Yang bisa saya tambahkan hanyalah, seandainya Jesús tidak membeli meja kopi yang ia inginkan, tentu semuanya akan baik-baik saja.

Pada dasarnya kisah ini menceritakan tentang seorang suami sekaligus ayah yang tiba-tiba mengalami hari yang sangat buruk. Karena tidak tahu bagaimana cara mengatasi nasib buruknya, ia memilih untuk diam dalam keadaan shock sambil berusaha untuk mengulur waktu, meskipun kita tahu betul bahwa tidak ada usaha apapun yang bisa mencegah harinya menjadi lebih buruk lagi. The Coffee Table memiliki premis yang sangat gelap, dengan naskah yang ditulis dengan sangat baik serta banyak dialog yang… lucu, meskipun lucu bukanlah kata yang tepat untuk sebuah kisah setragis ini. Namun di sinilah keberhasilan Caye Casas dan Cristina Borobia dalam menulis sebuah tragedi komedi sederhana dengan momen-momen komedi yang bisa membuat penontonnya merasa bersalah kalau ikut tertawa, karena subjek dan tone film ini yang sama sekali tidak lucu. Saya pribadi merasa cukup stress dan cemas di sepanjang film, sambil sesekali menahan senyum di setiap adegan-adegan “komedi” di tengah tragedi, bercampur dengan rasa iba yang sangat besar terhadap karakter Jesús karena nasib sial yang ia alami. Saya tidak ingat kapan terakhir kali menonton film psikologis yang mampu menimbulkan perasaan campur aduk tidak nyaman di sepanjang film seperti The Coffee Table.

Satu-satunya hal yang tidak saya suka dari film ini mungkin hanyalah sub-plot aneh yang melibatkan seorang anak kecil berusia 13 tahun bernama Ruth, yang merupakan anak dari tetangga Jesús dan Maria. Saya pikir sub-plot ini tidak benar-benar diperlukan selain hanya untuk menambah lapisan kesialan bagi Jesús serta kecemasan bagi penonton. Di luar soal sub-plot ini, menurut saya The Coffee Table adalah sebuah film psikologis yang dieksekusi dengan sangat baik. Meskipun berjalan dengan cukup lambat, tapi film ini sangat berhasil menjaga ketegangannya, membuat penonton merasa tidak nyaman sambil terus terpaku menunggu dengan cemas tentang apa yang akan terjadi berikutnya. Satu hal yang perlu dicatat, walaupun ada darah dalam film ini, The Coffee Table bukanlah film yang penuh dengan adegan kejam dan vulgar seperti film-film horor ekstrim Prancis misalnya. Apa yang membuat film ini sulit untuk ditonton bukan pada kekerasan, tetapi pada nasib sial yang terjadi.

Rasanya, The Coffee Table adalah salah satu film paling gelap yang pernah saya tonton belakangan ini, yang ironisnya dibuka dengan sequence pembuka yang cukup kocak. Secara keseluruhan The Coffee Table merupakan sebuah studi karakter yang menarik dan realistis tentang bagaimana seseorang bereaksi ketika sesuatu yang tak terbayangkan terjadi dan hidup tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk tanpa ada yang bisa dilakukan selain meratapi keadaan. Tak hanya dari segi penulisan, The Coffee Table juga cukup memuaskan dalam segi teknis produksi, dari mulai acting para aktornya yang meyakinkan, penyutradaraan, pengeditan, sound, hingga sinematografi, semuanya dikerjakan dengan sangat baik. Saya bisa memaklumi kalau ada orang yang tidak menyukai film ini, karena subjek sentralnya cukup tabu untuk ukuran dunia perfilman, dan itu bisa menjengkelkan bagi sebagian orang. Namun bagi saya, The Coffee Table adalah film yang cukup berani, efektif dan tidak mudah untuk dilupakan.