MOVIE REVIEW: THE BURROWERS (2008)

THE BURROWERS
Sutradara:
J.T. Petty
USA (2008)

Review oleh Tremor

The Burrowers adalah sebuah film hibrida western / creature horor yang ditulis serta disutradarai oleh JT Petty. Sebelumnya, Petty cukup dikenal karena ia pernah menulis seri video game berjudul Splinter Cell. Film ini sempat ditayangkan dalam berbagai festival film, namun sayangnya tidak pernah mendapat kesempatan untuk tayang di bioskop dan hanya berakhir sebagai home-video. Gagasan untuk menggabungkan genre western dan horror adalah ide yang selalu menarik perhatian saya karena hibrida ini memang menambah variasi menyegarkan bagi genre horror secara keseluruhan. The Burrowers memang bukan satu-satunya film yang pernah melakukannya. Pada tahun 2004 kita sudah menyaksikan hibrida western / horror dalam Tremors 4: The Legend Begins (2004). Lalu pada tahun-tahun yang lebih baru, ada juga Bone Tomahawk (2015), The Wind (2018) hingga The Pale Door (2020). The Burrowers sendiri adalah film yang cukup menegangkan, kreatif dan dieksekusi dengan baik. Segera setelah film ini dirilis, jaringan TV kabel digital Amerika bernama Fearnet meminta Petty untuk membuat spin-off pendek dari The Burrowers. Hasilnya pada tahun 2009, prekuel yang berjudul Blood Red Earth dan berdurasi hanya 18 menit dirilis untuk menceritakan back-story dari spesies monster yang ada dalam The Burrowers.

Pada tahun 1879 di dataran Dakota Amerika, kita diperkenalkan dengan seorang pemuda kulit putih bernama Coffey yang baru saja kembali dari perjalanannya. Tujuan utamanya adalah mengunjungi rumah gadis yang ia cintai, Maryanne. Setibanya di sana, Coffey menemukan bahwa keluarga Maryanne telah dibantai secara sadis. Namun jasad Maryanne tidak ditemukan. Dalam periode historis ini, kecurigaan utama siapa pelaku pembantaian sadis terhadap keluarga kulit putih adalah penduduk asli tanah Amerika, atau yang sering disalah artikan sebagai bangsa indian, meskipun tanpa adanya bukti apapun. Coffey yakin bahwa Maryanne telah diculik oleh gerombolan penduduk asli, dan ia pun meminta bantuan beberapa temannya untuk mencari Maryanne sekaligus membalaskan dendamnya. Dalam usaha pencarian ini, Coffey dan kelompoknya sempat berjumpa dengan pasukan kavaleri pendudukan Amerika yang dipimpin oleh perwira sadis bernama Henry Victor. Berlatarkan kebengisan dan kebencian rasial terhadap penduduk asli, ditambah dengan tugas kavaleri yang wajib melindungi penduduk kulit putih, Victor sepakat untuk membantu Coffey. Saat akhirnya mereka berhasil menangkap satu orang indian, Victor segera menyiksanya untuk mencari informasi mengenai para pemukim kulit putih yang hilang di daerah tersebut. Setelah bersitegang dengan Victor, akhirnya Coffey dan kawan-kawannya sepakat untuk berpisah dari bantuan pasukan kavaleri dan mencari keberadaan Maryanne dengan cara mereka sendiri. Dalam proses pencarian inilah mereka menemukan kejutan tak terduga: seorang perempuan kulit putih yang dikubur hidup-hidup di tengah padang rumput. Saat ditemukan, perempuan ini masih bernafas namun sepertinya sudah tidak bisa bergerak. Ini jelas bukan cara orang Indian menyiksa tawanannya. Dari sini akhirnya kita mengikuti Coffey untuk mencari tahu tentang siapa yang dengan sadis melakukan hal tersebut, dan mengapa, hanya untuk mengetahui bahwa para pelakunya bukanlah manusia.

Film ini dibuka dengan alur lambat namun cukup menarik dan membuat penasaran. Sebagian besar film ini berfokus pada usaha pencarian Maryanne, sambil diselingi beberapa momen teror dalam kegelapan yang secara perlahan membangun ketegangan. Karena di awal tulisan ini saya sudah menuliskan bahwa The Burrowers adalah film creature horror, jadi maafkan saya kalau itu menjadi spoiler bagi mereka yang ingin menontonnya secara buta. Dari sejak film ini dimulai, hingga 10-15 menit terakhir, wujud monsternya tidak terlalu terlihat karena mereka berburu di malam hari. Dan dalam masa pendudukan tanah Amerika di akhir tahun 1800-an, tidak banyak sumber cahaya pada malam hari selain cahaya bulan dan api unggun. Tapi kemisteriusan monster yang bergerak dalam gelap di antara rerumputan kering ini justru menambah ketegangan, dan tentu saja rasa penasaran. Dan kita tahu bahwa banyak film horor klasik menggunakan trik ini, ketika hal-hal menakutkan datang dari sesuatu yang justru tidak kita lihat atau ketahui, tapi bisa kita rasakan dampak mencekamnya. Namun para penggemar monster boleh bahagia karena penantian mereka akan terbayar dalam the Burrowers, meskipun tidak banyak. Wujud para monster ini pada akhirnya diperlihatkan dalam adegan pertarungan klimaksnya yang penuh aksi. Meskipun dibuat dengan efek CGI, tapi desain monster dalam The Burrowers yang cukup aneh ini dibuat dengan rapih, mendetail dan tidak mengecewakan. Saya bisa bilang bahwa efek CGI-nya tidak buruk dan sama sekali tidak mengganggu. Maksud saya, setidaknya monster-monster ini terlihat “nyata”.

Istilah “the burrower” di judul film ini adalah istilah yang disematkan oleh bangsa indian pada spesies monster predator purba bawah tanah yang kemudian menjadi musuh utama sekaligus daya tarik di sepanjang film. Konsep dan mitologi di balik spesies Burrowers, serta apa yang mereka lakukan pada mangsanya memang cukup kreatif, unik dan menarik. Apalagi cara mereka “mengolah” mangsanya sebelum akhirnya bisa disantap dan dicerna. Saya juga benar-benar menyukai gagasan bahwa para predator purba ini sebenarnya baru mulai menjadi ancaman ketika mereka kehabisan populasi mangsa utama mereka, yaitu kerbau, sejak manusia (terutama pendatang kulit putih / koboy) bermukim dan mengambil semua sumber makanan mereka. Diceritakan bahwa penduduk asli Amerika telah lama membangun hubungan saling berdampingan tanpa saling mengganggu dengan spesies tersebut. Namun keseimbangan alam tersebut akhirnya rusak sejak penduduk kulit putih menduduki tanah asing tersebut. Untuk tetap bertahan hidup di tengah kondisi baru ini, spesies burrowers terpaksa beradaptasi dan mengganti fokus buruan mereka pada kelompok manusia. Para penduduk asli Amerika tahu betul bahwa berubahnya target buruan spesies burrower merupakan dampak dari betapa tamaknya penjajah kulit putih mengambil sumber makanan di tanah mereka. Sayangnya, kini burrowers tidak pandang bulu dalam berburu. Mereka tidak peduli apa ras dan warna kulit mangsanya. Jadi, suku penduduk asli Amerika-pun akhirnya ikut menjadi santapan. Meskipun keberadaan spesies burrowers memang membawa ketegangan tersendiri dalam keseluruhan film, tapi tema kebencian ras dalam film ini juga memperlihatkan sisi horror lain pada penonton. Kelompok manusia, terutama yang dicerminkan oleh Henry Victor beserta pasukan kavalerinya menambahkan dosis kekerasan yang sadis. Seperti spesies lainnya, burrower membunuh untuk bertahan hidup. Kenyataan tersebut membuat sosok manusia dalam film ini menjadi jauh lebih jahat dari monster, karena mereka membunuh berdasarkan kebencian rasialis.

Secara keseluruhan The Burrowers adalah film yang unik dan menyenangkan untuk ditonton, terutama bagi mereka mencari film monster dengan suasana yang berbeda. Sutradara Perry cukup pandai dalam membangun ketegangan sambil terus menyampaikan ceritanya. Ia juga melakukan pekerjaan yang baik dalam menggabungkan genre western dan horror. Dari segi western-nya, semua konflik manusia tanah jajahan Amerika tahun 1800-an ada di sini, dari mulai penduduk asli Amerika yang berusaha mempertahankan tanah mereka, hingga para penjajah kulit putih yang semena-mena mencoba menjadikan tanah tersebut sebagai rumah mereka sendiri. Sementara itu dari segi horror, kita bisa melihat bagaimana tidak berdayanya manusia di hadapan para pemangsa purba.