MOVIE REVIEW: THE BORDERLANDS / FINAL PRAYER (2013)

The Borderlands / Final Prayer
Sutradara: Elliot Goldner
UK (2013)

Review oleh Tremor

The Borderlands adalah sebuah film horor supranatural bergaya found-footage, debut dari penulis / sutradara Inggris Elliot Goldner. Meskipun film ini dirilis dengan judul internasional “Final Prayer”, tapi dalam review ini saya akan tetap menggunakan judul aslinya karena bagi saya judul tersebut terasa lebih cocok dengan pengalaman keseluruhan filmnya. Gaya found-footage sendiri bukanlah gaya film favorit saya, namun saya sangat menikmati The Borderlands dan saya anggap sebagai salah satu film yang cukup berhasil menggunakan gaya tersebut dengan efektif. Lagi pula, naskah The Borderlands yang memadukan realisme dengan elemen supranatural yang penuh ketegangan memang sangat cocok dibuat dengan teknik found-footage, kalau dieksekusi dengan baik seperti The Borderlands. Meskipun debut ini cukup menjanjikan, sayangnya penulis / sutradara Elliot Goldner belum pernah membuat film horor lagi sampai sekarang.

Vatikan menugaskan satu tim investigasi untuk menyelidiki sebuah bangunan gereja katolik tua di pedesaan terpencil di Inggris. Bangunan gereja berumur ratusan tahun ini telah lama terbengkalai. Kabarnya, sejak bangunan tersebut mulai difungsikan kembali menjadi gereja baru-baru ini, banyak terjadi gangguan supranatural di dalamnya, yang bisa jadi merupakan bukti bahwa mukjizat benar-benar ada dari sudut pandang Vatican. Namun Vatican tahu bahwa yang lebih umum terjadi adalah kejadian-kejadian supranatural hanyalah hasil rekayasa dan manipulasi dari gereja di lokasi-lokasi terpencil yang ingin mendapat sorotan publik. Itulah mengapa klaim supranatural ini perlu diteliti dan dibuktikan secara ilmiah sebelum divalidasi oleh Vatikan langsung. Tim investigasi kiriman Vatican ini terdiri dari tiga orang. Yang pertama adalah seorang pendeta peminum bernama Deacon yang berpengalaman dalam membongkar penipuan-penipuan “mukjizat”. Lalu ada seorang teknisi audio/visual yang skeptis bernama Gray yang disewa oleh Vatikan untuk membantu semua kebutuhan teknis pendokumentasian, dan yang terakhir adalah pastor Amidon sebagai perwakilan langsung dari Vatican sekaligus pengambil keputusan dalam tim investigasi ini. Setelah sebuah insiden terjadi dalam investigasi sebelumnya, kini Vatikan meminta tim ini untuk merekam setiap menit aktivitas penyelidikan menggunakan kamera yang dipasang pada tubuh para anggota tim, ditambah banyak CCTV, agar tidak ada sedikitpun timeline yang terlewat.

Kekuatan utama yang membedakan The Borderlands dari film-film found-footage pada umumnya adalah pengembangan karakternya, termasuk dinamika antara Deacon dan Gray. Chemistry dan dialog mereka memberikan dasar yang kuat untuk keseluruhan narasi film ini, memungkinkan penonton merasa ikut terlibat dalam pengalaman mereka. Sub-plot tentang insiden di masa lalu yang melibatkan Deacon juga ikut memperkaya kompleksitas karakternya. Sementara kita tahu bahwa banyak film horror bergaya found-footage yang memiliki karakter dangkal tanpa kepribadian dan kisahnya sendiri. Karakter Deacon dan Gray sebagai karakter utama dalam The Borderlands tidak saja ditulis dengan baik, tetapi juga diperankan dengan kemampuan acting yang tak kalah bagus. Keduanya tampil dengan meyakinkan seperti dua orang asing sungguhan yang hanya mencoba menyelesaikan pekerjaan meskipun mereka adalah dua orang dengan karakter yang sama sekali berbeda. Kedua karakter ini juga bisa dengan mudah mengundang simpati penontonnya, hingga penonton bisa ikut mengkhawatirkan tentang keselamatan mereka. Saya pikir aktor asal Skotlandia Gordon Kennedy yang memerankan Deacon juga sangat layak untuk diapresiasi. Sebelum The Borderlands, Kennedy dikenal sebagai seorang aktor komedi di sepanjang karirnya. Lewat The Borderlands, Kennedy berhasil membuktikan bahwa ia adalah aktor yang sesungguhnya karena sanggup memerankan karakter Deacon yang begitu serius dengan sangat meyakinkan.

Selain penulisan karakter dan naskahnya, konsep The Borderlands juga cukup bagus meskipun tidak original. Apa yang paling saya suka dari The Borderlands adalah ending-nya yang tidak saya duga. Lewat ending-nya, kita akhirnya betul-betul memahami apa yang sebenarnya menyebabkan gangguan-gangguan supranatural di gereja tua tersebut. Saya pikir klimaks dalam ending film ini membuat The Borderlands jauh lebih menyeramkan dibandingkan yang saya duga sebelumnya. Saya tidak ingin membagi sedikitpun spoiler di sini. Tapi bagi mereka yang sudah menontonnya dan tetap tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, mungkin satu-satunya petunjuk yang bisa saya tulis di sini adalah The Borderlands rupanya merupakan film cosmic horror, sebuah subgenre horror yang biasanya berkaitan dengan hal-hal kosmik berumur sangat tua dan eksistensinya tidak akan bisa kita bayangkan karena tidak ada seorang manusiapun pernah mengalaminya. Mungkin juga The Borderlands memang mengambil banyak inspirasi dari beberapa karya penulis H.P. Lovecraft sang raja cosmic horror, terutama kisah “Call of Cthulhu” dan “The Shadow over Innsmouth” buatan Lovecraft. Beberapa ciri “Call of Cthulhu” juga sangat terasa dalam The Borderlands seperti penggunaan bangunan berumur ratusan tahun di lokasi terpencil, pencarian petunjuk lewat buku jurnal tua, rahasia tersembunyi yang tak terbayangkan, hingga para penduduk desa yang mungkin adalah kelompok sekte yang tahu lebih banyak dari yang kita pikir. Selain itu, ending The Borderlands juga bisa menjadi mimpi buruk bagi mereka yang menderita claustrofobia. Sedikit fun fact, sequence menjelang klimaks film ini memperlihatkan rasa takut otentik dari para aktornya yang kebetulan memang menderita claustrofobia dalam kehidupan nyata.

Tentu saja di balik semua hal yang bisa saya apresiasi, The Borderlands tetaplah sebuah film yang memiliki kelemahan, dengan yang paling utama adalah beberapa red herring yang dipaksakan serta banyak sekali plot hole. Sebagai sebuah film found-footage, The Borderlands juga banyak menggunakan cara-cara klise untuk menakut-nakuti penontonnya. Namun itu sah-sah saja karena semua cara klise tersebut memanglah inti dari pengalaman menonton film found footage. Untungnya, semuanya keklisean ini digunakan dengan efektif dan mengalir begitu saja. Saya pribadi bersedia mengabaikan semua plot hole dalam The Borderlands karena ada lebih banyak hal yang saya suka dari film ini: karakter, akting, premis yang menarik, hingga ending yang bagus. Belum lagi pemilihan lokasi gereja tua yang sangat cocok dengan kisah The Borderlands, yang merupakan sebuah bangunan tua sungguhan dan bukan set buatan. Pada akhirnya, saya sangat menikmati The Borderlands dan akan menunggu karya horror dari penulis / sutradara Elliot Goldner selanjutnya.