TALES OF HALLOWEEN
Sutradara: Various
USA (2015)
Review oleh Tremor
Tales of Halloween adalah sebuah antologi horor dengan bumbu komedi yang digagas oleh mantan jurnalis horror Axelle Carolyn yang kini berprofesi sebagai pembuat film sekaligus aktris. Sebagai penggagas yang bertanggung jawab penuh atas konsep dasar hingga produk akhir antologi ini, Carolyn mengajak sepuluh sutradara lain untuk ikut terlibat dalam proyek ini. Antologi Tales of Halloween berisi sepuluh cerita pendek yang semuanya berlangsung di kota yang sama, pada malam yang sama: malam halloween. Sepintas ide ini jelas mengingatkan kita semua pada antologi serupa, yaitu Trick ‘r Treat (2007) yang jauh lebih superior. Bedanya, Trick ‘r Treat ditulis dan disutradarai hanya oleh satu orang saja, Michael Dougherty, sementara setiap cerita dalam Tales of Halloween disutradarai dan ditulis oleh sineas horor yang berbeda-beda. Spektrum horor dalam Tales of Halloween juga jauh lebih bervariasi dan komikal dibandingkan Trick ‘r Treat, mengingatkan saya pada kisah-kisah pendek dalam antologi-antologi komik horror buatan EC Comics seperti Tales from the Crypt yang sangat populer di tahun 50-an. Dalam Tales of Haloween kita mendapatkan bermacam variasi kisah khas Halloween, dari mulai urban legend, pembunuhan, pembalasan dendam, penyihir, monster, iblis, pembunuh bertopeng, anak-anak kecil sadis, hingga alien. Setiap segmen juga mewakili beberapa subgenre horror yang berbeda.
Berbeda dengan tradisi umum antologi horror, Tales of Halloween tidak memiliki cerita bingkai atau cerita pembungkus. Sepuluh cerita dalam Tales of Halloween masing-masing berdiri sendiri, sambil tetap saling terkait satu sama lainnya lewat cara-cara kecil yang menyenangkan, misalnya beberapa karakter minor sering bermunculan sebagai latar belakang pada segmen yang berbeda. Ada satu lagi elemen yang mengikat setiap kisah dalam antologi ini, yaitu hadirnya suara penyiar radio yang diperankan oleh aktris Adrienne Barbaeu menyelingi setiap segmen. Suara dan wajah Barbaue tentunya sudah tidak asing lagi bagi para penggila horror klasik. Bagaimana tidak, suara ikonik Adrienne Barbaeu sangat dikenal berkat perannya sebagai karakter penyiar radio bernama Stevie Wayne dalam film The Fog (1980) buatan John Carpenter. Kini ia seakan memberi penghormatan pada karakter itu dengan cara mengulang peran penyiar radio meskipun ia tidak lagi diserang oleh mayat-mayat hidup bajak laut yang datang bersama kabut. Dilibatkannya Barbaeu sebagai easter egg kecil dalam Tales of Halloween saja sudah cukup memperlihatkan bahwa antologi ini merupakan proyek bersenang-senang yang dibuat oleh penggemar film horror, untuk penggemar film horror.
Segmen pertama berjudul “Sweet Tooth” ditulis dan disutradarai oleh Dave Parker (The Hills Run Red). Kita semua tahu bahwa tradisi trick or treat adalah soal mengumpulkan permen sebanyak-banyaknya. Segmen ini bercerita tentang urban legend bernama Timothy, seorang anak kecil yang di semasa hidupnya tidak pernah diijinkan untuk menikmati permen halloween yang ia dapat. Kini ia menjelma sebagai legenda yang berkeliaran pada malam Halloween dan akan membunuh siapapun yang tidak berbagi permen dengannya. Sketsa ini sangat pas untuk dijadikan segmen pembuka dalam antologi bertema Halloween, dengan kisah yang fun, solid, dilengkapi dengan banyak darah dan isi perut.
“The Night Billy Raised Hell”, disutradarai oleh Darren Lynn Bousman (Saw II, III & IV). Seorang anak kecil bernama Billy ditantang untuk melempari sebuah rumah dengan telur. Dalam rumah tersebut hidup seorang kakek tua misterius yang bernama tuan Abbadon. Setelah tertangkap basah oleh tuan Abbadon, Billy mendapatkan pelajaran mengenai arti prank halloween yang sebenarnya. Saya tidak terlalu menyukai segmen ini, mungkin karena aura slapstick tuan Abbadon agak mengganggu, lengkap dengan sound konyol ala film kartun yang digunakan setiap kali seseorang terjatuh atau terluka.
“Trick” disutradarai oleh Adam Gierasch (Toolbox Murders). Dua pasang kekasih sedang menonton TV sambil sesekali membukakan pintu untuk membagikan permen pada anak-anak kecil yang asik berkeliling mengumpulkan permen. Sejauh ini malam halloween mereka cukup normal, hingga datang seorang anak kecil berpakaian penyihir yang menikam salah satu dari mereka dengan pisau. Ini adalah segmen yang terasa paling serius tanpa elemen komedi, dengan kisah home invasion yang menyimpan twist tak diduga.
“The Weak and the Wicked” disutradarai oleh Paul Solet (Grace), bercerita tentang geng jalanan jahat yang berhadapan dengan seorang pria yang pernah mereka bully saat masih kecil. Entah mengapa saya tidak menyukai segmen ini sejak menit-menit pertamanya. Mungkin karena penggambaran antagonisnya yang berekspresi jahat berlebihan ala sinetron sejak awal. Kisahnya juga berusaha untuk terlalu serius tanpa elemen komedi, tetapi menjadi kisah terlemah dalam keseluruhan antologi.
“Grim Grinning Ghost” disutradarai oleh penggagas dari antologi Tales of Halloween, Axelle Carolyn. Seorang gadis bernama Lynn baru saja meninggalkan pesta Halloween di rumah ibunya. Di tengah jalan mobil tua Lynn mendadak rusak, dan rupanya sesosok urban legend supranatural mengikuti Lynn saat berjalan kaki ke rumahnya. Meskipun kisahnya terlalu lurus dan ditutup dengan klise, segmen ini adalah salah satu segmen favorit saya sebagai sketsa horor sederhana yang berhasil menciptakan suasana mencekam. Melihat bagaimana atmosfer menegangkan dalam adegan Lynn berjalan kaki ke rumahnya saja sudah cukup membuktikan bahwa Axelle Carolyn berbakat untuk menjadi sutradara horor. Segmen ini juga dipenuhi oleh banyak ikon horror sebagai cameo tamu pesta Halloween di rumah ibu Lynn, dari mulai aktris veteran Lin Shaye (Insidious, Ouija, Dead End), Barbara Crampton (Re-Animator, From Beyond, Chopping Mall), Lisa Marie (Mars Attacks!, Sleepy Hollow), serta tak ketinggalan produser / sutradara horror legendaris seperti Mick Garris (kreator serial Masters of Horror dan Fear Itself), dan Stuart Gordon (Re-Animator, From Beyond, Dagon).
“Ding Dong” disutradarai oleh Lucky McKee (The Woman, All Cheerleaders Die), berkisah tentang sepasang suami istri Bobbie dan Jack yang belum juga memiliki keturunan. Malam Halloween adalah malam yang dibenci Bobbie, karena banyaknya anak kecil bergantian datang ke rumah mereka untuk meminta permen mengingatkan Bobbie pada nasibnya yang tidak memiliki keturunan. Namun ternyata Bobbie bukanlah perempuan biasa, dan Jack sudah melakukan segala yang terbaik untuk mencegahnya memiliki anak. Lagi-lagi segmen ini terlalu komikal untuk selera saya. Seandainya saja segmen ini dimainkan dengan sedikit lebih “serius” dan tidak terlalu konyol, mungkin Ding Dong bisa menjadi segmen terbaik dalam antologi ini.
“This Means War” disutradarai oleh Andrew Kasch (Never Sleep Again: The Elm Street Legacy) dan John Skipp (penulis A Nightmare on Elm Street 5: The Dream Child). Segmen ini berkisah tentang dua tetangga yang saling bertengkar karena persaingan dekorasi Halloween di halaman rumah masing-masing. Yang satu masih menjunjung tinggi dekorasi klasik Halloween, sementara yang satu lagi lebih menyukai dekorasi gore modern dilengkapi musik metal, dengan soundtrack lagu berjudul “Skinned Alive” dari band thrash metal 80-an asal Amerika, Sacrilege BC. Ini adalah segmen yang aneh dan terasa seperti terlalu dipaksakan untuk ada dalam sebuah antologi horor, karena tidak ada plot supranatural, psikopat atau elemen horor lain dalam segmen ini kecuali sedikit darah pada ending-nya. Tapi segmen ini merupakan sketsa metafora tentang perbedaan horror tradisional yang kebanyakan berelemen supranatural, dengan horror modern yang dipenuhi dengan darah, yang masing-masing direpresentasikan oleh kedua tetangga yang saling bertikai.
“Friday the 31st” yang disutradarai oleh Mike Mendez (The Gravedancers, Big Ass Spider!) adalah segmen favorit saya. Bisa dilihat dari judulnya, segmen ini jelas-jelas merupakan homage bagi Friday the 13th komplit dengan Jason Voorhees-nya. Layaknya potongan dari film Friday the 31th, seorang perempuan muda sedang dikejar oleh pembunuh bertopeng kayu bermata satu dalam hutan berkabut. Setelah sang pembunuh berhasil membantai korbannya, tiba-tiba datang entitas asing yang akan menjadi mimpi buruknya. Ini adalah segmen yang cukup menyenangkan sekaligus tak terduga karena hadirnya elemen kejutan (sekaligus konyol) yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Selain special effect tradisional yang over-the-top, Mike Mendez sepertinya tahu betul bahwa sejarah horor tidak akan bisa dipisahkan dari teknik special effect claymation/stopmotion, dan dalam segmen ini ia seakan memberi penghormatan terhadap teknik special effect jadul tersebut.
“The Ransom of Rusty Rex” disutradarai oleh Ryan Schifrin (Abominable). Dua orang pria mendapatkan lebih dari yang mereka harapkan setelah menculik putra seorang jutawan. Segmen ini cukup menyenangkan, dengan humor gelap campur slapstick yang tidak terasa berlebihan.
Kisah-kisah Halloween tidaklah lengkap tanpa hadirnya labu Jack-o-lantern. “Bad Seed” adalah segmen terakhir dalam Tales of Halloween, disutradarai oleh Neil Marshall (The Descent). Pada malam Halloween, detektif McNally harus mengungkap sebuah kasus pembunuhan sadis. Dalam segmen ini kita bisa melihat bagaimana sibuknya kantor polisi setempat karena ada terlalu banyak laporan kasus aneh dalam satu malam, yang sebagian mengacu pada beberapa segmen sebelumnya. Di tengah kekacauan besar yang terjadi di kota kecil ini, McNally harus mengejar tersangka pembunuhan, yang menurut pengakuan saksi mata adalah buah labu pembunuh. Segmen ini jelas terinspirasi sekaligus memberi penghargaan terutama pada salah satu film Halloween favorit saya: Halloween III: Season of the Witch (1982). Tak ketinggalan munculnya cameo ikon horor lain dalam segmen ini yang kehilangan kepalanya sesaat setelah segmen ini dimulai, yaitu Joe Dante sang sutradara dari film The Howling (1981) dan Gremlins (1984). “Bad Seed” juga merupakan segmen yang mengakhiri antologi Tales of Halloween dengan cara yang sempurna.
Masalah yang selalu ada dalam film antologi adalah sudah bukan kejutan lagi kalau kita akan menemukan hanya satu atau dua segmen saja yang bisa dibilang bagus dan menonjol, sementara segmen lainnya terasa membosankan atau bahkan tidak memuaskan sama sekali. Sangat sulit menyukai sebuah antologi secara menyeluruh. Saya pribadi cenderung berusaha untuk mengapresiasi keberagaman dan perbedaan kreativitas yang ditampilkan dalam sebuah antologi, karena saya sudah terlanjur menanamkan asumsi pada diri saya bahwa proyek antologi adalah proyek eksperimental. Itu membuat saya tidak berharap terlalu tinggi. Tapi seburuk apapun segmen dalam antologi, untungnya durasi setiap segmen sangat pendek, jadi penonton tidak akan terlalu lama tersiksa dengan segmen yang buruk. Saya juga menyadari tantangan yang dihadapi oleh setiap penulis dan sutradara dalam film antologi semacam ini, yaitu keterbatasan durasi sehingga mereka harus berpikir keras untuk menemukan cara agar bisa memaksimalkan durasi yang ada. Dari sepuluh cerita yang ada, saya pribadi hanya menyukai segmen “Grim Grinning Ghost” dan “Friday the 31st”. Tapi apa yang menarik dari keseluruhan antologi ini adalah konsistensi gaya visual yang enak dilihat serta penyutradaraan yang sepintas terasa mirip, meskipun setiap segmen dikerjakan oleh sineas yang berbeda-beda. Mungkin mereka semua sudah berkumpul dan sepakat atas satu-dua hal yang berkaitan dengan estetika antologi sebelum mengerjakan filmnya masing-masing. Sebagai antologi horor, tentu saja ada banyak adegan gore berdarah, dari mulai usus terburai, kepala terpotong, hingga mata yang dicungkil. Faktor itu juga yang membuat antologi ini terasa menyenangkan, karena sepertinya semua yang terlibat dalam produksinya tahu betul apa yang dicari oleh para nerd penggila horror: special effect gore tradisional prostetik. Antologi ini seakan menjadi ajang showcase special effect tradisional dari mulai desain monster, efek gore prostetik hingga stop-motion klasik. Ditambah lagi dengan hadirnya banyak homage yang menyenangkan terhadap film-film horor klasik, tradisi Halloween, sekaligus genre horor itu sendiri.
Tales of Halloween memang tidak akan pernah mengungguli Trick ‘R Treat, tapi bagaimanapun juga, antologi ini tetap merupakan antologi horor yang cukup solid dan sangat berhasil menangkap suasana perayaan Halloween yang fun. Meskipun kita di Indonesia tidak merayakan Halloween dengan cara yang sama seperti di negara-negara barat, tapi siapapun pasti tahu bahwa bulan Oktober adalah bulan horor yang seharusnya penuh kesenangan, dan Tales of Halloween berhasil menggambarkan hal tersebut. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perayaan Halloween ada dalam antologi ini, dari mulai trick or treat, tradisi menonton film horor di TV, berkeliaran menggunakan kostum, dekorasi horror, labu halloween, permen, coklat, dan banyak lagi ada dalam antologi ini. Kita bisa merasakan bagaimana fun-nya halloween, sekaligus ikut merasakan bahwa seluruh sutradara, cast dan crew produksi antologi ini juga bersenang-senang dalam proses pembuatan Tales of Halloween. Saya pribadi sangat suka dengan film antologi tematik seperti ini, dan berharap akan selalu ada antologi serupa dirilis setiap tahunnya.