MOVIE REVIEW: STARRY EYES (2014)

STARRY EYES
Sutradara: Kevin Kolsch & Dennis Widmyer
USA (2014)

Review oleh Tremor

Mungkin nama Hollywood sudah tidak asing lagi di telinga kita semua. Bahkan kalau kalian bukan seorang penonton film sekalipun, kalian pasti mengidentikkan Hollywood dengan industri film. Namun kenyataannya, tidak banyak yang tahu kalau  sebenarnya Hollywood hanyalah nama dari sebuah kawasan kecil di kota Los Angeles, Amerika Serikat. Karena di sana terdapat banyak sekali studio film besar yang cukup legendaris dalam sejarah industri perfilman Amerika, bahkan dunia, Hollywood kemudian berubah menjadi sebuah pusat industri film yang sangat menjanjikan bagi banyak orang. Tempat ini adalah tempat dimana banyak sekali manusia mengejar masa depan yang lebih baik. Tak heran kalau Hollywood kemudian kebanjiran para pendatang yang ingin mengadu nasib dan mengejar mimpi. Dari mulai para sutradara muda amatir, penulis amatir, stuntman, fotografer, hingga para anak muda yang berharap bisa menjadi bintang film. Mereka semua datang dan bermukim di sekitar Hollywood. Persaingan sangat ketat karena ada banyak sekali orang yang ingin meniti karir, namun hanya ada sedikit kesempatan. Akhirnya, dari mulai agensi amatir hingga rumah-rumah produksi amatir pun berjamuran sebagai alternatif bagi mereka yang gagal dalam industri utama, sekaligus sebagai batu loncatan bagi mereka yang ingin menjadi bintang. Film dengan bajet paling rendah hingga kelas box office dunia, kebanyakan datang dari satu kawasan ini: Hollywood. Kira-kira itulah latar belakang dari Starry Eyes yang kita semua perlu pahami. Hollywood adalah sebuah tempat yang didatangi oleh mereka yang mengejar mimpi, bersaing dengan satu sama lain, saling berlomba untuk menjadi bintang. Dalam bentuk persaingan penuh ambisi seperti ini, tentu saja akan ada orang-orang yang cukup nekat rela melakukan apapun demi memperjuangkan mimpinya.

Starry Eyes berfokus pada karakter Sarah, seorang perempuan muda yang memiliki ambisi cukup tinggi untuk menjadi bintang film. Sehari-hari ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran fast-food, dan di waktu senggangnya, Sarah mengikuti banyak kursus acting, hingga mendatangi semua panggilan audisi yang ia baca iklannya di internet. Walaupun selalu gagal dalam setiap audisi yang ia hadiri, Sarah tidak pernah menyerah. Ia tidak akan berhenti mengejar mimpinya. Hingga suatu hari, Sarah mendapatkan tawaran untuk mengikuti audisi lagi, kali ini untuk sebuah film horor berjudul The Silver Scream garapan sebuah rumah produksi yang tidak terlalu terkenal bernama Astraeus Pictures.

Merasa gagal (lagi) dalam audisi kali ini, Sarah yang frustasi langsung masuk ke kamar mandi setelah keluar dari ruang audisi. Ia mengunci diri di bilik kamar mandi dan mulai berteriak-teriak sambil menjambaki rambutnya sendiri hingga terlepas. Itu memang kebiasaan Sarah saat ia frustasi dan stress. Sedikit info, kebiasaan seperti ini bukanlah hal yang dibuat-buat. Dalam dunia psikologi, kebiasaan semacam itu disebut trichotillomania / hair pulling disorder. Kembali ke film, ternyata apa yang Sarah lakukan dalam bilik kamar mandi diketahui oleh perempuan yang sebelumnya ikut mengaudisi Sarah. Ia meminta Sarah untuk kembali ke ruang audisi, hanya untuk meminta Sarah mempraktekkan ulang apa yang Sarah lakukan di kamar mandi di depan para juri audisi. Sarah ragu karena ia tidak pernah melakukannya di depan orang lain. Namun Sarah akan melakukan apapun agar bisa lolos dalam audisi ini. Apalagi ia sangat menginginkan peran yang ditawari rumah produksi tersebut. Akhirnya Sarah mendapatkan harapan, dan para juri-pun berjanji akan menghubungi Sarah lagi dalam waktu dekat.

Benar saja, beberapa hari kemudian, Sarah diminta untuk melakukan audisi kedua, sebuah audisi yang akan berbeda dengan audisi pertama. Dalam audisi kedua, Sarah berada di bawah sorotan lampu dalam ruangan gelap, dan diminta untuk membuka bajunya. Sarah agak ragu. Namun, sekali lagi, Sarah siap melakukan apapun demi mimpinya. Sesuatu yang aneh dan sureal mulai terjadi dalam diri Sarah dalam audisi kedua, ia seperti dirasuki oleh sesuatu. Tapi ternyata hal itulah yang tengah dicari oleh rumah produksi tersebut. Sesuatu yang natural ada dalam diri Sarah. Iapun lolos audisi lagi hingga diminta untuk melakukan audisi ketiga yang akan dilakukan langsung oleh sang produser. Namun jalan menuju popularitas yang harus Sarah tempuh ternyata jauh lebih gelap dan mengerikan dari yang bisa kita bayangkan. Sarah memiliki kesempatan besar untuk menjadi bintang, dan ia hanya perlu melakukan langkah terakhir: menyerahkan dirinya, menjual jiwanya dan melakukan pengorbanan yang mengerikan. Sejauh mana ia akan berkorban demi mimpi besarnya?

Film ini dimulai dengan alur yang pelan, namun tidak membosankan. Ia memberi waktu yang cukup untuk membangun karakter, cerita, atmosfer dan ketegangan. Starry Eyes seakan memiliki dua segmen mood dan karakter Sarah yang berbeda. Kalau dalam segmen pertama kita menyaksikan perjuangan Sarah yang tak kenal lelah mengejar mimpi hingga ia harus menjalani proses-proses yang tidak menyenangkan; segmen kedua menggambarkan Sarah yang berbeda, Sarah yang ada dalam proses terlahir kembali. Dalam bagian ini, kita seperti menonton mimpi buruk seseorang, lengkap dengan unsur surealismenya. Saya bahkan sempat khawatir, jangan-jangan apa yang saya saksikan hanyalah mimpi buruk Sarah, tapi ternyata saya salah.

Menjelang akhir film ini, secara mengejutkan penonton seakan mendadak ditampar dengan semua kebrutalan dan kekerasan penuh darah yang merupakan klimaks yang cukup shocking dari film ini. Saat menonton Starry Eyes, saya sama sekali tidak menyangka kalau film ini akan memperlihatkan kebrutalan semacam itu. Bukan itu saja, ada satu adegan yang mungkin cukup menjijikkan bagi mereka yang tidak terbiasa menonton film horor.

Kalau dilihat dari sudut pandang yang lain, Starry Etes seperti ingin menggambarkan metafora sinis atas industri hiburan, dimana ada banyak produser, sutradara dan rumah produksi berhidung belang yang mengambil peluang dari para gadis muda yang sedang berusaha mengejar mimpi mereka untuk menjadi bintang. Saya rasa hal seperti itu adalah rumor umum dalam industri hiburan, kalau bukan rahasia umum. Bukan hanya itu saja, metafora sinis lainnya ada dalam klimaks film ini, yang mungkin saja menggambarkan persaingan menuju kesuksesan, termasuk rasa frustasinya. Ide dasar dari film ini juga seakan adalah sebuah penggambaran nyata dari istilah “menjual jiwamu pada setan”, sebuah kiasan yang kadang menjadi bahan rumor para pemercaya teori konspirasi tentang rahasia kepopuleran seseorang. Metafora atau bukan, itu tergantung pada sudut pandang para penonton.

Di jaman sekarang ini, sangat sulit untuk mencari film horor modern yang cukup menyegarkan. Kesulitan saya dalam mencari film horor modern untuk dibuat review-nya adalah, karena saya sudah cukup muak  dengan film-film horor modern yang selalu menggunakan formula yang sama terus menerus. Sangat sulit untuk menuliskan review dari sebuah film yang biasa-biasa saja. Untuk sebuah film horor modern, Starry Eyes cukup berbeda. Saya sendiri cukup terkejut setelah menonton Starry Eyes, dan saya akui kalau saya cukup menyukai film ini. Salah satu unsur lain dalam Starry Eyes yang juga menarik bagi saya adalah scoring film ini yang sedikit mengingatkan saya pada film-film horor bertema agama / supranatural / okultisme tahun 70-80an.

Starry Eyes adalah sebuah film dengan nuasa indie yang sangat kental, dan bisa dibilang film horor murni, tanpa embel-embel romance dan tetek bengek lainnya. Film ini mencampuradukan beberapa elemen horor tanpa terasa berlebihan, dari mulai elemen kekerasan (yang secara mengejutkan: cukup brutal), elemen psikologi, supranatural, hingga elemen okultisme. Cukup impresif.

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com