MOVIE REVIEW: RELIC (2020)

RELIC
Sutradara: Natalie Erika James

Australia / USA (2020)

Review oleh Tremor

Sudah bertahun-tahun seorang lansia bernama Edna tinggal sendirian dalam rumahnya di sebuah pedesaan terpencil, jauh dari kota Melbourne. Edna bukanlah seorang nenek sebatang kara, namun ia memang menolak untuk pindah ke kota, tempat di mana putrinya yang bernama Kay tinggal. Edna juga memiliki seorang cucu, anak perempuan Kay yang bernama Sam. Suatu hari para tetangga Edna mulai merasa khawatir karena mereka sudah lama tidak melihat Edna. Mendapat kabar itu, Kay dan Sam segera datang dari Melbourne untuk mengecek. Setibanya di rumah Edna mereka menemukan kalau rumah tersebut memang kosong. Edna tidak ada di sana. Namun dilihat dari kondisi di dalam rumah, tampaknya Edna menghilang belum lama ini, terlihat dari beberapa butir buah yang baru mulai membusuk. Kay dan Sam pun bingung. Mereka khawatir karena Edna adalah seorang nenek umur 80-an yang sudah mulai pikun.

Dalam rumah yang menyeramkan tersebut, Sam menemukan beberapa keganjilan. Di antaranya adalah munculnya bercak hitam pada beberapa bagian dinding, serta suara-suara derit dari balik dinding. Keesokan harinya dibantu oleh polisi serta warga setempat, Kay dan Sam mulai menyusuri hutan dan lokasi lain untuk mencari Edna. Namun usaha mereka tidak membuahkan hasil. Malam itu, Sam menyadari adanya tambahan beberapa slot kunci baru pada pintu rumah, seakan-akan Edna merasa ketakut terhadap sesuatu. Kay teringat, dalam perbincangan terakhirnya dengan ibunya di panggilan telepon, Edna memang sedang merasa ketakutan dan sangat yakin kalau ada orang asing masuk ke dalam rumahnya. Namun Kay tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang serius, karena Edna sudah pikun dan memang sudah sering kebingungan seperti itu. Tampaknya kepikunan Edna memang semakin memburuk, karena Sam dan Kay juga menemukan banyak sekali catatan yang ditulis tangan oleh Edna di atas kertas-kertas post-it sebagai pengingat bagi dirinya sendiri, ditempelkan pada beberapa sudut ruangan. Awalnya catatan-catatan yang mereka temukan berisi hal-hal biasa, seperti misalnya mengingatkan diri sendiri untuk meminum obat. Namun suasana mulai mencekam, terutama bagi Sam, saat ia menemukan catatan pengingat yang bertuliskan: “Dont follow it”. Tak lama kemudian terdengar suara-suara seperti sesuatu sedang diseret-seret di balik dinding. Malam itu juga mimpi buruk mengganggu tidur Kay.

Esok paginya Kay terbangun karena suara nyaring katel mendidih dari arah dapur. Betapa terkejutnya Kay saat ia menemukan Edna sedang membuat sarapan di dapur, seakan-akan tidak terjadi apa-apa selama ini. Edna yang telah hilang beberapa hari, tiba-tiba muncul begitu saja kembali ke rumah. Tentu saja Kay dan Sam merasa lega. Namun mereka tetap bingung dengan semua ini. Ke mana perginya Edna selama ini dan apa yang sebenarnya terjadi? Setiap kali Kay bertanya tentang apa yang terjadi pada Edna selama beberapa hari terakhir, nenek itu berusaha mengganti topik pembicaraan. Seorang pekerja medis yang diminta Kay untuk datang memeriksa kesehatan Edna. Secara umum Edna dinyatakan dalam kondisi sehat. Namun ditemukan sebuah noda seperti memar pada dadanya. Warnanya kehitaman, dan noda ini seakan terus melebar. Edna tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Merasa khawatir, Kay dan Sam pun tinggal lebih lama di sana untuk merawat Edna. Tetapi perilaku Edna menjadi semakin tidak menentu dan ganjil. Awalnya, ia mulai merasa ketakutan lagi. Edna yakin bahwa ada sesuatu yang hidup di bawah kasurnya, dan di waktu lain ia percaya kalau ada sesuatu akan datang untuk mengambilnya. Edna juga mulai berbicara sendiri, seakan sedang berbincang dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh Kay maupun Sam. Selain itu, kepribadian Edna juga mulai terasa semakin asing saat ia bersikap kasar pada anak dan cucunya, lengkap dengan tatapan matanya yang seperti penuh kebencian, seolah-olah ia bukan lagi Edna yang Sam dan Kay kenal. Kondisi fisik Edna semakin memburuk seiring dengan kondisi mentalnya. Namun itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang akan terjadi kemudian pada mereka bertiga. Sebenarnya ada banyak sekali hal yang terjadi dalam film ini, tetapi saya tentu saja tidak akan membagikan spoiler apapun dalam review-review yang saya tulis. Jadi mungkin plotnya saya sudahi di sini.

Relic adalah sebuah film horor yang enigmatik dan ambisius. Film ini merupakan debut dari sutradara muda asal Australia, Natalie Erika James, dan jelas adalah debut yang sangat mengesankan. Film ini bercerita dengan gaya metafora lewat pendekatan supranatural serta psikologis. Para penonton yang terbiasa dengan film-film harafiah atau rumah hantu standar mungkin akan merasa kesulitan untuk menangkap simbolisme dan metafora film ini, karena apa yang secara visual terjadi di rumah Edna memang tidak pernah benar-benar dijelaskan. Siapakah sosok gelap yang terkadang tampak bersembunyi di sudut ruangan? Apakah rumah itu hidup atau berhantu? Lantas, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh film ini? Seperti yang secara jelas tertulis dalam sinopsis pendeknya di IMDb, film ini bercerita tentang sebuah keluarga yang dihantui oleh manifestasi demensia yang mulai mengkonsumsi rumah mereka. Jadi tidak ada kesalahan interpretasi di sini: film Relic memang tentang demensia. Demensia sendiri adalah istilah umum untuk menggambarkan penurunan fungsi otak secara ekstrim yang diakibatkan oleh penyakit tertentu, salah satunya adalah penyakit Alzheimer. Penderitanya akan mengalami perubahan perilaku serta cara berpikir, kehilangan ingatannya sedikit demi sedikit, mudah merasa kebingungan, tersinggung, disorientasi, cemas , hingga mencurigai segala sesuatu. Pada intinya mereka mulai kehilangan segalanya secara perlahan, karena kita tahu bahwa otak adalah semacam “mainboard”-nya manusia. Secara ekstrim, seorang pengidap demensia bisa saja tersesat di dalam rumahnya sendiri dan mencurigai anggota keluarganya sebagai orang jahat. Dengan cermat, film Relic mencoba memanifestasikan penderitaan demensia ke dalam bentuk sinema horror. Relic bukanlah film horror pertama yang mengangkat demensia sebagai bagian dari kengeriannya. Pada tahun 2014, film berjudul The Taking of Deborah Logan juga pernah menggabungkan tema penyakit alzheimer dengan horror kerasukan. Tapi berbeda dengan Deborah Logan, film Relic menggambarkan kengerian demesia lewat metafora manifestasi perwujudan demensia.

Jadi, Relic pada dasarnya adalah film horror tentang kengerian demensia, dan bagaimana keluarga Edna berusaha menerima kondisi Edna yang semakin menyedihkan. “Monster” dalam film ini jelas adalah penyakit yang mengkonsumsi otak Edna, yang secara metaforis digambarkan menginfeksi segala sesuatu yang ada di sekitarnya: tubuhnya, rumahnya, hingga hubungan dengan anak cucunya. Bercak-bercak hitam di dalam rumah dan tubuh Edna menggambarkan sebuah entity merusak yang mengkonsumsi secara perlahan hingga semuanya hilang begitu saja, sama seperti semakin rusaknya fungsi otak akibat alzheimer. Film Relic adalah contoh jenis horror yang berbeda dari biasanya, dan jelas bukan untuk semua orang. Tapi saat penonton bisa menerima bahwa Relic adalah film metaforis, dan mulai memikirkan hubungan antara kengerian demensia dengan semua hal-hal ganjil yang terjadi di sepanjang film, menurut saya film ini menjadi berfungsi dengan lebih baik. Semua peristiwa ganjil dan sureal dalam Relic menjadi sedikit lebih masuk akal dan jelas, walaupun tetap tidak secara harafiah. Kita bisa mulai memahami sisi horror film ini, bagaimana menyeramkannya demensia bagi penderita serta keluarga terdekatnya. Situasi yang dihadapi oleh Kay serta Sam saat menyadari Edna secara perlahan dikonsumsi oleh demensia jelas bukanlah hal enteng. Kita bisa memahami rasa sedih, frustrasi dan putus asa yang mereka rasakan. Hingga pada akhirnya, adegan penutup yang melankolis dan pahit dari film Relic dengan cemerlang menggambarkan bentuk penerimaan tulus dan murni terhadap Edna sang penderita demensia yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, dan menjadi kesempatan “penebusan” bagi Kay yang selama ini memiliki hubungan yang kurang baik dengan ibunya.

Film Relic seperti terbagi menjadi dua bagian dengan gaya horor yang berbeda. Bagian pertama Relic adalah tipikal film horror slowburn, di mana ketegangan dan rasa seram dibangun secara perlahan lewat berbagai detail serta atmosfer yang sempurna. Dalam bagian kedua, film ini bergeser menjadi horor surealis sekaligus supranatural, di mana realita dan mimpi buruk seakan-akan mulai menyatu. Walaupun Relic bukan film horror yang semenakutkan itu, tapi tetap ada banyak adegan dengan menyeramkan di dalamnya. Sutradara Natalie Erika James pantas diacungi jempol dalam usahanya menggambarkan penderitaan pengidap demensia lewat audio, visual, dan atmosfer yang gelap dan mengerikan, ditambah dengan tone dan surealisme mimpi buruk. Dan kalau dipikir-pikir lebih jauh, ide dasar film ini memang menakutkan secara harafiah, karena siapapun dari kita bisa saja menderita demensia di masa tua nanti. Secara perlahan kita akan kehilangan segalanya, dari mulai kenangan, memori hingga kehilangan diri kita sendiri seperti apa yang terjadi pada Edna, dan bayangkan menjadi anggota keluarga yang harus mengurus kita kelak.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com