POSSUM
Sutradara: Matthew Holness
UK (2018)
Review oleh Tremor
Possum adalah sebuah film drama psychological horror yang sangat ekspresionis, debut penyutradaraan seorang aktor TV Inggris bernama Matthew Holness yang sebelumnya dikenal lewat serial komedi horor berjudul Garth Marenghi’s Darkplace (2004). Meskipun Holness dikenal sebagai aktor komedi, namun Possum tidak memiliki unsur komedi sedikitpun. Sebaliknya, Possum adalah film yang sangat gelap dan suram, lengkap dengan audio serta visual bernuansa mimpi buruk yang bisa saja membuat penontonnya merasa tidak nyaman. Kisah Possum dikembangkan dari cerita pendek yang pernah Holness tulis pada tahun 2008 untuk disertakan dalam buku antologi “The New Uncanny: Tales of Unease” yang disusun oleh Sarah Eyre, sebuah antologi yang berfokus pada esai “Das Unheimliche” karya Sigmund Freud. Sejak mulai mengembangkan cerita pendeknya menjadi sebuah film, Holness sudah berencana ingin lebih mengekspresikan kengerian psikologis lewat audio-visual dibandingkan narasi. Hasilnya, film ini sangat atmosferik dan surealis, yang mengingatkan saya pada atmosfer film Eraserhead (1977) karya David Lynch. Selain itu, konsep dalam Possum juga sedikit mengingatkan saya pada film The Babadook (2014), lengkap dengan penggunaan barisan sajak anak-anak serta coretan-coretan ilustrasi grafit sebagai salah satu elemennya.
Sebagai sebuah karya ekspresionis, film ini tidak memiliki plot dan narasi yang jernih. Pada dasarnya film Possum berfokus pada Phillip, seorang dalang boneka untuk anak kecil yang kembali ke rumah masa kecilnya setelah kehilangan pekerjaan karena skandal yang tak pernah dijelaskan dalam film ini. Rumah yang tampak sangat berantakan, gelap dan kotor tersebut kini didiami oleh paman Phillip yang bernama Maurice, seorang pria tua yang manipulatif dan abusif. Phillip pulang membawa tas kulit yang selalu ia jinjing kemana-mana. Di dalam tas itu terdapat sebuah boneka mengerikan yang seakan bernyawa, berbentuk kepala manusia dengan kaki laba-laba. Boneka itu adalah karya Phillip sendiri, yang ia desain berdasarkan sajak anak-anak berjudul “Possum” yang ia pernah tulis di buku sketsanya. Sejak kepulangannya, Phillip berulang kali berusaha memusnahkan boneka mengerikan tersebut karena bayang-bayang boneka Possum sangat menghantuinya. Namun semua usahanya seakan sia-sia karena Possum selalu kembali tergeletak di sekitar Phillip setiap kali ia terbangun dari tidurnya.
Sejak kemunculannya, kita sudah bisa menebak kalau Phillip bukanlah orang yang sehat secara mental. Seiring berjalannya durasi, kita bisa menyaksikan lebih banyak sisi kegilaannya lewat berbagai visual. Kinerja aktor Sean Harris yang memerankan karakter Phillip sangat layak diacungi jempol. Rasanya sebagian besar beban film ini ada pada pundaknya, dan dia memainkan perannya dengan sangat luar biasa. Tanpa perlu banyak bicara, karakter Phillip bisa terasa mengancam sekaligus juga mengundang rasa iba. Penggambaran karakter ini bisa meninggalkan perasaan campur aduk bagi penonton, antara takut karena ia sangat aneh, bercampur simpati karena bagaimanapun kita tahu kalau Phillip hanyalah seorang korban dari trauma di masa kecil. Aktor Alun Armstrong yang memerankan paman Maurice juga tak kalah bagusnya. Setiap kali ia muncul di layar, rasanya membuat penonton tidak nyaman. Bahkan caranya tertawa pun bisa membuat cemas. Secara garis besar hanya ada dua karakter utama dalam film ini, dan seni peran kedua aktornya sangat fantastis.
Pengalaman menonton Possum layaknya menyaksikan mimpi buruk seseorang. Suasana mimpi buruk tersebut berhasil tercipta berkat visual surealistik gelap yang janggal dan terasa sangat asing, digabungkan dengan narasi yang sepertinya memang sengaja dibuat terputus-putus dan membingungkan. Audio dan scoring film ini juga ikut mendukung terciptanya suasana mimpi buruk sekaligus menambah ambience yang meresahkan. Scoring luar biasa tersebut ditulis secara khusus untuk film ini oleh Radiophonic Workshop, pionir sound effect elektronik dari BBC. Dalam hal visual dan audio, Possum bisa dibilang sebagai sebuah mahakarya. Namun kalau kita bicara tentang plot dan narasi, Possum bukanlah film yang mudah untuk diikuti. Seiring berjalannya durasi film, Possum terus-menerus membuat penonton kebingungan sambil mempertanyakan mana yang nyata dan mana yang hanya imajinasi belaka. Apalagi dialog dalam film ini sangat minimalis, jadi hanya sedikit informasi verbal yang bisa kita dapat. Di sepanjang film, kita lebih banyak mengikuti Phillip berkeliaran kesepian dari satu lokasi ke lokasi lainnya, di mana seringkali kita menghadapi beberapa pengulangan yang tidak menambah apapun pada cerita selain perasaan frustrasi.
Selain atmosfer, sisi horor dari film ini juga datang dari karakter boneka Possum itu sendiri. Meskipun boneka ini tidak melakukan aksi apapun dalam film ini, namun setiap kehadirannya sudah cukup menyeramkan berkat tatapan kosong pada wajahnya yang pucat. Desain boneka ini bisa menjadi bahan mimpi buruk bagi para penonton yang takut pada laba-laba. Bayang-bayang penampakan boneka Possum berpotensi untuk terus menghantui dengan cara yang sama dengan bagaimana Possum menghantui Phillip. Siapapun yang mendesain boneka Possum perlu diapresasi setinggi-tingginya karena berhasil membuat desain sesederhana yang jauh lebih menyeramkan dibandingkan boneka Annabelle sekalipun. Kalau saya perhatikan, wajah dari boneka possum sepertinya adalah replika yang lebih pucat dari wajah Phillip. Cukup masuk akal kalau boneka ini merupakan representasi surealistik yang sangat gelap tentang kondisi mental seorang pria yang dihantui oleh trauma masa lalu, dan bagaimana ia berusaha untuk mengubur mimpi buruk traumanya digambarkan dengan berbagai usaha memusnahkan Possum namun selalu gagal.
Possum jelas bukan tontonan yang tepat kalau calon penontonnya mencari kesenangan, karena film ini tidak menawarkan perasaan senang sama sekali. Possum juga bukan film untuk semua orang. Bagi saya pribadi, dibutuhkan energi dan effort lebih untuk menonton film semacam ini. Saya paham kalau ini adalah film psikologis. Itulah mengapa Possum banyak berfokus pada karakter serta atmosfer. Namun minimnya interaksi antar karakter ditambah dengan adanya adegan-adegan yang sering berulang membuat kadar kesabaran saya sedikit menipis. Mungkin itu karena saya bukan penggemar film-film “puitis” ambigu yang penuh metafora. Lambatnya ritme dan kacaunya narasi film ini juga bisa menimbulkan rasa frustrasi saat menontonnya. Tapi saya pikir memang itulah yang sengaja ingin dicapai oleh Matthew Holness, dan saya anggap ia cukup berhasil. Sebagai sebuah debut, Possum adalah film yang bagus sekaligus debut yang cukup berani, meskipun menonton Possum adalah pengalaman yang cukup melelahkan. Setidaknya Holness memiliki visinya sendiri yang unik dan itu membuat saya cukup penasaran dengan proyek horor Matthew Holness berikutnya.