fbpx

MOVIE REVIEW: NIGHTMARE CINEMA (2019)

NIGHTMARE CINEMA
Sutradara: Alejandro Brugués, Joe Dante, Ryûhei Kitamura, David Slade, Mick Garris

USA (2019)

Review oleh Tremor

Nightmare Cinema adalah antologi horor yang menampilkan kisah-kisah mimpi buruk yang diceritakan oleh lima sutradara, diproduseri oleh Mick Garris, seorang produser horror yang cukup dikenal karena pernah membuat antologi TV berjudul Masters of Horror (2005-2007) dan Fear Itself (2008-2009). Ia juga pernah menyutradarai mini-seri adaptasi karya Stephen King berjudul The Stand (1994). Jadi bisa dibilang ia memang cukup familiar dengan film-film berdurasi pendek.

Antologi adalah bagian penting dari genre horor (sinema maupun literasi), karena dalam bentuk antologi para sineas dan penulis horror bisa lebih bereksplorasi lewat ide-ide yang lebih pendek, tabu, dan kadang juga lebih absurd. Dan sudah menjadi semacam tradisi kalau antologi horror memiliki presenter dan cerita bingkai tersendiri yang berfungsi sebagai penghantar cerita-cerita pendek pada penonton. Tradisi ini bisa ditemui dalam banyak antologi horror seperti misalnya sosok hantu bernama The Creep dalam antologi Creepshow (1982), sosok Cryptkeeper dalam serial TV Tales from the Crypt (1989-1996), The Coroner dalam Body Bags (1993), hingga karakter Sam dalam Trick ‘r Treat (2007). Sebenarnya tradisi presenter ini terinspirasi dari komik-komik horror Amerika dari era 1950an, yang umumnya memiliki karakter-karakter pengantar cerita. Begitu juga dengan antologi Nightmare Cinema yang memiliki host dan cerita bingkainya sendiri. Antologi ini berpusat pada sebuah bioskop tua bernama Rialto yang dijalankan oleh host kita yang bernama The Projectionist, sang kurator dari mimpi-mimpi buruk manusia selama ribuan tahun. Pada layar bioskop Rialto inilah cerita-cerita pendek dalam Nightmare Cinema ditayangkan. Lalu apa tema utama yang mempersatukan semua cerita pendek dalam Nightmare Cinema? Tentu saja: mimpi buruk.

Sejak awal suasana mimpi buruk sudah terasa. Seorang perempuan muda berjalan dekat sebuah bioskop tua, Rialto. Ia melihat judul film yang sedang ditayangkan, dengan namanya sendiri terpampang sebagai pemerannya. Tak masuk akal. Ia pun masuk ke dalam bioskop dan dipaksa untuk menyaksikan mimpi buruknya sendiri diputar pada layar lebar. Judul segmen pertama ini adalah “The Thing in the Woods” yang disutradarai oleh Alejandro Brugués, seorang sutradara asal Argentina yang dikenal karena pernah membuat Juan of the Dead (2011) dan pernah ikut mengisi segmen antologi The ABCs of Death 2 (2014). Segmen ini pada dasarnya adalah sebuah penghormatan kepada film-film slasher 80-an yang tentu saja masih dicintai oleh banyak sekali penggemar horror. Alejandro Brugués berasumsi bahwa para penonton segmen ini adalah para penggila horror yang sadar dengan semua stereotip horor slasher. Semua keklisean slasher ada di sini. Ceritanya tentang sekelompok anak muda yang berpesta dalam sebuah pondok di hutan. Seorang maniak bertopeng bersenjatakan kapak merusak pesta dan memburu mereka satu persatu. Tetapi rupanya ia memiliki motif yang tidak kita duga sama sekali. Segmen ini sangat menyenangkan sebagai pembuka antologi. “The Thing in the Woods “memiliki semua stereotip film slasher berbajet rendah ala 80-an: kenorakan, kesadisan, akting buruk, dark humour, kejar-kejaran, action berlebihan, variasi senjata, hingga stereotip karakter perempuan yang kita pikir akan menjadi sosok final girl-nya. Tetapi secara mengejutkan kita diberi twist yang tidak kita duga sebelumnya. Dan semua yang kita pikir sebagai film slasher generik mendadak berubah saat twist-nya mulai terungkap. Menurut saya, ini adalah segmen yang paling fun untuk ditonton dari keseluruhan antologi Nightmare Cinema, dan paling menonjol karena ditutup dengan menyenangkan.

Segmen kedua dalam Nightmare Cinema berjudul “Mirari” yang disutradarai oleh Joe Dante, seorang sutradara horror yang cukup legendaris di kalangan pecinta horror. Piranha (1978), The Howling (1981) dan Gremlins (1984) adalah beberapa film yang mengharumkan namanya. Dalam Mirari, Dante menggunakan kengerian soal permasalahan modern: standar kecantikan. Seorang perempuan muda bernama Anna dengan bekas luka di wajahnya bertunangan dengan pria idamannya, David yang sangat mencintainya. David sebenarnya tidak peduli dengan bekas luka di wajahnya, tapi Anna ingin tampil sempurna di hari pernikahan mereka. Akhirnya David menawarkan membiayai Anna untuk melakukan operasi plastik dan merekomendasikan dokter bedah langganan ibu David. Namun, kita semua memiliki standar yang berbeda-beda tentang kecantikan. Demikian juga dengan klinik tempat Anna dioperasi. Walaupun penonton tahu pasti kalau ada yang salah dengan operasi plastik yang dijalankan oleh Anna, tetapi kita tetap dibuat menebak-nebak, menanti hasil dari operasi plastiknya hingga pada akhirnya. Mirari adalah satu-satunya segmen yang terasa lebih misterius dan menegangkan dalam keseluruhan antologi, dan bisa dibayangkan seperti menonton mimpi buruk seseorang.

Segmen ketiga berjudul “Mashit”, disutradarai oleh sutradara Jepang bernama Ryuhei Kitamura yang dikenal pernah membuat film The Midnight Meat Train (2008) di antara banyak film lainnya. Dalam segmen ini, kita memasuki lingkungan asrama Katolik dan tema kerasukan pada anak-anak kecil. Hasilnya tentu saja adalah unsur iblis, penampakan ala hantu jepang, skandal dalam gereja, penistaan agama, creepy children dan banyak sekali darah. Menurut saya, ini adalah segmen dengan ide cerita yang paling biasa-biasa saja dari keseluruhan antologi. Satu-satunya hiburan adalah saat sang pendeta berperang melawan para anak-anak kecil yang kerasukan. Ada banyak bagian tubuh yang beterbangan dalam segmen ini, dan itu adalah sesuatu yang tidak biasa untuk film bertema kerasukan. Mungkin itulah yang menyelamatkan para penonton dari rasa bosan dalam segmen ini. Sisanya? Akting buruk, backsound yang generik, editing berantakan. Namun keberantakanan itu juga lah yang mungkin menyelamatkan Mashit, karena ia membuat kita bisa tetap merasakan suasana “mimpi buruk”-nya. Jadi, bisa saja itu memang sengaja dilakukan oleh sang pembuatnya.

Segmen keempat adalah segmen favorit saya setelah “The Thing in the Woods”. Judulnya adalah “This Way To Egress”, disutradarai oleh David Slade yang memulai karir sebagai seorang sutradara video musik. Ia juga pernah membuat film indie yang mendapat cap disturbing berjudul Hard Candy (2005) dan sebuah film horror yang diadaptasi dari komik, berjudul 30 Days Of Night (2007). Setahun setelah Nightmare Cinema, David Slade dipercaya untuk menyutradarai salah satu episode serial TV Black Mirror yang mengubah cara kita menonton perfilman modern, yaitu Bandersnatch (2018). Dalam segmen “This Way To Egress” kita mengikuti kisah tentang seorang ibu beserta dua anaknya sedang mengunjungi klinik psikiater, dan dia percaya bahwa ia sedang menuju kegilaan. Tak butuh waktu lama hingga realita menjadi semakin absurd dan mengerikan layaknya mimpi buruk dalam arti sebenarnya. Suasana ini dibantu lewat penggunaan fitur hitam putih ditambah dengan sedikit “rasa” sureal ala jagat Silent Hill, Videodrome (1983) dan eXistenZ (1999). Saya rasa “This Way to Egress” adalah satu-satunya segmen yang berhasil menerjemahkan surealisme mimpi (buruk) ke dalam bentuk film secara harafiah, dan merupakan segmen yang saya anggap menyelamatkan Nightmare Cinema.

Masuklah kita pada akhir antologi Nightmare Cinema lewat segmen penutup yang berjudul “Dead”. Segmen ini disutradarai oleh Mick Garris sendiri. Ceritanya tentang keluarga kecil yang diserang dan ditembak oleh seorang… perampok? maniak? Saya tidak tahu, motif penembakannya tidak pernah dijelaskan. Tapi itu adalah salah satu ciri khas mimpi: tidak jelas. Ibu dan ayah meninggal seketika, sementara si anak yang bernama Riley mengalami mati suri selama 17 menit. Riley terbangun di rumah sakit dan segera menyadari bahwa ia dapat melihat arwah orang mati. Namun ancaman utama bukan datang dari arwah orang mati, melainkan dari si penjahat yang kembali untuk memastikan Riley tidak bisa menjadi saksi tindak kejahatan. Kalau melihat antologi ini sebagai serangkaian mimpi buruk, segmen ini, sayangnya, tidak terlalu terasa seperti mimpi. Setelah menyaksikan suasana-suasana yang terasa seperti mimpi buruk dalam segmen-segmen sebelumnya, justru segmen Dead bisa dibilang paling tidak cocok untuk dimasukan ke dalam antologi bertema mimpi buruk, apalagi sebagai penutup. Ditambah lagi dengan efek yang tampak murahan dan pesan moralnya, Dead bisa dibilang sebagai segmen paling tidak menarik bahkan kalau dibandingkan dengan Mashit. Setidaknya Mashit masih memiliki adegan-adegan fantastis yang lebay namun cukup fun untuk ditonton.

Sekarang mari kita bahas karakter The Projectionist yang menurut saya digambarkan cukup sempurna. Ia tampil misterius, mengancam, karismatik dan hanya tampil di setiap jeda antar segmen dimana ia “menjemput” jiwa-jiwa yang terjebak harus menonton mimpi buruk mereka sendiri dalam bioskop Rialto. Jadi ia sekaligus adalah sosok malaikat pencabut nyawa itu sendiri. Apa yang saya suka adalah bagaimana ia memperkenalkan dirinya sebagai “kurator mimpi buruk”. Mungkin alasannya cukup subjektif karena saya pribadi selalu menyukai hal-hal yang berhubungan dengan alam mimpi. Saya membayangkan bagaimana sang projeksionis memutarkan koleksi mimpi-mimpi buruk-nya pada kita , mengganggu tidur kita semua. Nightmare Cinema ditutup dengan adegan yang memperlihatkan potensi bahwa bisa saja antologi ini akan memiliki sekuelnya suatu hari, karena kita tahu bahwa “koleksi” mimpi buruk sang projeksionis rupanya sangat banyak.

Secara keseluruhan, Nightmare Cinema adalah antologi horor yang cukup menyenangkan, walaupun saya pribadi hanya menikmati dua segmen saja (“The Thing in the Woods” dan  “This Way to Egress”). Tema antologi ini (mimpi buruk) menjadikannya sebagai antologi yang berpotensi sarat akan ide-ide luar biasa yang bisa diolah dan dieksplorasi, karena kita semua tahu bahwa tidak ada batasan dan aturan dalam mimpi. Nightmare Cinema mungkin memang tidak akan bisa mencapai keberhasilan antologi Three… Extremes (2004), V/H/S (2012) , atau mencapai narasi yang sempurna ala Trick ‘r Treat (2007), tetapi bisa menjadi sebuah pembuka jalan yang baik untuk menjadi seri di masa depan. Saya pribadi sangat mengharapkan antologi horror ini bisa berlanjut dengan sutradara dan penulis-penulis muda lainnya, dengan ide-ide yang lebih berani dan gila. Bagaimanapun Nightmare Cinema tetap layak untuk ditonton oleh para penggemar horor manapun untuk memperluas wawasan sekaligus melihat berbagai pendekatan dan gaya yang berbeda dalam genre horror.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com