MY BLOODY VALENTINE
Sutradara: George Mihalka
Kanada (1981)
Review oleh Tremor
Valentine adalah hari spesial non-holiday yang mungkin masih eksis hanya untuk menjual kartu ucapan, sekotak coklat dan mawar, serta untuk mengolok-olok mereka yang kesepian. Tapi ini adalah saat yang tepat bagi saya untuk menulis review dari film legendaris yang kebetulan bertema Valentine. Film My Bloody Valentine dibuat pada masa yang tepat, yaitu saat booming trend film slasher baru saja dimulai di daratan Amerika, genre yang kemudian menarik minat banyak sekali penonton film horror. Sejak film Black Chrismas (1974) menelurkan embrio genre slasher, Halloween (1978) menegaskan blueprint-nya dan kemudian disempurnakan oleh Friday the13th (1980), industri film horror Amerika awal 80-an pun mulai tertantang untuk membuat film-film slasher berisi pembunuhan brutal sekaligus kreatif terhadap sekumpulan anak muda. Sepertinya ada nilai lebih kalau pembunuhan tersebut kemudian mengambil latar momen-momen hari spesial tertentu. Dari hari natal hingga hari ayah, semua memiliki film dan pembunuhnya masing-masing, termasuk di dalamnya adalah My Bloody Valentine yang mengambil latar hari raya valentine untuk melakukan pembunuhan brutal. Sayang sekali, dua bulan sebelum My Bloody Valentine rencananya akan dirilis lewat jejaring bioskop Amerika, dunia dikejutkan dengan kasus pembunuhan terhadap musisi paling populer pada saat itu, mantan personil the Beatles, John Lennon, pada tanggal 8 Desember 1980. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat atas film-film yang “mempromosikan” kekerasan dan memaksa badan sensor perfilman Amerika (MPAA) untuk memperketat kerja sensornya. Karena satu-satunya cara agar sebuah film bisa ditonton pada masa itu adalah lewat distribusi bioskop, maka Paramount Picture sebagai distributornya tidak punya pilihan lain selain bekerja keras mengedit film ini agar bisa lulus sensor dan diijinkan tayang sesuai dengan rencana awal, yaitu pada Februari 1981. Akhirnya semua adegan pembunuhan dalam My Bloody Valentine dibuang demi lulus sensor, yang kalau diakumulasi ada sebanyak 9 menit adegan brutal yang hilang dari film ini. Bisa dibayangkan bahwa ini adalah hal yang sama sekali tidak menguntungkan bagi sebuah film slasher. Dengan kata “bloody” pada judulnya, tentu saja penonton berharap akan melihat banyak darah. Tak heran mengapa film ini benar-benar mengecewakan penonton setelah kena sensor, karena kita semua tahu apa yang dicari dari film semacam ini adalah menonton adegan-adegan pembunuhan sadis sekaligus kreatif.My Bloody Valentine tanpa adegan pembunuhan jelas akan terasa sangat hambar dan tidak menarik, karena ini bukan cerita detektif.
Potongan-potongan adegan gore dari My Bloody Valentine pun hilang (atau terlupakan) di sudut-sudut ruang editing Paramount hingga akhirnya ditemukan kembali 28 tahun kemudian. Pada tahun 2009, versi reboot dari film My Bloody Valentine dirilis dengan judul My Bloody Valentine 3D (karena memang sengaja dibuat untuk ditonton dalam teknologi 3D) dengan jalan cerita yang sangat berbeda. Lionsgate menyambut momen ini memanfaatkannya dengan cara mengembalikan sebagian besar footage yang pernah hilang di ruang editing Paramount ke dalam My Bloody Valentine original 1981, me-remaster, lalu merilisnya dalam bentuk unrated special edition DVD (dan lalu Bluray). Akhirnya untuk pertama kalinya dunia bisa benar-benar menonton film My Bloody Valentine original yang seutuhnya. Kalau saja versi unrated ini yang benar-benar dirilis tanpa sensor di bioskop-bioskop Amerika pada 1981, bisa jadi My Bloody Valentine akan menelurkan banyak sequel dan menjadi franchise yang mungkin saja bersaing dengan dominasi Friday the 13th.
Sebenarnya dalam setiap film slasher, plot bukanlah hal yang penting. Daya tarik film slasher bukanlah pada jalan cerita melainkan pada proses-proses pembunuhan kreatif, gore special effect, dan kebrutalan. Banyak film slasher besar yang memiliki dialog dan alur yang tidak masuk di akal, penuh lubang plot, dan kita semua toh tidak mempedulikannya karena bukan itu yang kita cari. Itulah mengapa umumnya film slasher mengulang-ulang formula cerita yang sama, sekumpulan anak muda ingin bersenang-senang, dibantai oleh seorang pembunuh bertopeng dengan cara sekreatif mungkin. Kita semua selalu bisa menebak ke mana arah cerita film seperti ini, dan kita tidak peduli. Kita hanya ingin melihat bagaimana proses pembunuhannya. Tapi walaupun tidak terlalu penting, saya tetap akan menuliskan plotnya.
Film ini berlatar sebuah kota kecil pertambangan bernama Valentine Bluffs, dimana warganya sangat senang dengan tradisi turun temurun merayakan Valentine setiap tahunnya lewat sebuah gelaran pesta dansa. Tapi pada tahun 1960, terjadi sebuah insiden yang kemudian mengubah wajah dan jiwa kota tersebut. Pada malam valentine 1960, dua orang supervisor tambang tergesa-gesa meninggalkan pekerjaannya demi pesta Valentine di kota. Dengan ceroboh mereka lupa mengecek kontrol gas methan di tambang bawah tanah sambil meninggalkan lima orang penambang yang masih berada di bawah sana. Karena volume gas methan tidak dikendalikan, terjadilah sebuah ledakan besar. Para pekerja yang tersisa terjebak di bawah reruntuhan tambang. Percobaan penyelamatanpun dimulai. Setelah beberapa waktu akhirnya penduduk kota berhasil menyelamatkan satu-satunya petambang yang selamat dalam insiden ini. Namanya adalah Harry Warden, dan ia yang berhasil bertahan hidup setelah membunuh dan memakan teman-temannya sendiri. Nyawa Warden selamat, tetapi tidak dengan kewarasannya. Tepat satu tahun kemudian pada perayaan Valentine 1961, penduduk kota kembali berpesta merayakan Valentine. Sebelum perayaan benar-benar dimulai, Warden dengan pakaian tambangnya pergi membunuh kedua mantan supervisor-nya dengan sangat brutal menggunakan beliung tambangnya. Ia mengambil jantung para korbannya, meletakannya di dalam kotak berbentuk hati disertai dengan kartu ucapan berisi peringatan bagi penduduk kota Valentine Bluffs agar tidak pernah merayakan pesta valentine lagi selama-lamanya kalau tidak mau ada lebih banyak korban. Rupanya Warden benar-benar sakit hati karena hari raya Valentine telah menghancurkan hidupnya. Akhirnya Warden ditangkap dan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.
Kejadian ini meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi penduduk Valentine Bluffs, hingga mereka benar-benar tidak pernah merayakan pesta Valentine lagi sampai 20 tahun kemudian, tahun 1981. Walikota Valentine Bluffs berpikir kalau sudah saatnya mereka meninggalkan rasa trauma dan takut mereka. Ini adalah waktu yang tepat untuk melanjutkan tradisi lama di kota tersebut: merayakan hari Valentine dengan pesta, dan menghias seluruh kota dengan ornamen simbol-simbol kasih sayang. Apalagi sekarang kota ini didominasi oleh para anak muda, generasi yang tidak benar-benar ingat dengan insiden Harry Warden 20 tahun sebelumnya, dan tentu saja mereka sangat girang dengan ide perayaan Valentine. Sebagian remaja perempuan bahkan sudah menyiapkan gaun terbaik mereka untuk pesta ini. Sebagai kota tambang, hampir seluruh penduduk Valentine Bluffs adalah para pekerja tambang yang bekerja di lokasi yang sama dengan kejadian Harry Warden dulu. Mereka yang masih muda-muda biasa berkumpul di satu-satunya bar di kota Valentine Bluffs. Sejak dua hari sebelumnya, pria tua pengelola bar sudah memperingatkan anak-anak muda ini agar tidak merayakan hari raya Valentine karena ia percaya kalau kota Valentine Bluffs telah dikutuk oleh Harry Warden. Tapi tentu saja peringatan tersebut tidak digubris sama sekali karena dianggap hanya mitos. Sebagian dari mereka malah menjadikannya sebagai lelucon.
Di hari yang sama, walikota Valentine Bluffs bernama Hanniger dan kepala polisi bernama Jake Newby mendapat bingkisan kotak berbentuk hati. Hanniger begitu girang karena ia pikir isinya adalah coklat dari seorang penggemar gelap. Tentu kita tahu apa isinya. Jantung manusia dan kartu ucapan berisi ancaman. Hanniger marah dan berpikir kalau ini adalah sekedar prank yang buruk dari salah satu anak muda di kotanya. Keesokan harinya, satu hari sebelum Valentine, seorang perempuan tua bernama Mabel ditemukan meninggal dalam kondisi sangat mengenaskan. Ia memiliki usaha laundry, dan mayatnya ditemukan di dalam salah satu mesin pengering dengan luka terbuka lebar pada dadanya. Kepala polisi Newby menemukan kartu ucapan di dalam rongga dada Mabel, lagi-lagi berisi ancaman. Rupanya ini tidak main-main. Walikota panik dan meminta para petugas forensik serta polisi untuk merahasiakan penyebab kematian Mabel kepada para penduduk kota. Ia tidak ingin kepanikan ini menyebar menjadi histeria massa. Walikota Hanniger segera memutuskan untuk membatalkan pesta perayaan Valentine, mencopot semua ornamen valentine dari setiap sudut kota, tanpa memberi penjelasan apapun pada para anak muda yang sudah terlanjur terlalu bersemangat untuk berpesta. Balai kota tempat pesta akan digelar pun dijaga oleh polisi dan pintunya ditutup rapat. Semua penduduk kota disarankan untuk tinggal di rumah masing-masing pada malam valentine. Hari itu juga walikota Hanniger menelpon rumah sakit jiwa tempat Harry Warden ditahan sejak 20 tahun sebelumnya, tetapi petugas di rumah sakit tidak menemukan satupun dokumen soal Warden. Walikota mengamuk dan meminta petugas itu untuk benar-benar mencari tahu tentang keberadaan Harry Warden.
Para anak muda di Valentine Bluffs sangat kecewa karena walikota membatalkan pesta yang sudah mereka tunggu-tunggu. Saya bisa mengerti perasaan anak-anak muda ini. Mereka tinggal di kota kecil, menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk bekerja di tambang, dan tak pernah merayakan hari raya Valentine berdansa bersama kekasih masing-masing. Mereka hanya ingin bersenang-senang dalam perayaan Valentine untuk pertama kalinya. Tentu saja mereka kecewa kalau rencana ini gagal. Ide brilian pun terlintas di kepala mereka. Secara diam-diam para anak muda ini berencana untuk tetap melaksanakan pesta valentine mereka sendiri tanpa sepengetahuan para orang tua di Valentine Bluffs. Dimana lokasi yang paling tepat untuk menggelar pesta ini? Tentu saja di tambang tempat sebagian besar dari mereka bekerja. Ide bagus bagi mereka, ide bagus juga untuk sebuah film slasher. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya satu persatu dari mereka dibunuh oleh sosok berpakaian tambang dengan cara-cara yang penuh kreativitas.
My Bloody Valentine memiliki beberapa keunikan yang menjadikannya lebih menonjol dibandingkan film-film slasher Amerika lainnya yang bermunculan di sepanjang 1980 hingga 1986. Pertama, adalah setting filmnya yang memang sangat cocok dengan skenario: lorong-lorong tambang yang gelap, suasana claustrophobic, panjang dan berliku seperti labirin ini menyediakan atmosfer yang sangat tepat. Di tempat seperti ini, ada lebih banyak ruang bagi sang pembunuh untuk bersembunyi, membuntuti dan membunuh korbannya dari balik kegelapan. Kedua, adalah sosok pembunuhnya, yang biasa dikenal dengan nama “The Miner”. Ia mengenakan pakaian khas pekerja tambang bawah tanah, lengkap dengan masker oksigen untuk bernafas, helm bersenter, dan sebilah beliung tambang sebagai senjata utamanya. Karena penampilannya yang seperti gabungan antara pekerja tambang, Michael Myers, dan Darth Vader inilah The Miner menjadi salah satu pembunuh ikonik di dunia film horror. Tidak seperti beberapa film slasher lain yang semakin berkembang kemudian, The Miner dalam My Bloody Valentine tidak memiliki kekuatan “superpower” khusus selain kekuatan fisik. Kalau kita melihat Freddy Kruger, atau Jason Voorhees dan Michael Meyers dalam versi-versi sequel-nya, tentu kita tahu bahwa pada dasarnya mereka tidak bisa dibunuh. Mereka selalu kembali dari kematian untuk meneruskan terornya hingga berjilid-jilid. Hal itu memberikan sedikit kualitas supranatural pada mereka. Sementara The Miner adalah seorang pembunuh yang murni manusia biasa. Tapi ciri khas genre slasher tetap terasa sangat kuat dalam My Bloody Valentine. Contohnya adalah, The Miner sanggup muncul dimanapun kapanpun di saat yang tepat (untuk membunuh), sama seperti Voorhees, Michael Myers dan puluhan karakter pembunuh slasher lainnya. Yang awalnya bisa dianggap sebagai ketidakbecusan penulisan malah menjadi ciri khas kuat film slasher, sampai-sampai teleportasi dijadikan salah satu “power” yang bisa digunakan dalam video game Friday the 13th (2017). Bagaimana para pembunuh slasher bisa berpindah tempat dengan sangat cepat juga dijadikan materi dalam film mockumentary slasher berjudul Behind The Mask: The Rise Of Leslie Vernon (2006).
Walaupun tingkat kepuasan para penggemar horror berbeda-beda soal My Bloody Valentine, film ini tetap berhasil meninggalkan warisannya sendiri. Dua tahun setelah film ini dirilis, musisi Kevin Shields asal Dublin, Irlandia, membentuk sebuah band shoegaze dan memakai judul film ini sebagai nama band mereka. Film ini juga menginspirasi dibuatnya versi reboot pada tahun 2009 dengan teknologi 3D, yang menurut saya pribadi merupakan versi yang lebih modern, namun (ironisnya) lebih buruk dari film aslinya, terutama dalam hal special effect. Selain itu, dalam salah satu wawancaranya soal film Death Proof, sutradara Quentin Tarantino pernah menyatakan bahwa My Bloody Valentine 1981 adalah film slasher favoritnya.
Saya juga akan menggunakan kesempatan ini untuk menulis sedikit tentang versi reboot tahun 2009-nya. Saya ingat bagaimana saya pribadi cukup excited sebelum menontonnya, karena saya pikir akan ada banyak ruang dan kemungkinan untuk menyempurnakan My Bloody Valentine 1981 lewat sebuah reboot. Tapi saya salah, dan saya seharusnya sudah belajar dari reboot Halloween versi Rob Zombie pada tahun 2007, bahwa membuat ulang sebuah horror klasik menjadi jauh lebih brutal tidak selalu akan berhasil menyempurnakan film tersebut. Apa yang memperburuk My Bloody Valentine 3D terletak pada penggunaan CGI kasar dalam hampir semua adegan pembunuhannya, menjadikan efek bola mata lepas seperti menonton film animasi. Hal lain yang cukup fatal adalah sangat minimnya pengambilan gambar di dalam tambang. Satu-satunya hal menyenangkan dari versi 2009 hanya bisa dirasakan kalau film ini ditonton di bioskop berteknologi 3D, karena kita bisa melihat beliung yang diayunkan ke arah penonton tampak seperti keluar dari layar. Tentu saja itu adalah pengalaman yang fun sekaligus menegangkan, dan tidak bisa didapat kalau menonton versi 2D nya di layar komputer.
Kembali ke My Bloody Valentine 1981, walaupun tingkat gore-nya bisa dibilang cukup ringan kalau dibandingkan dengan film-film horror modern, tapi pada jamannya tentu saja kekerasan dalam film ini bisa menggemparkan seisi bioskop (kalau tidak disensor). Semua adegan pembunuhannya dikerjakan dengan sangat baik dengan special effect tradisional dan makeup prostetik yang sangat serius. Kalau kalian pikir semua pembunuhan dalam My Bloody Valentine hanya akan menggunakan beliung saja, bersiap-siaplah untuk kejutan, karena The Miner cukup kreatif dalam membunuh. Tidak perlu pikirkan soal motif pembunuhan dan jalan ceritanya, karena ini adalah film slasher. Akting yang buruk, plot yang membingungkan juga tidak terlalu menganggu, karena bukan itu yang dicari oleh para penonton film slasher. Satu-satunya hal yang membuat saya frustrasi dari film ini adalah kebodohan-kebodohan para karakternya, terutama salah satu karakter prankster yang sangat annoying, yang untungnya mati dengan sangat mengenaskan kemudian. My Bloody Valentine adalah salah satu film slasher yang cukup mudah dikenang. Film ini ditutup dengan adegan yang sangat terbuka untuk sequel, yang sayangnya tidak pernah dibuat. Kalau kalian mencari film slasher klasik untuk ditonton pada malam Valentine, film ini adalah pilihan yang tepat. Tapi ingat, My Bloody Valentine bukanlah jenis film yang akan membuat kalian ketakutan. Mungkin karena jaman sudah berubah dan film ini sudah termakan usia. Film ini bukanlah film masterpiece, tapi tetap fun untuk ditonton sebagai hiburan sekali tonton bersama teman-teman.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com