MOVIE REVIEW: MIMIC (1997)

MIMIC
Sutradara: Guillermo del Toro
USA (1997)

Review oleh Tremor

Mungkin nama Guillermo del Toro sudah tidak perlu diperkenalkan lagi hari ini, karena ia adalah seorang penulis, produser sekaligus sutradara yang sudah cukup melegenda berkat ciri khas uniknya yang gelap. Sebagai seorang sutradara, karya-karya del Toro pun sudah tidak asing bagi para penonton film, dari mulai The Devil’s Backbone (2001), Hellboy (2004), Pan’s Labyrinth (2006), Pacific Rim (2013), hingga The Shape of Water (2017). Jauh sebelum mendapat kesuksesan di Hollywood, del Toro adalah seorang pembuat film asal Mexico yang berhasil menarik perhatian dunia lewat debutnya yang berjudul Cronos (1993). Setelah sukses dengan debutnya, del Toro akhirnya mendapat kesempatan untuk membuat film berbahasa inggris pertamanya, sebuah film sci-fi creature horror berjudul Mimic. Naskah Mimic yang ia tulis bersama Matthew Robbins ini merupakan adaptasi lepas dari cerpen karangan Donald A. Wollheim tahun 1942.

Namun Mimic menjadi karya dengan pengalaman produksi terburuk bagi Del Toro. Penyebabnya adalah dua produser Mimic sekaligus pemilik Miramax, yaitu kakak-adik Bob dan Harvey Weinstein, banyak mengintervensi dan memaksa Guillermo del Toro untuk mengubah banyak hal dalam naskah Mimic di tengah proses syuting agar sesuai dengan keinginan mereka. Tak hanya itu, Miramax juga mengintervensi proses editing dan pewarnaan film yang jelas tidak sesuai dengan visi Del Toro. Mungkin pada saat itu Weinstein bersaudara mengganggap del Toro hanyalah seorang amatiran yang datang dari Meksiko dan tidak menaruh kepercayaan padanya. Setelah Mimic rangkum dan dirilis di bioskop, Del Toro sama sekali tidak merasa puas dan bersumpah untuk tidak akan pernah mau bekerja sama dengan Weinstein lagi. Tentu saja intervensi ini sangat disayangkan, karena bisa dibayangkan seandainya Miramax memberi kebebasan sepenuhnya pada Del Toro, film Mimic tentu akan jauh lebih ikonik dan gelap. Apalagi konsep dari Mimic sangat cocok dengan ciri khas dan ketertarikan pribadi Del Toro dari mulai serangga, metamorfosis, karakter anak kecil, hingga monster di lokasi gelap. Meskipun bukan film terbaik del Toro, Mimic tetaplah sebuah karya klasik yang perlu diperhitungkan karena memperlihatkan konsistensi ciri khas Del Toro yang sudah terlihat sejak karya awal-awalnya. Film ini sempat melahirkan dua sekuel, yaitu Mimic 2 (2001) dan Mimic 3: Sentinel (2003) tanpa ada keterlibatan Del Toro sama sekali di dalamnya. Hingga pada tahun 2011 Del Toro akhirnya mendapat kesempatan merilis ulang Mimic dalam versi director’s cut, versi yang ia rasa paling mendekati dengan visi aslinya meskipun banyak diintervensi oleh Weinstein. Versi director’s cut ini memiliki tambahan durasi sebanyak enam menit yang banyak berfokus pada dinamika dua karakter protagonisnya, membuat karakter mereka menjadi lebih berdimensi. Meskipun secara garis besar tambahan durasi ini tidak terlalu memperkaya plot Mimic karena terlalu banyak hal dari naskah aslinya yang tidak pernah jadi di-shoot, setidaknya Del Toro mendapat kesempatan untuk mengubah atmosfer film ini menjadi lebih gelap lewat pengeditan ulang serta penggunaan filter warna yang ia inginkan.

Mimic dibuka dengan kisah tentang menyebarnya wabah mematikan yang menyerang anak-anak kecil di kota New York. Carrier dari wabah yang diberi nama “strickler’s disease” tersebut adalah kecoa biasa yang umum dijumpai di seluruh penjuru kota, dengan pusat-pusat koloni kecoa yang berada di dalam gorong-gorong dan sangat sulit dibasmi. Seorang ahli entomologi bernama Susan Tyler mencoba mengatasi permasalahan ini dengan cara menciptakan spesies serangga jenis baru lewat rekayasa genetika. Serangga besar yang dinamakan “Judas Breed” ini merupakan hibrida antara belalang sembah dan rayap, dengan kemampuan utama melepaskan enzim yang sanggup memusnahkan kecoa. Secara khusus, serangga ini juga dirancang menjadi mandul dan memiliki rentang hidup yang pendek agar tidak berkembang biak dan menjadi masalah baru. Setelah melepas populasi judas breed di sistem gorong-gorong kota New York, proyek Susan Tyler terbukti berhasil. Populasi kecoa menurun drastis dan wabah strickler’s disease bisa teratasi. Ia segera menjadi pahlawan karena berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang, dan wabah pun dinyatakan selesai. Tanpa seorangpun sadari, rupanya judas breed sanggup beradaptasi, bermutasi dan berevolusi dengan kecepatan luar biasa hingga menjadi spesies baru yang jauh lebih berbahaya, tidak hanya bagi populasi kecoa tetapi juga manusia. Mereka berkembang biak dan berkoloni dalam sistem gorong-gorong gelap kota New York yang rumit, dan mengancam populasi kota New York dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tak bisa dipungkiri, Mimic akan diperbandingkan dengan Alien (1979) dan Aliens (1986). Tapi perbandingan ini bukanlah hal yang buruk karena wajar saja, film Alien memang sangat berpengaruh di dunia perfilman horor, terutama film sci-fi / creature seperti Mimic. Meskipun plotnya sama sekali berbeda, tapi sepintas memang ada beberapa hal dari Alien yang mungkin menginspirasi Del Toro dalam menciptakan suasana teror. Yang paling terasa adalah Del Toro banyak menggunakan lokasi-lokasi klaustrofobik yang gelap, yaitu sistem labirin gorong-gorong terbengkalai di kota New York, di mana dalam ruang-ruang gelap tersebut kita bisa menemukan cairan lendir misterius jejak keberadaan judas breed. Mirip dengan xenomorph dari seri Alien, para monster ini juga seringkali mengintai mangsanya di kegelapan. Mendekati klimaksnya, kita juga akan melihat lokasi koloni yang dihuni ratusan telur judas breed. Tak heran kalau semua hal tersebut akan mengingatkan para penontonnya pada dua film Alien pertama. Meskipun Mimic banyak dianggap terinspirasi dari Alien, namun inspirasi lain bagi Del Toro adalah kisah klasik yang sangat ikonik karya Mary Shelley, yaitu Frankenstein. Dalam Mimic, karakter Susan Tyler bagaikan ilmuwan Victor Frankenstein dalam versi Del Toro, dengan monster buatannya yaitu Judas Breed. Premis dasarnya pun memiliki sedikit kesamaan, yaitu tentang seorang ilmuwan menciptakan monster yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi penciptanya sendiri.

Namun desain monster dalam Mimic sama sekali berbeda dengan xenomorph ataupun monster Frankenstein. Saya suka dengan bagaimana Del Toro tidak terburu-buru mengungkapkan wujud judas breed dewasa, dan ketika ia mengungkapkannya, mahkluk-mahkluk ini benar-benar terasa sebagai ancaman yang ganas dan memiliki karakteristik tersendiri. Apa yang paling saya suka dari desain judas breed adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan cara mampu meniru wujud manusia. Dalam dunia serangga di kehidupan nyata, kemampuan serangga meniru sesuatu adalah hal yang umum, seperti ulat yang memiliki bagian tubuh berbentuk mirip kepala ular, motif sayap kupu-kupu yang tampak seperti mata, hingga serangga-serangga yang mampu berkamuflase seperti daun kering ataupun ranting. Kemampuan inilah yang disebut mimic dan dijadikan judul film ini. Judas breed memiliki kemampuan serupa dengan cara yang sangat menyeramkan: mereka memiliki cangkang pelindung yang sepintas menyerupai wajah manusia. Penampakan mereka sangat mengerikan terutama di bawah cahaya remang-remang dan kegelapan. Mimic sendiri dibuat pada sebuah era ketika efek CGI mulai populer dan banyak digunakan dalam industri film. Tak heran kalau beberapa special effect yang menggunakan CGI tampak terlalu kasar kalau kita tonton ulang film ini di tahun 2024. Untungnya, ada lebih banyak special effect tradisional prostetik dalam film ini yang dikerjakan dengan sangat bagus dan tampak begitu realistis karena Del Toro memang lebih menyukai special effect tradisional.

Mimic jelas bukan film yang sempurna dan bukan film terbaik Del Toro. Namun Mimic tetap menjadi sebuah film monster yang menghibur dan dikerjakan dengan baik. Saya pribadi cukup menikmati film ini dengan alasan yang sangat subjektif: karena saya menyukai film monster. Dalam film ini, Del Toro muda telah menunjukkan bakatnya sebagai seorang sutradara visioner dan kita bisa melihat banyak bibit elemen khas Del Toro yang akan terus hadir dalam banyak proyeknya di masa-masa berikutnya. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, Mimic adalah batu loncatan Del Toro yang berjasa membawanya ke proyek-proyek yang jauh lebih besar di kemudian hari.