MARA
Sutradara: Clive Tonge
USA (2018)
Review oleh Tremor
Mara adalah sebuah film horor supranatural, debut dari sutradara Clive Tonge yang ia tulis bersama Jonathan Frank. Biasanya, saya tidak terlalu memprioritaskan menonton film-film horor hantu Amerika (apalagi dengan desain poster seburuk Mara) karena saya sudah terlalu sering menemukan film horor hantu generik dengan segala kekliseannya. Apa yang membuat saya terdorong untuk mencoba menonton Mara adalah ketika saya membaca rekomendasi film ini di salah satu forum, bahwa kisah horor Mara berfokus pada fenomena sleep paralysis, atau ketindihan dalam bahasa indonesia, dan eureup-eureup dalam bahasa sunda, dilihat dari kacamata supranatural. Saya pribadi selalu tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan mimpi buruk dan berbagai gangguan tidur yang bersifat mengerikan. Ketindihan salah satunya. Ketindihan adalah fenomena global yang sebenarnya sudah dijelaskan secara ilmiah dengan sangat masuk akal. Namun tentu akan menarik mendengar kisah horor seputar ketindihan dalam konteks supranatural dari negara yang berbeda. Tentu saja Mara bukanlah satu-satunya film yang berfokus pada fenomena ini. Sebelumnya sudah ada film Dead Awake (2016) yang terasa seperti fan film nya A Nightmare on Elm Street (1984), serta film dokumenter bagus berjudul Nightmare (2015) yang seharusnya sudah saya tulis reviewnya sejak jauh hari.
Plot film Mara sangat sederhana. Seorang psikolog forensik bernama dokter Kate Fuller terlibat dalam penyelidikan atas serangkaian kematian misterius di mana para korbannya terbunuh saat mereka tidur dengan kondisi yang mengerikan. Kisah ini bermula ketika seorang pria bernama Matthew ditemukan meninggal dunia dengan leher terkilir di tempat tidurnya. Istrinya, Helena, menjadi satu-satunya tersangka pembunuhan dalam kasus ini. Karena Helena bersikeras bahwa iblis bernama Mara lah yang membunuh Matthew dalam tidurnya, kepolisian meminta Kate untuk mewawancarai Helena dan menentukan apakah ia harus dijebloskan ke penjara atau dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah menyatakan bahwa Helena perlu dirawat di RSJ, Kate sendiri mulai mengalami gangguan tidur ketindihan yang disertai penampakan seorang perempuan di apartemennya sendiri. Meskipun Kate adalah seorang dokter yang cenderung berpikir secara ilmiah, ia mulai penasaran mengapa Helena menyebut iblis Mara sebagai pembunuh suaminya, dan mengapa ia mulai mengalami ketindihan serta melihat penampakan. Belum lagi kini Kate juga dihantui rasa bersalah karena telah memisahkan Helenda dari putrinya. Kate pun akhirnya memulai investigasinya sendiri yang membawanya pada sebuah kelompok terapi bagi orang-orang yang sering mengalami gangguan tidur ketindihan. Dari sinilah satu persatu petunjuk semakin terungkap, dan semuanya sudah sangat terlambat ketika Kate menyadari kalau kini ia menjadi target Mara selanjutnya.
Film apapun yang berpusat pada gagasan tentang entitas jahat yang membunuh orang di saat mereka tidur tentu akan diperbandingkan dengan franchise A Nightmare on Elm Street dan Freddy Krueger-nya. Apa yang perlu diapresiasi dari Clive Tonge adalah ia menyadari kalau film Mara tidak bisa menghindar dari perbandingan tersebut. Penulis Clive Tonge dan Jonathan Frank memberi penghormatan bagi A Nightmare on Elm Street di mana nama Freddy Krueger sempat disebutkan dalam salah satu dialog ringannya. Selain itu, film ini juga menyebut salah satu referensi kejadian nyata tahun 1977 dimana sekelompok pemuda etnis Hmong meninggal secara misterius dalam tidur mereka. Secara medis fenomena itu disebut Sudden Unexplained Nocturnal Death Syndrome (SUNDS), dan artikel tentang insiden Hmong tersebut jugalah yang memberi inspirasi bagi Wes Craven menulis A Nightmare on Elm Street. Meskipun tidak bisa menghindar dari perbandingan, setidaknya film Mara masih mampu berdiri sendiri tanpa terasa seperti sebuah film penjiplak, karena ia lebih banyak berfokus pada investigasi serta fenomena sleep paralysis, dan bukan pada kreativitas adegan pembunuhan ala A Nightmare on Elm Street.
Iblis Mara sendiri diperankan oleh aktor spesialis setan dan creature, yaitu Javier Botet yang memiliki postur tubuh sangat tinggi dan kurus. Fitur tubuhnya membuat Botet sering dipilih untuk memerankan banyak karakter villain horror dari mulai penampakan Niña Medeiros yang mengerikan di ending film Rec (2007), hantu Mama dalam film Mama (2013), entitas Crooked Man di The Conjuring 2 (2016), hingga yang terbaru adalah peran Dracula dalam The Last Voyage of the Demeter (2023). Meskipun diperankan oleh aktor yang cocok, sayangnya desain iblis Mara terasa sangat generik dengan rambut panjangnya serta gaun tidurnya, dan karakter ini akan mudah terlupakan. Dari caranya bergerak pun, koreografi Mara juga sangat mirip dengan hantu Mama (2013). Jadi, tidak ada yang terasa baru dalam desain karakter Mara. Kalau suatu hari saya melihat foto iblis Mara secara tidak sengaja, mungkin saya tidak akan otomatis teringat dengan film Mara. Meskipun ide dasarnya cukup bagus, bagi saya iblis Mara bukanlah villain horor yang hebat, dan rasanya kurang cocok untuk menjadi iblis penyebab ketindihan. Saya pribadi membayangkan setan atau iblis yang membunuh sambil menindih korbannya seharusnya berukuran jauh besar, tampak lebih seram dan tidak memiliki fitur yang terlalu mirip seperti manusia. Hantu semacam genderuwo pasti jauh lebih pantas. Bagi saya, desain Mara tampak seperti hantu pendendam generik dengan semua fitur yang terlalu mirip hantu manusia, bukan iblis.
Bukan hanya pada desain karakter saja, dalam hal elemen kengerian pun tak ada yang terasa baru. Sesuai dengan kecurigaan awal saya terhadap film-film horor hantu Amerika, kengerian dalam Mara terasa sangat klise, generik dan tentu saja agak membosankan karena tentu kita sudah melihat cara menakut-nakuti yang sama dalam puluhan judul film horor hantu generik Amerika lainnya. Atau mungkin juga karena Clive Tonge tidak terlalu berhasil membangun suasana yang mengerikan untuk mendukung setiap scare-nya. Plot investigasi yang dilakukan Kate juga cenderung terlalu mudah, dengan petunjuk awal berupa ditemukannya coret-coretan pada secarik kertas di TKP yang entah bagaimana dan mengapa isinya adalah petunjuk yang sangat jelas dan tepat. Tapi sebagai film horor dengan konsep sleep paralysis, film ini tidak seburuk yang saya kira sebelumnya. Saya suka dengan bagaimana sutradara Clive Tonge memfilmkan adegan ketindihan dengan kamera yang terus menyorot wajah dan mata para karakternya yang jantungnya berdetak ketakutan. Pace film ini juga terasa cukup pas, dengan adegan-adegan menakut-nakuti yang dikerjakan dengan pantas meskipun kebanyakannya adalah jump scare yang akan segera terasa usang setelah beberapa kali pengulangan. Tim special effect film ini juga bekerja dengan cukup baik lewat beberapa mayat yang tampak mengerikan dan realistis. Setidaknya untuk sebuah debut dengan bajet terbatas, Mara adalah usaha yang lumayan dari sutradara Clive Tonge, dan saya menghargai upaya dari debut ini. Saya pikir para penggemar film-film horor hantu mainstream Amerika ala universe-nya The Conjuring dan para penyuka jump scare mungkin akan bisa lebih mengapresiasi Mara dibandingkan saya.