MANDY
Sutradara: Panos Cosmatos
USA (2018)
Review oleh Tremor
Mandy adalah sebuah film horor atmospheric surealis, karya dari sutradara Panos Cosmatos yang sebelumnya cukup mencuri perhatian banyak orang lewat debutnya Beyond The Black Rainbow (2010). Dalam film Mandy yang ia tulis bersama Aaron Stewart-Ahn, Cosmatos memperlihatkan konsistensi gayanya yang cenderung mengarah ke art-house psikedelik, lengkap dengan alur yang sangat sangat sangat lambat berdurasi selama dua jam dan dipenuhi dengan visual yang memabukkan. Sama seperti Beyond The Black Rainbow, menonton Mandy mungkin bagaikan sebuah pengalaman absurd di bawah pengaruh halusinogen, atau mungkin juga sensasi mimpi delirious dalam keadaan demam tinggi. Saya pribadi bukanlah penggemar film art-house, apalagi penggemar Nicolas Cage yang berperan sebagai protagonis dalam Mandy. Jadi saya menulis review ini dengan penuh bias yang subjektif. Setidaknya ada sesuatu yang bisa saya tulis di sini.
Pada dasarnya, Mandy adalah film bertema revenge yang tidak memiliki plot berarti. Film ini berfokus pada seorang penebang kayu bernama Red Miller yang diperankan oleh Nicolas Cage, dan profesinya sebagai penebang kayu tidak memiliki relevansi apapun di sepanjang film. Red hidup bahagia bersama Mandy kekasihnya di tempat terpencil. Suatu hari Mandy diculik oleh sekelompok sekte bernama Children of the New Dawn yang dipimpin oleh seorang maniak bernama Jeremiah Sand. Kelompok ini tidak sendirian. Children of the New Dawn memanggil bantuan sekelompok geng bikers yang disebut sebagai the Black Skulls hanya untuk menculik Mandy seorang. The Black Skulls ini bukan kelompok bikers biasa, melainkan bikers mutan dari neraka yang berpenampilan layaknya cenobites dari franchise Hellraiser. Saya tidak mengerti mengapa sekelompok hippies gila membutuhkan bantuan setan hanya untuk menculik satu orang saja dari dari rumah terpencil di malam hari. Lalu dari mana The Black Skulls berasal? Tidak penting dan tidak ada yang tahu asal-usul The Black Skulls, mungkin karena Cosmatos terlalu malas untuk memikirkannya. Salah satu alasan mengapa The Black Skulls digambarkan sebagai kelompok yang ganas adalah karena mereka menggunakan LSD, kokain, atau narkoba jenis apapun itu, yang sangat kuat yang mungkin dari neraka juga. Narkoba yang sama juga mungkin digunakan oleh para anggota Children of the New Dawn. Di satu titik Red Miller sempat mencoba narkoba tersebut, dan sejak itu sisi halusinasi film ini pun semakin meningkat. Kembali ke soal the Black Skulls, mungkin mereka bukan manusia karena tampak seperti setan, dan bersuara seperti setan dalam film horor pada umumnya, meskipun pada akhirnya berhasil dikalahkan layaknya manusia biasa oleh seorang Red Miller yang tidak lagi muda. Atau mungkin juga mereka memang manusia biasa, dan karena ini adalah film psikedelik, maka mereka terdengar dan tampak seperti kelompok yang bukan dari muka bumi. Entahlah. Singkat cerita, setelah Mandy berhasil diculik, Children of the New Dawn membakarnya hidup-hidup di depan Red yang disekap. Tentu saja Nicolas “Rage” Cage mengamuk dan akhirnya melancarkan aksi balas dendam setelah ia berhasil membebaskan diri. Mulai dari sini, film Mandy diisi dengan misi pembalasan dendam surealis, memburu para anggota The Black Skulls dan Children of the New Dawn satu persatu. Aksi balas dendam ini mungkin saja hanya terjadi dalam halusinasi Red Miller. Atau bisa saja keseluruhan film ini hanyalah halusinasinya saja sejak awal.
Saya paham bahwa Mandy adalah film art-house psikedelik surealis yang sudah pasti janggal, baik dalam hal narasi maupun visual. Sayangnya saya tidak paham bagaimana cara menikmati film seperti ini secara sober. Film Mandy seperti dibuat dengan prinsip “style over substance” atau bisa diterjemahkan sebagai “gaya yang utama, isi belakangan”. Hampir seluruh film ini dihiasi skema warna-warni neon sureal dengan pemandangan terdistorsi untuk membangun atmosfer halusinasi yang kuat. Dan semuanya bergerak sangat lambat. Setelah tersiksa dengan betapa membosankannya 1 jam pertama film ini, dengan naif saya berharap amarah Red akan membawa Mandy menjadi lebih penuh dengan aksi balas dendam berdarah-darah dan brutal. Sudah jelas bahwa LSD dan narkoba jenis apapun itu yang digunakan oleh The Black Skulls dan Red Miller dalam film ini mengambil peran cukup besar dalam meningkatkan sisi sureal film Mandy, jadi saya sempat berharap mungkin narkoba yang Red gunakan akan menjadi semacam simultan untuk membuat semua aksi balas dendamnya spektakuler. Kenyataannya, penantian dan harapan saya tidak terbayar. Aksi balas dendam Red semakin psikedelik, surealis, lambat, dan tidak terlalu banyak action meskipun ada banyak darah di dalamnya. Namun kekecewaan terbesar saya ada pada betapa anti-klimaksnya film ini. Setelah Red berhasil mengalahkan gerombolan bikers setan dari neraka dengan cukup mudah, saya mulai mempertanyakan kesan “supranatural” dari The Black Skulls yang sempat diperlihatkan di awal film, terutama lewat bagaimana cara memanggil mereka. Lalu mengapa kelompok sekte hippies yang tidak mampu melakukan perlawanan apapun justru diposisikan sebagai “raja terakhir” dalam film ini? Bukankah The Black Skulls yang bersenjata dan bersuara seperti setan terasa jauh lebih mengancam dibandingkan sekelompok hippies pemabuk yang mayoritas kegiatannya hanya duduk-duduk saja? Tapi Mandy memang film surealis yang mungkin ingin sekali “out of box” mendekonstruksi struktur dan titik klimaks di dalam film dengan cara seperti itu.
Dua jam adalah durasi yang terlalu lama untuk sebuah film atmosferik bergaya mimpi surealis yang tidak memiliki plot seperti Mandy, menjadikan pengalaman sinematik menonton Mandy begitu melelahkan bagi saya. Saya tidak pernah masalah dengan alur lambat sebelumnya. Namun kelambatan Mandy begitu menjengkelkan, layaknya usaha kita untuk memukul musuh yang selalu gagal di dalam mimpi yang berlangsung selama dua jam penuh. Mungkin kalau Mandy hanya berdurasi standar 80 menit saja, film ini bisa selesai sebelum mencapai titik jenuhnya. Tapi meskipun saya gagal menikmati film Mandy, bukan berarti tidak ada satupun hal bagus yang bisa saya apresiasi. Pujian pertama saya tujukan untuk sutradara Panos Cosmatos. Kalau memang tujuan Panos adalah membuat film art-house psikedelik yang absurd dengan visual layaknya mimpi, saya rasa ia cukup berhasil. Hanya saja mungkin saya bukan bagian dari target pasar dari film art-house. Pujian kedua saya layangkan pada aktor Linus Roache yang memerankan karakter Jeremiah Sand dengan sangat maksimal dan meyakinkan, di mana ia tampak jauh lebih sinting dibandingkan seorang Nicolas Cage yang berteriak-teriak histeris di kamar mandi.
Saya yakin film Mandy setidaknya membagi para penontonnya ke dalam dua kelompok besar: mereka yang sangat suka sambil melontarkan banyak pujian, dan mereka yang ingin dua jam dalam hidupnya kembali. Saya ada pada kubu kedua. Alasan saya tetap menuliskan review ini adalah untuk memberitahukan pada siapapun yang tidak menyukai film Mandy bahwa kalian tidak sendirian. Saya tahu ada banyak orang menikmati film ini, tapi mungkin saya tidak bisa merasakan pengalaman sinematik yang sama dengan mereka. Saya menghargai Mandy layaknya karya seni yang tidak bisa saya pahami, sama seperti ketika saya dipaksa untuk melihat lukisan abstrak: saya tidak memahaminya namun saya apresiasi usahanya dan menghormati mereka yang bisa menikmatinya.