
LAND OF THE DEAD
Sutradara: George A. Romero
USA (2005)
Review oleh Tremor
Setelah bapak zombie modern George A. Romero membuat film ke-tiga dari trilogi zombie legendaris Dead Trilogy, yaitu Day of the Dead (1985), baru dua puluh tahun kemudian akhirnya ia kembali membuat film zombie ke-empatnya yang dirilis pada tahun 2005. Mungkin remake dari Dawn of the Dead karya sutradara Zack Snyder yang sangat memuaskan pada tahun 2004 ikut menjadi satu dari sekian banyak pemantik untuk Romero kembali membuat film zombie. Atau mungkin juga beliau termotivasi oleh film-film zombie yang semakin banyak bermunculan selama ia absen, dari mulai Dead Alive (1992), Cemetery Man (1994), Shaun of the Dead (2004), hingga puluhan film zombie kelas B lainnya, yang kesemuanya mungkin tidak akan pernah ada tanpa Night of the Living Dead (1969) buatan Romero. Tak hanya itu, dunia film horor juga mulai diramaikan oleh transformasi signifikan dalam trend subgenre zombie dengan penambahan jenis zombie yang jauh lebih agresif dan berkaitan dengan infeksi virus sejak dirilisnya film 28 Days Later (2002). Sejak itu subgenre zombie seakan bangkit kembali dari kubur dan menemukan gairah baru. Saya yakin, Romero seharusnya sudah sadar betul kalau trilogi low-budget buatannya secara ajaib telah menjadi fondasi dari lahirnya kultur film zombie modern, dan memang sudah waktunya ia kembali ke ranah film zombie yang pernah membesarkan namanya. Apapun yang memantik Romero untuk kembali membuat film zombie setelah 20 tahun, para penggemar horror tentu menyambutnya dengan penuh antusias.

Pada dasarnya, plot Land of the Dead melanjutkan alur yang telah dipersiapkan oleh trilogi klasik sebelumnya dalam menggambarkan kiamat zombie, dengan latar yang mungkin tidak terlalu jauh sejak Day of the Dead (1985). Land of the Dead sendiri memang merupakan pengembangan dari naskah asli Day of the Dead yang seharusnya lebih panjang dari hasil akhir filmnya. Ketika Land of the Dead dibuka, Romero memperlihatkan pada kita bagaimana dunia telah dipenuhi oleh populasi zombie. Kini, populasi manusia yang tersisa terpaksa hidup di kota-kota yang beralih fungsi menjadi lokasi pengungsian kumuh, lengkap dengan tentara bersenjata yang berjaga-jaga di setiap barikade kota untuk menahan populasi mayat hidup tetap berada di luar. Di tengah salah satu kota kumuh yang menjadi tempat para survivor mengungsi, berdiri satu buah bangunan pencakar langit mewah yang menjadi tempat tinggal para orang kaya. Di dalam bangunan yang bernama Fiddler’s Green tersebut, kehidupan tampak begitu kontras dengan pemukiman kumuh di luar yang gelap dan kotor. Hanya orang-orang terpandang yang memiliki akses untuk masuk dan tinggal di Fiddler’s Green yang dikelola oleh seorang jutawan bernama Kaufman. Untuk memenuhi kebutuhan para penghuni Fiddler’s Green, Kaufman mempekerjakan sekelompok pemberani dari pemukiman kumuh yang bertugas menjelajahi kota-kota mati pada malam hari untuk mengumpulkan bahan makanan dan kebutuhan apapun yang bisa mereka temukan. Salah satunya adalah Riley, seorang veteran perang yang mendesain sebuah truk perang bernama Dead Reckoning untuk membantu pertahanan kota. Riley cukup lelah mempertaruhkan nyawa setiap malam hanya untuk memenuhi kebutuhan Fiddler’s Green dan ia berencana pergi selama-lamanya dari kota tersebut untuk mencari tempat berlindung yang lebih sepi dan tenang di utara. Salah satu rekan Riley yang bernama Cholo, memiliki ide lain. Setelah sekian lama mengabdi dan berusaha mencuri hati Kaufman, ia berharap bisa mendapat tempat tinggal di Fiddler’s Green. Namun, setelah Kaufman menolaknya mentah-mentah, Cholo yang kecewa dan sakit hati segera memilih rencana baru: membajak Dead Reckoning dan mengancam akan menghancurkan Fiddler’s Green. Sementara itu, di luar sana sekelompok zombie yang jumlahnya semakin banyak dan tampak semakin pintar mulai bergerak secara perlahan menuju kota tersebut.

Sejak Night of the Living Dead (1968), George Romero memang selalu menggunakan film-film zombie-nya sebagai media untuk menyampaikan komentar sosial. Maka tak heran kalau Land of the Dead dengan sangat jelas banyak berfokus pada isu seputar kesenjangan sosial dan masyarakat kelas, di mana struktur masyarakat pasca kiamat zombie rupanya tetap terbagi ke dalam dua kelas: segelintir orang kaya yang hidup nyaman dan aman dengan berbagai privilege-nya di gedung Fiddler’s Green, dan mayoritas rakyat jelata yang hidup miskin di jalanan, penuh masalah, dan jauh dari rasa aman. Romero memperlihatkan dengan jelas bagaimana kemiskinan struktural dan konflik horisontal tetap dipelihara, untuk siapa para tentara bekerja, dan bagaimana bisa diktator seperti Kaufman serta para orang kaya tetap hidup dengan nyaman di tengah kehancuran global. Di antara rakyat jelata yang hidup di lingkungan kumuh juga mulai muncul gerakan pemberontakan bawah tanah yang mendorong orang untuk mempertanyakan ketimpangan ekonomi dan sosial yang mereka rasakan, di mana kelompok ini kemudian menjadi target penangkapan oleh para tentara Kaufman. Saya pikir, dibandingkan tiga film sebelumnya, Land of the Dead memiliki tingkatan komentar sosial yang paling mencolok dan kuat. Namun, meskipun banyak berfokus pada konflik antar kelompok manusia, Land of the Dead tetaplah sebuah film zombie. Jadi, ada tiga kelompok yang terlibat dalam konflik di film ini: para orang kaya lapisan atas, orang-orang miskin yang hidup di jalan, dan kelompok zombie.
Menariknya, kelompok zombie dalam Land of the Dead bukan digambarkan sebagai monster belaka, melainkan juga sebagai sosok-sosok yang mengundang simpati para penonton. Bahkan para zombie ini ikut mendapat peran sebagai pahlawan pada akhir film. Sebenarnya ini bukanlah ide baru dalam film zombie buatan Romero, karena bibit dari konsep tersebut sudah muncul lebih dulu dalam Day of the Dead lewat satu karakter zombie bernama Bub. Konsep tersebut kemudian semakin dikembangkan dalam Land of the Dead. Ketika kita melihat bagaimana zombie-zombie dirantai untuk hiburan murahan bagi rakyat jelata, dan sebagian lagi dijadikan sebagai sasaran latihan tembak, tentu kita akan mengharapkan salah satu zombie tersebut berhasil melepaskan diri dan menyerang manusia. Setelah kita juga melihat bagaimana tamak dan egoisnya para orang kaya, tentu kita mengharapkan sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka. Maka, ketika kawanan zombie berhasil mendobrak barikade dan mulai bergerak menuju Fiddler’s Green, penonton waras manapun sedikitnya akan ikut senang dan berharap orang-orang seperti Kaufman, yang masih saja gila uang di tengah situasi post-apocalypse, akan menemukan ajalnya di tangan para zombie.

Dalam setiap film zombie-nya, Romero juga selalu mengembangkan konsep zombie yang menjadi semakin pintar dari film sebelumnya. Ketika Night of the Living Dead hanya memperlihatkan zombie sebagai mayat hidup yang bergerak berdasarkan insting bertahan hidup belaka, Dawn of the Dead (1978) mulai menampilkan zombie-zombie yang kembali ke mall karena digerakkan oleh memori alam bawah sadar tentang kebiasaan rutin di masa hidupnya. Intelegensi zombie versi Romero semakin berkembang dalam Day of the Dead, di mana karakter Bub adalah salah satu yang mampu mengingat, mempelajari sesuatu, bahkan mampu merasakan emosi. Kemudian Land of the Dead melanjutkan konsep zombie yang semakin berevolusi, di mana kita diperkenalkan dengan satu sosok zombie yang diberi nama Big Daddy sebagai versi zombie yang sudah lebih berkembang dibandingkan Bub. Tak hanya bisa merasakan marah, Big Daddy memiliki kemampuan mengorganisir zombie-zombie lain untuk bergerak bersama menyerang populasi manusia. Ia juga dengan cepat mempelajari cara menggunakan senjata api, dan zombie-zombie lain mulai ikut menyadari bahwa mereka juga bisa menggunakan benda-benda yang mereka temukan sebagai alat untuk menyerang.
Bicara soal film zombie tentu tak lengkap tanpa membahas special effect gore-nya. Veteran seniman special effect Tom Savini yang berhasil membuat semua adegan gore prostetik dalam Day of the Dead tampak begitu realistis dan mengerikan, tidak lagi dipekerjakan dalam Land of the Dead. Kini, riasan para zombie dan efek gore menjadi tanggung jawab Greg Nicotero, salah satu junior Savini yang baru memulai karirnya lewat Day of the Dead. Pada tahun 2000-an, nama Nicotero sendiri sudah sangat dikenal berkat karya-karya luar biasanya sebagai special effects makeup supervisor dalam banyak proyek film populer, dari mulai From Dusk Till Dawn (1996), Scream (1996), Kill Bill Vol. 1 & 2 (2003/2004), hingga Sin City (2005). Tapi entah mengapa, beberapa adegan gore dalam Land of the Dead tidak diperlihatkan secara vulgar, beberapa terjadi secara offscreen, dan beberapa adegan lainnya bahkan menggunakan special effect digital, menjadikan kualitas special effect dalam film ini tidak akan pernah bisa menandingi tiga film Dead sebelumnya, terutama Day of the Dead.

Meskipun Tom Savini tidak lagi bertanggung jawab atas adegan-adegan gore, tetapi ia tetap terlibat dalam Land of the Dead sebagai cameo yang kemunculannya bisa membuat para penggemar Dawn of the Dead girang. Savini kembali memerankan karakternya sebagai seorang anggota geng motor bersenjata parang yang terbunuh dalam Dawn of the Dead, yang kini telah menjadi zombie. Cameo sekaligus easter egg lain yang tak kalah menyenangkan dari Land of the Dead adalah satu zombie yang menyerang karakter Cholo di toko minuman keras. Zombie tersebut dengan sengaja didesain sangat mirip dengan Bub dari Day of the Dead, lengkap dengan rantai pada lehernya. Meskipun kemunculannya hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat senang para penggemar Dead Trilogy. Easter egg dalam Land of the Dead tidak berhenti sampai di situ. Duo kreator Shaun of the Dead (2004) yaitu Simon Pegg dan Edgar Wright juga mendapat peran kecil sebagai dua zombie yang dirantai di mana orang-orang bisa berfoto di depan mereka.
Penantian para penggemar Romero pada tahun 2005 mungkin tidak terlalu terbayar kalau mereka berharap Land akan sama hebatnya dengan Dead Trilogy. Setidaknya, Land tetaplah film yang sangat menghibur, penuh adegan aksi yang boros peluru, dan tetap layak untuk ditonton. Film ini juga tetap lebih bagus dibandingkan dua film yang dibuat setelah Land, yaitu Diary of the Dead (2007) dan Survival of the Dead (2009). Meskipun tidak akan pernah menandingi tiga film sebelumnya, tapi Land of the Dead adalah tambahan yang menarik. Setidaknya film ini memperlihatkan tentang bagaimana George Romero memandang dunia 20 tahun sejak Dead Trilogy. Saya pribadi menikmati film ini meskipun terkadang sedikit kecewa setiap kali special effect digital muncul di layar.

