JULIA’S EYES / LOS OJOS DE JULIA
Sutradara: Guillem Morales
Spanyol (2010)
Review oleh Tremor
Julia’s Eyes adalah sebuah film misteri / psychological thriller / horror berbahasa Spanyol yang diproduseri oleh Guillermo del Toro dan disutradarai oleh Guillem Morales. Kisah gelap dalam Julia’s Eyes yang Morales tulis bersama penulis Oriol Paulo ini menyajikan premis original yang cukup menyegarkan, dengan gaya pengambilan gambar yang menggabungkan gaya film-film horor supranatural asia, sinematik Hitchcockian, hingga Giallo Italia. Film ini merupakan karya layar lebar kedua sekaligus yang terakhir dari Morales, karena ia lebih banyak berfokus pada serial TV setelah membuat Julia’s Eyes.
Julia dan saudari kembarnya Sara menderita penyakit degeneratif mata yang akan membuat mereka kehilangan penglihatannya. Kebetulan Sara telah kehilangan penglihatan lebih dulu dari Julia. Suatu hari Sara yang telah buta dan hidup seorang diri ditemukan meninggal dunia dengan leher tergantung pada seutas tali di ruang bawah tanah rumahnya. Semua orang berasumsi kalau Sara bunuh diri karena depresi sejak ia menjadi buta. Namun Julia merasakan banyak kejanggalan dari kematian Sara, dan ia menolak percaya kalau Sara bunuh diri. Ia sangat yakin seseorang ada bersama Sara sebelum ditemukan meninggal, dan Julia pun memulai investigasinya untuk mencari tahu apa penyebab kematian Sara yang sebenarnya. Namun penglihatan Julia juga semakin memburuk. Dokter memprediksi waktunya tidak akan lama lagi hingga Julia akan menjadi buta juga. Kini ia tidak memiliki banyak waktu. Julia harus segera menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada Sara sebelum ia benar-benar kehilangan penglihatannya. Dalam usaha investigasinya, Julia sering merasa seseorang mengawasi dan bahkan membuntutinya. Namun ia tidak melihat siapapun, seakan sosok itu adalah bayangan. Apakah ini karena penglihatan Julia yang semakin buruk, atau seseorang yang mengawasinya itu memang nyata?
Menonton Julia’s Eyes bagaikan menonton dua film yang berbeda. Yang satu adalah soal investigasi misteri kematian Sara, dan yang kedua adalah kisah survival Julia setelah ia mengalami kebutaan. Pada separuh pertama, Julia’s Eyes dibuka secara kuat dan efektif, yang bisa membuat penonton menduga kalau ini adalah film thriller supranatural. Apalagi banyak elemen yang mengesankan kekuatan supranatural di sepanjang investigasi Julia. Dalam bagian ini Morales cukup cekatan membangun suasana mencekam dengan baik. Saya menikmati beberapa hal dalam bagian ini, terutama unsur misterinya yang membuat saya ikut menebak-nebak ke arah mana film ini akan berjalan. Lalu kita tiba pada paruh kedua film ini sejak Julia akhirnya mengalami kebutaan seperti Sara. Dari sini film Julia’s Eyes mulai mengubah haluannya menjadi ke arah survival dan psychological horor / thriller dengan ketegangan dan teror yang semakin meningkat, serta adanya ancaman yang terasa lebih nyata dari sebelumnya. Saya juga suka dengan bagaimana Morales banyak menggunakan sudut pandang Julia dan memposisikan penonton pada apa yang Julia lihat, atau ia pikir ia lihat, lengkap dengan keredupan visual serta bayang-bayang karena kemampuan Julia melihat semakin memburuk.
Apresiasi untuk Julia’s Eyes tentu perlu ditujukan pada aktris Belén Rueda pemeran Julia yang sebelumnya pernah berperan dalam The Orphanage (2007) buatan Guillermo del Toro. Rasanya seluruh beban film ini ada pada pundaknya seorang diri, dan ia bekerja dengan sangat baik dan meyakinkan, entah itu sebelum atau setelah Julia mengalami kebutaan. Secara visual, Julia’s Eyes juga merupakan film yang dibuat dengan teliti, gelap dan penuh bayang-bayang, seperti seharusnya sebuah film yang memperlihatkan bagaimana kemampuan penglihatan semakin memburuk. Sejak Julia buta, kerja kamera yang diarahkan oleh Guillem Morales banyak menggunakan gaya visual giallo Italia di mana kamera diposisikan sedemikan rupa untuk tetap menutupi identitas salah satu karakter dengan cara tidak pernah memperlihatkan wajahnya. Gaya yang sama sering ditemukan dalam film-film Giallo Italia yang biasanya hanya memperlihatkan tangan dari sang pembunuh. Dalam Julia’s Eyes, gaya visual ini sangat membantu dalam menjaga misteri, sekaligus membuat penonton sama-sama tidak bisa mengenali karakter ini seperti bagaimana Julia tidak bisa melihat wajahnya.
Morales menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai sutradara lewat pembangunan atmosfer, ketegangan solid, dan framing yang baik dalam Julia’s Eyes. Sayangnya, bagi saya film ini juga memiliki banyak sekali kelemahan yang terkadang cukup mengganggu, di antaranya terlalu banyaknya kerumitan plot yang berlebihan, tidak perlu dan terasa dipaksakan. Kerumitan yang berlebihan ini menyebabkan munculnya banyak plot hole dalam Julia’s Eyes. Belum lagi adanya terlalu banyak red herring atau dalam bahasa indonesianya mungkin bisa diartikan sebagai “umpan tipuan bagi penonton” hanya demi sensasi twist kecil yang tidak terlalu penting dan menghasilkan lebih banyak plot hole lagi. Semua kerumitan dan multiple twist yang dipaksakan dan terasa too much membuat durasi Julia’s Eyes menjadi terlalu lama dari yang dibutuhkan. Lalu ada juga keputusan-keputusan dari beberapa karakternya yang sangat tidak logis dan cenderung bodoh, seperti bagaimana bisa Julia yang baru saja mengalami kebutaan di usia dewasa, tidak memiliki insting tentang bagaimana beraktivitas sebagai tunanetra, tiba-tiba diperbolehkan pulang begitu saja dari rumah sakit setelah kedua matanya baru saja dioperasi, untuk tinggal seorang diri di dalam rumah yang sama di mana ia mencurigai seseorang membunuh saudara kembarnya, dalam kondisi masih matanya ditutup perban dan belum bisa melihat untuk beberapa minggu ke depan? Kalaupun tidak ada sosok pembunuh di sini, keputusan Julia tersebut hanya akan mencelakakan dirinya sendiri. Namun di luar semua kelemahannya ini, film Julia’s Eyes tetap memiliki premis dasar yang menarik, dilengkapi dengan acting yang bagus, serta pengambilan gambar yang juga bagus. Film ini sama sekali tidak sempurna, namun tetap layak untuk ditonton oleh para penggemar thriller horror yang mencari adegan-adegan menegangkan tanpa harus peduli dengan semua kekurangan serta logika filmnya.